Pengalaman Pahit Menjadi Panitia Acara Mahasiswa, Tombok hingga Konser Gagal

Terlibat dalam kepanitiaan acara mahasiswa bisa jadi idaman banyak anak kampus. Dari panitia acara konser, dies natalis, dan lomba mereka ikuti. Namun, tidak sedikit yang merasakan pengalaman pahit, bahkan sampai terlilit utang karena tidak adanya dana untuk menutup biaya acara.

Mojok bertemu dengan Udin, Salma, Sari, dan Maria, mahasiswa di Jogja yang awalnya ingin cari pengalaman, tapi kemudian terjebak di acara yang gagal dan harus tombok. Keempat narasumber ini meminta namanya disamarkan demi kenyamanan mereka. 

***

Saya bertemu dengan Udin (21) mahasiswa salah satu kampus swasta di Jogja harus menelan pil pahit dari acara yang rencananya digelar mahasiswa di kampusnya. Empat hari sebelum pelaksanaan, event batal karena panitia kekurangan biaya. 

Ia sendiri menjadi pihak yang dinilai paling bertanggung jawab karena menjadi seksi dana usaha (danus) di kepanitiaan tersebut. Awalnya ia percaya jika konser di kampusnya ini adalah langkah awal yang baik untuk ia terjun di dunia event. Ia ingin cari pengalaman sekaligus membantu ketua panitia yang merupakan temannya.

“Bantu mengisi kekosongan karena danus nggak ada kepala sub divisinya. Aku mencoba mendukung,” jelas mahasiswa asal Jogja ini.

Tanda-tanda acara gagal sebenarnya sudah terasa sejak kepanitiaan terbentuk. Ia menjelaskan jika peminat divisi danus sendiri begitu minim orang. Ini terbukti ketika pembukaan pendaftaran panitia, hanya ada satu orang yang berminat.

“Kami cuma ada satu pendaftar. Sisanya aku minta tolong buat mereka (teman-teman) ikut gabung,” tutur Udin.

Ia tidak menyangka jika minimnya pendaftar ini justru memunculkan masalah-masalah baru. Menurut Udin, mereka yang terpaksa bergabung jadi tidak total untuk membantu penyelenggaraan acara. Kerja sama yang tak solid ini pada akhirnya melahirkan pil pahit yang harus ditelan panitia. Acaranya dibatalkan empat hari sebelum pelaksanaan.

Sebagai divisi danus, mencari dana adalah tugas pokok Udin. Berjualan makanan adalah strategi utama yang dilakukan oleh divisinya. Mulai dari pisang coklat, pangsit rebus, bakso aci, sampai tahu bakso. Setiap minggu, mereka harus mendapatkan setidaknya Rp200 ribu untuk memenuhi target keseluruhan sebesar Rp5 juta. Kegiatan danus ini melibatkan seluruh divisi dari kepanitiaan.

“Tapi kita liat dari kasus yang jualan aja, ada divisi yang nggak ngirimin anggotanya. Ada yang cuma dateng 1 orang aja,” jelas Udin.

Udin dan teman-teman divisinya berupaya membentuk mekanisme denda bagi mereka yang tidak datang ketika jadwalnya berjualan. Mereka harus membeli sejumlah jenis makanan yang dijual. Hal ini dilakukan dengan harapan semua sama rata bisa berkontribusi.

Walaupun begitu, target awal Rp5 juta itu tidak tercapai. Kurangnya dana sempat membuat bendahara memutuskan agar setiap panitia iuran sejumlah Rp200 ribu. Namun, tidak jadi dilaksanakan karena banyaknya protes yang masuk. “Jadi cukup banyak konflik,” tegas Udin.

Udin menjelaskan jika pihak jurusan di kampusnya sama sekali tidak memberi bantuan dana, padahal kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka dies natalis jurusan sendiri. Pihak jurusan hanya sekadar memberi izin. Pihaknya bahkan sampai mencoba menghubungi alumni untuk meminta bantuan, tetapi lagi-lagi masih belum bisa memenuhi anggaran yang dibutuhkan.

“Kepanitiaan itu berjalan dari uang yang dihasilkan danus. Jadi, setelah dapat uang langsung dimasukan ke bendahara buat digunain. Terus kita suruh cari duit lagi,” jelas mahasiswa yang sekarang sedang kerja paruh waktu di kafe ini.

acara mahasiswa yang membuat konser
Menjadi panitia acara mahasiswa di kampus untuk mencari pengalaman. (Ilustrasi Mojok.co)

Acara batal terbitlah utang

Udin mengatakan, upaya mereka untuk mencari dana gagal menjelang acara. Awalnya sumber pendanaan utama diharapkan datang dari jualan tiket konser. Dengan harga Rp85 ribu, tiket yang diharapkan bisa terjual minimal 3.500. Namun, sampai empat hari sebelum pelaksanaan acara, jumlahnya masih belum mencapai angka 500. Di sisi lain, sumber pendanaan berupa sponsor juga tidak bisa memenuhi ekspetasi. Begitu juga dengan jualan makanan.

“Untuk fresh money itu dikit banget. Sponsor biasanya cuma ngasih barang sekalian jualin produk itu. Targetnya itu Rp200 juta,” ungkap Udin.

Tentu mereka tidak serta-merta langsung melakukan pembatalan. Panitia telah melakukan hitung-hitungan risiko sebelumnya. Mereka harus menanggung utang Rp200 juta jika tetap memaksakan acara berlanjut. Sedangkan membatalkannya, berarti menanggung utang sejumlah Rp33 juta. 

Memilih risiko paling kecil adalah pilihan yang paling logis. Beban tersebut dikembalikan ke masing-masing individu sehingga dibagi rata sesuai jumlah panitia. Setiap orang harus membayar uang sejumlah Rp500 ribu lebih karena panitia yang hanya berjumlah 64 orang.

Fokus Udin dan teman-temannya saat ini adalah mengembalikan dana. Hal ini karena uang yang digunakan adalah utang dari mahasiswa lain dan panitia sendiri. Untuk itu, ada dua mekanisme yang digunakan. Mereka bisa langsung membayar dengan uang pribadi atau melakukan dana usaha kembali dengan menjual makanan di kampus.

Udin mengaku memprotes mekanisme bayar langsung dengan uang pribadi ini. “Nggak ada keadilan buat merasakan gimana sulitnya menghasilkan uang,” tuturnya.

Menurutnya, pendanaan yang buruk juga diperparah dengan persoalan-persoalan lain. Salah satunya adalah tiga bintang tamu yang tidak selaras. Dua di antaranya adalah musisi domestik dengan musik pop dan K-Pop. Oleh sebab itu, hanya penggemarnya saja yang tahu akan lagu-lagunya. Satu sisanya adalah grup musik nasional beraliran indie yang sebenarnya cukup dikenal. Menurut Udin, ketiganya tidak pas jika disatukan dalam satu panggung.

“Ketua panitia dan jajarannya berprinsip walau segmentasinya pecah, selama tiketnya bisa terjual banyak ya tetep bisa jalan. Mereka pengen cari untung yang besar,” ungkap Udin.

Hal yang disesalkan Udin setelah pembatalan acara ini adalah respons panitia yang justru masih menjadikan divisi danus sebagai kambing hitam sebab tidak bisa mengumpulkan dana. Baginya, persoalan tidak berada pada dagangan, tetapi kemauan panita untuk membantu jualan.

“Heran juga aku kenapa danus lagi yang disalahin dan ditekan. Kalau dari awal keuangan itu pemasukan terbesarnya dari tiket, yaudah fokus di sana aja. Mungkin aku jadi traumatis masuk danus sih,” jelasnya.

Udin memahami, mereka masih amatir untuk menggelar acara mahasiswa. Oleh sebab itu, penting adanya keterbukaan ketika terjadi permasalahan. “Penanggung jawab tidak cukup membantu, bahkan lepas tangan. Setiap ada permasalahan yang tahu juga hanya panitia inti aja. Harusnya terbuka dan coba dengar pendapat staf yang lain.”

Mahasiswa asal Jogja tersebut mengaku sempat mengusulkan ide untuk membuat acara pengganti dengan konsep yang berbeda. Namun, ia kecewa karena respons ketua yang mengaku tidak ingin bergabung dengan kepanitiaan lagi. 

“Pasti ada rasa penyesalan, tapi yaudah mau bagaimana lagi. Dijadikan pelajaran aja ke depannya. Kalau ada kesempatan kepanitiaan acara mahasiswa lain, aku masih mau ikut,” ungkapnya.

Cari pengalaman berujung tombok

Selain Udin, saya menemui tiga mahasiswi asal Jogja, Salma, Sari, dan Maria yang punya pengalaman buruk dari acara mahasiswa yang mereka gelar. Berbeda dengan Udin yang acaranya batal, acara tiga mahasiswi ini jalan terus. Kesamaannya, mereka sama-sama harus tombok untuk menutup kekurangan biaya.  

Ketiganya juga punya alasan yang sama saat ikut dalam kepanitiaan acara di kampusnya. “Untuk pengalaman, relasi, dan kesempatan bergabung di organisasi. Waktu itu saya masih maba jadi belum paham mengenai kehidupan kampus,” jelas kata Salma (21) mahasiswi asal Jawa Tengah.

Salma sendiri bergabung dalam panitia perayaan dies natalis kampusnya di Yogyakarta. Agenda ini amat megah lantaran terdiri dari rangkaian lomba dan pada puncaknya terdapat pagelaran konser dari berbagai grup musik.

Begitu juga dengan Sari (21). Dirinya adalah sekretaris dalam sebuah lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional. Lomba ini merupakan kegiatan bergengsi di fakultasnya karena diselingi dengan jamuan makan malam dan karyawisata.

“Karena aku masih semester awal, jadi perlu nambah pengalaman gitu. Pengen tahu juga gimana ngejalanin sebuah event,” tutur mahasiswa semester tujuh ini.

Begitu juga dengan Maria (20) yang memilih menjadi panitia karena ingin menambah pengalaman berorganisasi.

Tidak ada imbalan materiel yang mereka dapat. Jika pun ada, itu hanya berupa sertifikat. Untuk mendapatkan pengalaman ini mereka harus melalui berbagai tahapan. Mulai dari seleksi administrasi sampai wawancara. Walaupun penyaringan panitia diakui tidak terlalu ketat, tak semua pendaftar dapat diterima dan bergabung dalam kepanitiaan.

Maria (20) adalah staf medis pada sebuah acara di jurusannya. Meski begitu, urusannya bukan hanya memantau kesehatan panitia maupun peserta. Ia juga harus berurusan dengan pendanaan. Acaranya sendiri terdiri dari lomba dan konser.

Menjadi panitia acara di kampus, seperti konser musik memberikan pengalaman tersendiri bagi mahasiswa. Tapi risikonya juga tinggi. (Ilustrasi Mojok.co)

“Sistemnya itu diserahin ke tiap divisi. Bebas mau danus apa aja asal engga sama dengan divisi lain. Targetnya tiap divisi itu Rp4 juta,” ucap perempuan asal Jogja ini.

Jualan makanan adalah pilihan mencari dana

Maria menjelaskan ada beberapa upaya yang dilakukan oleh ia dan teman-temannya. Salah satunya adalah dengan melalui door to door. Cara ini adalah penyebutan mereka untuk mendapatkan donasi dari berbagai kafe di Jogja. Menurutnya, upaya ini cukup menghasilkan jika dibanding dengan berjualan makanan di kampus.

“Ini event bersama jadi ya cari uangnya bersama. Rancangan anggarannya itu hampir Rp300 atau Rp400 juta. Jadi, nggak mungkin dari jurusan ngasih semua,” tuturnya.

Perlu diketahui jika mereka telah membayar iuran pada awal kepanitiaan hampir Rp200 ribu. Mereka diminta untuk iuran kembali sejumlah Rp167 ribu ketika persiapan telah berjalan setengahnya. Pada iuran kedua ini, mereka membuat dua mekanisme pembayaran dengan harapan bisa meringankan panitia. Pertama, bisa langsung membayar dengan jumlah yang telah ditentukan. Kedua, mencari uang melalui dana usaha sampai terkumpul jumlah yang sama.

“Aku milih iuran. Bukan engga mau usaha, tapi karena gatau sampai kapan aku bisa sampai jumlah segitu. Biar udah selesai dan engga ada tanggungan lagi dan aku bisa fokus ke yang lain juga,” ungkap Maria.

Sari turut bercerita tentang usaha mengumpulkan dana di kepanitiaannya. Salah satunya dengan berjualan satu paket pisang coklat dan es coklat. Harga yang dipatok untuk setiap paketnya adalah 15 ribu. Satu orang panitia wajib menjual minimal tiga paket danus ini setiap minggunya.

Tidak adanya variasi menu jadi kendala dalam memenuhi target tersebut sehingga panitia terpaksa membeli dagangan sendiri. Maria menjelaskan jika persoalan jenis dagangan ini sebenarnya sudah berulangkali diprotes. Akan tetapi, saran ini tidak disambut baik oleh ketua divisi danus.

“Karena dicatetin satu-satu dan nanti pasti dicek. Kalau engga memenuhi target ya pasti sungkan. Aku terpaksa beli meski uang saku engga banyak,” tutur Maria.

Denda yang harus dibayar

Berbagai upaya dilakukan oleh ketiga mahasiswi untuk mendapatkan dana sehingga acara bisa terselenggara. Salah satunya adalah membuat mekanisme denda bagi panitia yang tidak melakukan tugas yang sudah disepakati. 

Menurut Salma, salah satu strategi dalam kepanitiaannya adalah paid promote. Mereka akan mempromosikan usaha melalui Instagram pribadi masing-masing panitia. Ada beberapa peraturan yang harus ditaati. Salah satunya adalah soal waktu pengunggahan.

Dalam satu hari, Salma bercerita jika harus mengunggah sampai tiga jenis promosi. Ia seringkali tertinggal jadwal sehingga denda yang mesti dibayar jadi menumpuk. Besarannya Rp5 ribu untuk setiap kesalahan. Jumlahnya terkesan kecil, tapi akan jadi lumayan ketika terakumulasi.

“Biasanya pulang kuliah itu sore dan nggak sempet ngecek HP lagi. Terus ternyata ada jadwal paid promote,” keluh mahasiswa ekonomi tersebut. Usaha mencari dana ini cukup banyak diprotes. Jumlahnya yang masif juga dianggap sangat menganggu akun pribadi mereka.

Skema denda juga diterapkan dalam kepanitiaan yang diikuti oleh Maria. Salah satu strategi yang digunakan adalah mendapatkan komisi dengan membantu sebuah bank digital untuk mencari nasabah baru. Setiap panitia diwajibkan mencari tiga nasabah baru. Jika gagal, mereka harus membayar denda sebesar Rp75 ribu.

Menurut Maria, persoalan-persoalan yang hadir terkait pendanaan disebabkan oleh kurangnya riset. Mereka bisa menentukan jumlah tiket yang harus terbeli, tetapi tidak tahu apakah acara yang dibuat mampu menarik massa atau tidak.

“Riset dari segala hal. Penonton, bintang tamu, tempat. Itu yang paling penting,” ungkapnya. Maria sekaligus menjelaskan jika sekarang ia masih sibuk membuat revisi laporan pertanggung jawaban kegiatannya.

Ketika ekspetasi terpangkas saat menghadapi realita, kesadaran untuk tetap membantu adalah hal yang utama. Tidak semua hal berjalan sesuai perencanaan. Inilah yang dilakukan Maria. Ketika ia melihat kawan-kawannya berjualan maka ia memilih untuk membeli meski sedang tidak bertugas menjual danus. Komitmen panitia adalah alasan yang bisa membuatnya bertahan hingga rampung.

“Memang lumayan kerasa untuk menghemat jajan di beberapa bulan. Tapi ini keputusan kita bersama, yaudah kita jalani. Skill kamu itu nggak dibutuhin kalau nggak tanggung jawab,” pungkasnya memberi saran.

Saling kritik juga jadi hal yang umum. Panitia acara mahasiswa satu sama lain juga seringkali mengungkapkan keluhannya dalam forum. Menurut Salma, penting untuk mengakomodasi hal semacam ini dan jangan sampai membatasi.

“Ketika ada yang menyampaikan pendapat yang kurang bisa diterima oleh panitia lain maka akan dijauhi atau justru jadi bahan omongan di belakang,” tutur mahasiswa angkatan 2018 ini.

Ia sendiri mengaku sebagai sosok yang senang berpendapat. Ketika kegiatan tidak berjalan sesuai harapannya, ia seringkali memberikan kritik dan saran.

Acara yang diikuti oleh mahasiswi ini memang tetap terselenggara. Namun, sebagian merasa bahwa ini adalah pengalaman terakhir terlibat dalam kepanitiaan. Sari sendiri memilih untuk tidak lagi mengikuti acara-acara mahasiswa. Ia merasa jika kepanitiaan yang pernah diikutinya begitu melelahkan dan banyak hal yang harus dikorbankan. Baik itu waktu, tenaga, hingga materiel. Ia lebih memilih menyibukan diri dengan kegiatan magang di bidang pemasaran digital.

“Hal terpenting adalah jangan memberatkan antar-anggota. Kalau sudah ikut kepanitiaan ya harus profesional. Jangan sampai nggak bisa ngatur waktu atau tugas kuliahnya jadi terbengkalai,” pungkasnya.

Reporter: Delima Purnamasari
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Keluh Kesah Anak Muda yang Setiap Libur Diimbau di Rumah Saja 

Exit mobile version