Merayakan Kemerdekaan dengan Adu Tangkas Menangkap Lele di Sawah Terakhir

Lomba menakap ikan lele di sawah-sawah terakhir di Jogja

Mojok berkunjung ke Padukuhan Karangmloko, Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman untuk menyaksikan lomba menangkap lele. Lomba dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia ini begitu meriah. Warga tumpah ruah. Lokasi lomba merupakan sawah-sawah yang mungkin saja pada tahun-tahun ke depan sudah tidak ada lagi.

***

Satu kuintal lele dituangkan ke sepetak sawah milik Pak Sundoro yang terletak di pinggir jalan raya Dukuh Karangmloko, Ngaglik, Sleman. Sawah yang jadi tempat lomba memang sedang tak ditanami padi. Sehari sebelumnya, panitia membajak sawah tersebut agar menjadi area yang asyik untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Siang pukul setengah satu, saat saya sampai di sana warga setempat sudah tumpah ruah memadati sekitar sawah. Lomba baru akan mulai pukul satu. Sambil menunggu acara mulai, panitia mengaliri sawah dengan memompa air dari aliran sungai kecil terdekat.

Di seberang jalan, Prabowo sibuk hilir mudik berkoordinasi dengan panitia. Ia bukan Prabowo Subianto. Tapi soal menggerakkan semangat berkegiatan warga Karangmloko, kemampuannya sudah tak diragukan lagi.

“Saya Prabowo. Prabowo saja. Kepala Dukuh di sini,” kata sosok yang sudah sekitar dua puluh lima tahun menjabat sebagai kepala dukuh, mengenalkan diri.

Selain satu kuintal lele yang rata-rata berukuran dua jari orang dewasa, menurut Prabowo, ada juga tiga ekor lele berukuran jumbo. Masing-masing sekitar tiga kilogram. “Itu sebagai maskotnya, sedikit tapi besar-besar,” katanya.

Moment berkumpulnya warga

Meski tajuknya lomba untuk bapak-bapak, nyatanya antusiasme muncul dari semua kalangan warga. Anak-anak dan para ibu pun turut serta. Para ibu bukan sekadar nonton semata. Banyak dari mereka hendak ikut menceburkan diri ke kubangan lumpur.

Endah (54) adalah salah satu ibu-ibu yang tampak begitu antusias. Ia punya satu senjata ampuh untuk menangkap lele sebanyak mungkin. Senjata itu adalah daster biru yang ia kenakan.

“Ini Mas, nanti tak buat nyerok-nyerok,” katanya terkekeh, sambil mengibaskan bagian bawah dasternya.

lomba menangkap lele di sawah terakhir di sleman
Endah (54) sedang memanfaatkan dasternya untuk menyerok lele. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Perempuan paruh baya ini mengaku sangat senang dengan adanya lomba menangkap lele. Padahal, suami dan anaknya di rumah tak doyan ikan satu ini.

“Niat saya keceh aja. Dulu itu pas zaman kecil, saya sering ajak adik-adik saya main air di sungai kecil sebelah sana,” ucapnya sambil menunjuk ke arah timur tempat sungai kecil berada.

Mendekati pukul satu, warga semakin memadati area sekitar sawah. Pembawa acara mulai mengumandangkan pengumuman-pengumuman persiapan di antara hentakan lagu-lagu koplo yang terdengar kencang dari pengeras suara.

“Pak Dukuh harap segera merapat untuk memulai acara hajatan. Sudah menjelang pukul satu,” kumandang sang pembawa acara.

Waktu sudah jam satu, Prabowo menyampaikan sepatah dua kata pembuka lalu mengajak warganya untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ratusan peserta yang sudah mengelilingi sawah dan para penonton yang tak ikut serta dengan khidmat ikut menyanyikan lagu kebangsaan.

Lagu usai dan para peserta lomba pun langsung tumpah ruah ke kubangan lumpur setelah mendapat aba-aba. Petak sawah ini nyaris penuh tanpa ruang tersisa. 

Dukuh Karangmloko menggelar rangkaian hajatan perayaan Hari Kemederkaan Indonesia sejak akhir Juli lalu. Mulai dari lomba masak ibu-ibu, lomba anak-anak seperti pecah air hingga balap karung, tasyakuran, menangkap lele, dan rencananya warga akan memungkasinya dengan pentas bertajuk Sekar Rimba pada akhir Agustus.

Tapi, menurut Prabowo, lomba menangkap lele inilah yang paling meriah. Semua elemen warga padukuhan yang dengan jumlah kepala keluarga sekitar 185 orang ikut serta tanpa memandang gender dan usia.

Baginya, hajatan di bulan Agustus adalah momen berkumpulnya para warga yang tak dijumpai di waktu-waktu lain. Hal ini membuatnya selalu semangat menggerakkan warga dari dua RW 17 dan RW 18 yang ada di sini.

“Tahun ini panitianya dari RW 17. Agustusan itu memang momen kami bisa kumpul ramai. Setiap bulan ada kumpulan warga, tapi jelas tidak seramai dan semeriah ini,” jelasnya.

Sawah-sawah terakhir di tengah gencarnya pembangunan 

Karangmloko letaknya sekitar 500 meter di timur Jalan Palagan. Jalan yang kini sudah penuh hotel megah dan kafe-kafe besar. Salah satu ruas jalan di Sleman bagian barat yang sejak lama kencang dibangun untuk kebutuhan bisnis dan industri.

Di sekitar sepetak sawah ini, pagar-pagar bangunan besar sudah berdiri. Seratus meter di selatannya juga berdiri perumahan elit dengan pagar tinggi. Prabowo bersyukur masih ada sawah untuk kegiatan seperti ini. 

Keseruan acara menangkap lele di Karangmloko. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Sebab dari tahun ke tahun, lahan pertanian di kampungnya makin menyusut. Bukan hanya di kampungya, tapi secara umum juga terjadi di Provinsi DIY. Selain berubah menjadi bangunan, sawah kerap menjadi objek jualan dari kafe-kafe yang mengandalkan suasana desa dan pemandangan indah.

“Lomba menangkap lele ini memang harus di sawah. Kalau di sungai bahaya juga. Banyak beling dan batu tajam. Di sawah, semua kalangan bisa ikut serta dengan aman,” ujarnya.

“Di sekitar sini, sekarang sawah di pinggir jalan begini bisa dihitung jari. Sisanya sudah jadi bangunan kalau ndak ya dibeli orang luar,” sambungnya.

Prabowo yang tak ikut menceburkan diri ke sawah menatap para warga dengan tatapan senang dari seberang jalan. Di sawah, tampak para peserta sudah larut dalam keseruan. Sawah-sawah itu hari ini masih ada. Nggak tahu tahun depan.

Keseruan dan kerja sama

Endah yang sebelum lomba dimulai begitu semangat, nampak kewalahan menangkap lele di pinggiran. Ia berkali-kali menyerokan daster berwarna biru yang ia kenakan ke air coklat kehitaman. Namun, tak ada lele yang nyangkut. Meski begitu, ia terus berusaha sambil tertawa lepas bersama ibu-ibu lain yang turut serta.

Sebagian peserta lain tampak saling bekerja sama. Bapaknya turun ke sawah mencari lele dengan giat. Sedangkan anak dan ibunya menunggu di pinggiran sambil membawa baskom untuk wadah ikan.

Pembawa acara terus menyemangati para peserta. Sambil sesekali melempar candaan dan mengajak para penonton yang berada di pinggiran untuk turut ke menceburkan diri.

“Ayo yang masih di pinggir, lelenya masih buaanyak buangett. Lho Pak RT kok mboten tumut nyebur ki pripun (kenapa tidak ikut nyebur),” ucap pembawa acara dengan heboh.

Meski tidak ikut, warga yang menonton di pinggir jalan ikut tertawa dengan ocehan pembawa acara maupun tingkah lucu para peserta. Ada yang saling dorong dan melempar lumpur ke sesama. Suasana pecah.

Seorang peserta memamerkan lele tangkapannya. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Seorang lelaki bernama Dimas (28) yang tertawa di pinggiran mengaku tidak ikut menceburkan diri karena enggan kotor. Meski begitu ia sangat menikmati acara ini. 

“Ini acara tujuh belasan paling seru. Jarang ada warga ngumpul seramai ini. Kan ada banyak acara lain, tapi ini tetap paling gayeng,” ucapnya.

Ibu-ibu penjual bakso tusuk yang merupakan warga Karang Karangmloko juga merasakan berkah dari acara tersebut. Sedari tadi, penonton ramai membeli dagangannya sambil menyaksikan keseruan acara tujuh belasan ini. Saya ikut melarisi, hitung-hitung mengisi perut yang sudah berbunyi karena dari tadi wira-wiri mengelilingi sawah.

Pukul dua siang, sebagian peserta sudah mentas. Menenteng wadah-wadah yang sudah terisi lele sambil tersenyum sumringah. Sebagian ada yang tangkapannya sampai sepuluh ekor lebih, namun ada pula yang cuma bawa satu dua tangkapan saja. 

Anak-anak riang menunjukkan tangkapan lele ke ibu yang menunggu di pinggir jalan. Meski ada juga yang kena marah karena sandalnya hilang tenggelam di lumpur sawah.

Yang penting warga senang

Lomba yang kata Pak Dukuh tak punya kategori pemenang ini memang untuk senang-senang. Semua warga boleh ikut. Bahkan saya yang bukan orang sini diajak turut serta. Mengambil sebanyak-banyaknya lele yang ada di sawah. Syaratnya sederhana, tidak boleh pakai alat.

“Kalau nyerok pakai baju atau daster, boleh,” ucap seorang bapak panitia, tertawa.

Sayang, saya kelupaan bawa baju ganti. Padahal rasanya ingin sekali ikut menangkap satu dua ekor seperti para warga. Saat kebanyakan peserta sudah mentas, tiba-tiba saja pembawa acara memberikan pengumuman. 

“Bapak, ibu, adik-adik. Jangan bersih-bersih dulu. Lelenya mau ditambah lagi,” ucap sang pembawa acara yang sejurus kemudian disambut bahagia para warga.

Logo HUT ke-77 RI 2022 mengusung tema atau tema besar “Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat”. Tema HUT ke-77 RI 2022 ini punya semangat untuk memulihkan bangsa dari kejadian yang melanda Indonesia dan dunia dalam dua tahun terakhir ketika terjadi pandemi Covid-19.

Barangkali, lewat bersenang-senang dan berkumpul ini, warga bisa senang. Kemudian pulih dan bangkit, seperti yang diinginkan pemerintah lewat tema besar HUT ke-77 RI tadi. 

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Sisi Gelap dan Terang Lomba Balap Lari Jalanan

Exit mobile version