Karena Impitan Ekonomi, Angka Gangguan Jiwa Berat DIY Peringkat Dua di Indonesia

Dua provinsi tujuan utama wisata di Indonesia jadi paling tinggi penderitanya.

Angka Gangguan Jiwa Berat DIY Peringkat Dua di Indonesia

Ilustrasi gangguan jiwa berat di DIY peringkat dua di Indonesia. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Penderita gangguan jiwa berat di DIY memempati urutan kedua di Indonesia setelah Provinsi Bali. Tekanan hidup hingga impitan ekonomi yang dialami sebagian masyarakat jadi salah satu alasannya.

***

Sari (29) sebut saja begitu tidak percaya dengan diagnosa psikiater yang menyebutnya terkena gangguan jiwa berat jenis skizofrenia. Perempuan asal Jogja ini mengaku tidak siap jika orang menganggapnya gila.

“Ya saya tahu, skizofrenia itu kan bukan gila, tapi orang umum kan menganggapnya sama dengan gila,” katanya pada Mojok. Sari mengaku, awalnya ia kerap terserang panic attack. Bahkan pernah saat mengendari motor, ia merasa tidak punya daya apa-apa. Saat dibawa ke rumah sakit, dokter tidak menemukan gejala.
“Dokter cuma bilang, aku histeria, karena nggak menemukan gejala sakit secara fisik,” kata perempuan asli Jogja.

Kejadian itu berulang beberapa kali. Sampai kemudian ia memutuskan datang ke psikolog dan psikiater. Diagnosanya ia di terkena skizofrenia, gangguan mental berat yang mempengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi. 

Sari mengatakan, sejak ayahnya meninggal, ia memang memiliki banyak hal yang dipikirkan. Mulai dari persoalan ekonomi keluarga hingga lingkungan kerja yang menurutnya nggak sehat. “Aku sih merasanya bukan skizofrenia, tapi mata batinku terbuka. Aku bisa melihat makhluk halus, mereka ngajak bicara, aku jadi gampang emosian,” kata Sari. Ia pernah secara rutin minum obat, namun sekarang ia memilih menekuni yoga dan meditasi.

Ada 10 penyintas gangguan jiwa berat per 1.000 penduduk DIY

Skizofrenia yang diderita Sari termasuk gangguan jiwa berat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 2018 menunjukkan angka gangguan jiwa berat di DIY 10,4 per mil. Hal itu berarti ada sekitar 1 penyintas gangguan jiwa berat per 1.000 penduduk DIY. Sedangkan prevalensi kasus di Indonesia ada di angka 6,7 per mil. Menurut data BPS, penduduk DIY berdasarkan data (BPS) mencapai 3,8 juta jiwa pada 2018.

Riskesdas sendiri rutin dilakukan oleh Kementerian Kesehatan setiap lima tahun sekali. Pada data 2018 tersebut, DIY berada di bawah Bali yang kasusnya berada di angka 11,1 per mil. Sedangkan dalam Riskesdas lima tahun sebelumnya atau 2013, DIY juga menduduki peringkat kedua di bawah Aceh.

Gangguan jiwa berat atau dikenal juga dengan psikosis ditandai terganggunya kemampuan menilai realitas. Ada beberapa gejala yang menyertai seperti halusinasi, waham, gangguan proses berpikir, sampai perilaku aneh dan agresif. Skizofrenia yang diderita oleh Sari merupakan jenis psikosis. 

Impitan ekonomi jadi salah satu penyebab

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah dengan angka orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang cukup tinggi di DIY. Seksi Penyakit Tidak Menular dan Gangguan Jiwa Dinas Kesehatan Gunungkidul, Musiyanto mengatakan ada sejumlah faktor yang menyebabkan kasus gangguan jiwa berat di Gunungkidul cukup tinggi.

“Di Gunungkidul kebanyakan faktor ekonomi. Kondisi ekonomi yang lemah membuat tekanan hidup dan meningkatkan risiko terkena gangguan jiwa,” paparnya saat dihubungi Mojok, Selasa (24/1/2023).

Selain faktor ekonomi, kasus gangguan jiwa juga banyak disebabkan kondisi kesehatan yang buruk dalam jangka waktu lama. Tekanan akibat sakit berkepanjangan dan kondisi ekonomi yang buruk, menurut Musiyanto banyak memicu gangguan jiwa.

Gunungkidul juga dikenal dengan angka bunuh diri yang cukup tinggi. Setiap tahunnya, rata-rata ada 30 kasus bunuh diri yang terjadi di daerah ini. Depresi jadi salah satu pemicu utamanya.

Merujuk data BPS, angka kemiskinan di DIY memang tergolong tinggi. Bahkan jadi provinsi tertinggi di Pulau Jawa. Kulon Progo dan Gunungkidul punya angka kemiskinan yang tinggi di antara daerah lain di DIY.

Gangguan jiwa belum tentu gila, penjelasan lebih lengkap bisa disaksikan di YouTube Mojok.co.

Di tengah situasi ini, Musiyanto menyayangkan masih rendahnya kesadaran warga untuk memeriksakan anggota keluarga dengan kondisi ODGJ. Padahal, kasus gangguan jiwa memerlukan pengobatan rutin. Tanpa hal itu, penanganan akan semakin sulit dilakukan.

Perubahan lingkungan sosial sampai dampak pasca-bencana

Selain permasalahan tadi, perubahan lingkungan sosial akibat pembangunan juga menjadi salah satu faktor penyebab. Hal itu salah satunya terjadi di Kulon Progo, daerah dengan ODGJ tertinggi di DIY.

Contoh perubahan lingkungan sosial terjadi pasca-pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA). Proyek yang terletak di Kapanewon Temon ini disebut membuat banyak warga tidak siap menghadapi berubahnya kondisi sosial.

“Mereka terpaksa harus mengubah mata pencaharian sebagai petani di sawah dan ladang, untuk bekerja di sektor lain tanpa bekal kemampuan yang memadai. YIA telah mengundang banyak pendatang, warga setempat seperti merasa tersingkir dan tertekan di daerahnya sendiri,” ujar Setda Kulon Progo, Jazil Ambar Was’an seperti dikutip dari Radar Jogja pada Juni 2022 silam. Ia menyampaikan hal ini pada Workshop Implementasi Perbup Kulonprogo Nomor 85 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Daerah (RAD) Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa Kulonprogo.

Selain faktor perubahan lingkungan sosial, beberapa bencana alam besar yang terjadi di DIY dalam dua dekade terakhir juga disebut memberikan dampak pada kondisi kejiwaan sebagian penduduk. Hal itu sempat disampaikan Kepala Dinkes DIY Pembayun Setyaningastutie beberapa tahun silam menanggapi data Riskesdas.

Bencana besar yang terjadi, mulai dari gempa bumi 2006 hingga erupsi Gunung Merapi 2010 yang memberikan dampak besar bagi wilayah ini. Pasca-bencana, Pembayun menyebut pemerintah dan sejumlah LSM telah melakukan identifikasi dan pencatatan kasus-kasus yang berpotensi menimbulkan gangguan jiwa.

Dinkes jamin ketersediaan tenaga psikolog klinis di puskesmas

Tingginya kasus ODGJ di DIY menjadi perhatian Dinkes DIY dan sejumlah pihak terkait. Salah satunya dengan menjamin ketersediaan tenaga psikolog klinis di fasilitas kesehatan terdekat seperti puskesmas. 

Di beberapa daerah, ketersediaan tenaga psikolog klinis di puskesmas sudah cukup memadai. Namun, daerah seperti Gunungkidul, masih mengalami kekurangan SDM terkait. 

“Masih banyak puskesmas di Gunungkidul yang belum memiliki tenaga psikolog klinis. Maka kami sudah mengusulkan agar segera buka formasi lowongan di posisi tersebut. Harapannya keberadaannya dapat membantu mendeteksi dini kasus kejiwaan,” papar Musiyanto.

Sementara itu, Setyarini Hestu dari Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinkes DIY mengatakan telah melakukan sejumlah langkah mulai dari promotif, preventif, kuratif, sampai tahap rehabilitatif. 

Upaya promotif dengan cara membangun kesadaran tentang kesehatan mental. Terkhusus untuk mengurangi stigma yang kerap menimpa ODGJ maupun keluarganya. Hal ini yang kerap menghambat proses untuk mendatangi fasilitas kesehatan terdekat.

“Kemudian untuk preventifnya tentu dengan gencar deteksi dini. Kuratif kita lakukan tata laksana di puskesmas hingga rumah sakit seperti ketersediaan tenaga kesehatan jiwa,” papar Hestu kepada Mojok, Selasa (25/01/2023).

Adapun pada proses rehabilitas, Hestu menilai perlu ada peran pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah dan masyarakat. Dinkes sendiri telah menginisiasi Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat yang melibatkan lintas dinas di Pemda DIY.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Pak Sulin dan Impian untuk ODGJ di Ponorogo dan reportase menarik lainnya di rubrik Liputan.

 

Exit mobile version