Jangan Hanya Nonton, Bermainlah Sepak Bola Tarkam, Agar Lapangan Tak Dilirik Developer

Gelar Wicara: PSS Sleman, Dulu, Kini, dan Nanti. 

PSS Sleman harus mengakomodir pertandingan sepak bola tarkam agar lapangan tidak dilirik developer.

Gelar Wicara: PSS Sleman, Dulu, Kini, dan Nanti (Ilustrasi Ega Fansuri)

Desa-desa harus kembali bermain sepak bola tarkam agar lapangan aktif dan bertahan. Jika lapangan sepi maka tidak menutup kemungkinan mengundang developer untuk mengalihfungsikan lapangan tersebut menjadi industri. 

***

Ungkapan di atas dikemukakan Zen RS, dalam “Gelar Wicara: PSS Sleman Dulu, Kini dan Nanti” Minggu (31/7/2022) di Tilasawa Coffe. Kegiatan ini merupakan rangkaian acara yang digelar oleh Campus Boys, salah satu komunitas yang jadi bagian Brigata Curva Sud. Anggotanya berisikan mahasiswa yang memilih literasi sebagai bentuk dukungan mereka pada PSS Sleman.

Ada sekitar 200 orang yang hadir dalam acara yang menghadirkan Zen RS, Tonggos Darurat, dan Oul Santoso sebagai narasumber. Acara diskusi ini bagian dari serangkaian acara yang diberi nama besar “Kickoff” oleh Campus Boys. 

Saya datang pukul enam petang, satu jam sebelum acara “Gelar Wicara: PSS Sleman Dulu, Kini dan Nanti” oleh Campus Boys diselenggarakan. Berada di salah satu kafe di bilangan Condongcatur, acara itu rencananya akan membahas perihal PSS Sleman beserta kelindan sejarah mereka, problem utama di masa kini, dan tentu saja harapan yang harus tetap dijaga, dipupuk, dan nanti di masa nanti.

Alif Madani atau yang akrab disapa Geni, salah satu anggota Campus Boys dan juga yang menjadi moderator dalam diskusi banyak bercerita. Menurut keterangan Geni, hampir tiap musim Campus Boys menggelar acara diskusi macam ini. 

“Entah skala mengundang teman-teman sekitar, dan sekarang kan mulai mengundang dari luar juga, bertepatan dengan enam tahun Campus Boys—di bawah naungan BCS,” katanya, ketika menceritakan awal mula terbentuknya Kickoff.

Kickoff merupakan rangkaian acara dan Gelar Wicara ini termasuk di dalamnya. Acara puncak “Kickoff” kemungkinan akan diadakan akhir Agustus. Sebelum Gelar Wicara, ada open submit untuk esai. “Terkumpul 28 tulisan, lalu dikurasi, lantas ada 3 pemenang,” katanya. Nantinya dari tulisan tersebut mereka akan membuat semacam zine.

Berbicara tentang Campus Boys, memang tidak jauh-jauh dari literasi. Menurut Geni, memulai hal berbau literasi di golongan suporter itu tidak mudah. “Ngopo sih kudu moco, ngopo sih kudu nulis barang,” katanya sembari memeragakan berupa omongan yang acap kali ia temui. Dari tiga narasumber diskusi, Campus Boys berharap peserta diskusi akan menjelajahi dimensi sepak bola yang berhubungan dengan apa-apa yang bisa diceritakan, lantas apa-apa yang bisa dituliskan.

Jangan hanya jadi penonton, bermainlah sepak bola

Zen RS yang juga pendiri Pandit Footbal mengatakan, kalau banyak yang hanya jadi penonton sepak bola, tapi tidak bermain, maka banyak lapangan akan hilang. “Bermain bola itu mengikatkan ikatan sosial. Jika desa-desa tidak bermain sepak bola, maka sepak bola akan dibentuk oleh kultur SSB. Kultur SSB adalah kultur di mana hanya yang bisa bayar yang bisa main,” tegas Zen. 

Zen RS menyampaikan pandangannya tentang sepak bola di DIY, khusunya untuk menjaga lapangan melalui pertandingan-pertandingan sepak bola tingkat desa. (Dok. Campus Boys/Mojok.co)

Ketika Zen awal-awal di Jogja, SSB itu tidak banyak. Ia mencontohkan SSB IKIP dan SSB HW. Namun, Zen menjelaskan bahwa HW itu punya SSB, namun awalnya adalah klub lokal.

“Sekarang ada SSB yang bahkan bisa main di Liga 3. Dulu nggak ada. Dulu HW, MAS, dan Godean Putra, bukan SSB. Itu adalah tim kampung, tim komunitas, sehingga siapa pun punya kesempatan untuk main di situ,” katanya. 

Kultur sepak bola grassroots di Indonesia, bagi Zen makin lama makin SSB dan itu merupakan problem dikarenakan membuat sepak bola tidak terakses. Jika kultur SSB ini dibiarkan, maka grassroots football ini akan hilang.

Menurut Zen, jika sepak bola akar rumput tidak main lagi, dan berganti dengan sistem SSB, maka itu adalah pekerjaan rumah bagi sepak bola Indonesia. Selain orientasinya uang, di SSB ada praktik sogok menyogok. Siapa yang punya uang, akan menjaminnya masuk starting line-up. Bagi Zen, jika itu terjadi, maka kesetaraan sepak bola tidak ada.

Zen menyarankan bagi anak-anak muda Sleman untuk bermain sepak bola. “Ikutlah Divisi Liga 3-nya PSS. Atau divisi tiga mana, kalian-kalian saja yang main, tidak apa-apa. Nanti akan attract orang buat datang,” kata Zen. Ramaikan stadion-stadion Sleman agar semua muda-mudi bergerak dan menciptakan iklim yang baik untuk grassroot sepak bola Sleman.

PSS, PSIM, Persib, Persija itu bagi Zen bukan klub, namun perserikatan. Itu adalah konfederasi yang punya pemain bukan mereka, namun klub-klub kecil di bawahnya. “Kalau dalam Persib yang punya pemain itu yo Produta, UNI, Sayati, PS. PLN. Kalau di Persija ya punya main dari PS. AD, UMS,” jelas Zen. Pemain-pemain terbaik diambil untuk mewakili Persib atau Persija, tim-tim perserikatan. Dari klub-klub tadi ketika direkrut oleh tim perserikatan, tidak ada transfer yang dicatat.

Persiba, PSIM, dan PSS adalah Privilese bagi masyarakat DIY

Zen RS berpendapat, lahir dan tinggal di sebuah kota yang punya klub sepak bola dan aktif di kompetisi piramida paling atas di Indonesia seperti DIY merupakan sebuah privilese. Setidaknya ada tiga klub yang pernah berada di kasta tinggi sepak bola Indonesia, PSS, PSIM, dan Persiba.

Zen memperkuat argumen bahwa dirinya yang lahir di Cirebon, 130 kilometer dari Bandung. Pada tahun 1980-an, hanya Persib Bandung yang ia kenal, membuat dirinya tidak banyak pilihan lainnya.  Ia tidak punya banyak pilihan untuk menonton secara langsung. Sampai bangku kuliah, ia menonton Persib di Bandung hanya tiga sampai empat kali saja. 

Lantas bagaimana dengan mereka yang tinggal di Kabupaten Mamasa atau Kabupaten Konawe, Zen mengatakan bahwa menonton sepak bola adalah pengalaman tentang televisi. Maka jangan heran jika ada yang hanya menyukai tim sepak bola Eropa, bukan karena mereka tidak mau, namun karena keterbatasan itu tadi. Sedang masyarakat DIY, diberikan sebuah privilese karena banyak tim lokal yang berdekatan, dengan aktif bersaing di kasta piramida atas sepak bola Indonesia.

Ratusan orang mengikuti “Gelar Wicara: PSS Sleman Dulu, Kini dan Nanti” yang diselenggarakan Campus Boys. (Dok Campus Boys)

Zen menginjakkan kaki di Jogja pada tahun 1999. Ia datang untuk studi, namun berkenalan dengan sepak bola DIY memang berlangsung secara alami dan tidak bisa ia hindari. Kebetulan, Zen menyambutnya dengan senang hati. Ketika datang, Zen disapa oleh PSIM yang saat itu sedang berada dalam top tier peta sepak bola Indonesia. Sedangkan Tridadi yang jadi kandang PSS Sleman belum ramai.

Hadir di stadion-stadion DIY dan sekitarnya, nyatanya tidak membuat Zen seperti seorang turis yang hanya menonton tim daerah lain. PSIM yang saat itu berada di kasta tertinggi, membuat ia lebih mudah meraih Persib. Ia bahkan lebih sering nonton Persib ketika ia sudah tinggal di Jogja karena Persib bertandang ke Jogja atau Sleman.

Pengalaman Zen dalam dunia sepak bola di DIY tidak hanya mandek dalam ranah menonton, namun juga terlibat. Ia sempat membela PS. IKIP, bahkan sempat melakoni uji tanding melawan PSIM di laga pra-musim. Zen selama berada di DIY, merasa akses ke stadion itu gampang dan murah.

Zen juga menjadi kapten dalam Piala Soeratin di Cirebon. Ia juga main di divisi internal PSS, lebih tepatnya untuk Godean Putra, lalu terakhir di Seyegan. 

Informasi tentang sepak bola di DIY sangat mudah. Di warung makan di daerah Karangmalang, koran selalu menjadi rebutan karena berisikan berita-berita sepak bola. Menyenangkan karena berita-berita itu berisikan sepak bola lokal. Bukan hanya PSS dan PSIM saja, namun juga membahas divisi internal seperti esok—misalnya—akan bertanding PS. Kalasan melawan Godean Putra atau hasil laga antara HW kontra Mas yang berlaga kemarin sore.  

Ada pesan khusus Zen RS pada BCS. Ia mengatakan bahwa nge-flare di stadion bagian selatan itu (anggaplah) sudah selesai, dan itu alamiah. Karena BCS sudah kuat dan bisa mengelola tubuhnya secara organik. Maka, saran Zen RS, buatlah form lain yang seru dan menarik massa. 

“Buat semua memiliki akses untuk bisa bermain sepak bola. Jika hanya ramai di tribun namun sepak bola grassroot dikuasai kultur SSB, maka PSS hanya akan menjadi entitas bisnis semata, karena tidak ada relasi dengan akar rumput di dalamnya,” katanya.

Berhenti jadi pemain profesional karena tak mau PSS terluka

Dua narasumber lainnya, Oul Santoso dan Tonggos darurat banyak membahas kisah-kisah masa lalu. Mereka menegaskan bahwa membahas PSS yang sekarang, maka harus membahas PSS yang ada di musim-musim lalu.

Oul Santoso, menceritakan pilihan hidupnya untuk mengakhiri karier sepak bola profesional dan memilih  mendukung PSS dari tribun penonton. 

Oul bercerita, belakang rumahnya adalah lapangan sepak bola. Ditambah lagi, bapaknya adalah pemain sepak bola klub Sinar Utama. Selain itu, bapaknya adalah pelaku bisnis SDSB atau Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah—merupakan judi sepak bola legal pada masa Orde Baru. 

Menonton bola, tidak mungkin ia hindari. Apalagi bermain sepak bola, Oul seperti digariskan oleh Tuhan untuk memahami seberapa bahagia sekaligus perih sebuah permainan yang kadang bikin seorang laki-laki gedhe garang menangis terisak-isak.

Oul tentu saja menekuni sepak bola. Selepas latihan, ia membantu bapaknya untuk mengepul togel bola. Ia juga nyambi jualan pul—atau jumlah gol dalam satu pertandingan. Ia melihat berbagai tim di DIY bertanding. Entah kabupaten atau kota. Sampai pada akhirnya ada satu laga yang membuat hatinya tertambat, yakni ketik PSS Sleman melumat Persig Gunung Kidul 4-0 dengan hebat. 

Oul cepat bertumbuh. Ketika SMP, ia tidak lagi menggandeng bapaknya untuk pergi ke stadion. Saat itu, seorang bocah yang menggandeng orang tuanya bisa saja lolos untuk tidak membayar tiket. Ketika SMP itu lah saat pertama ia berani pergi ke tribun sendirian. Pengalamannya menonton, selalu berkesan bagi Oul.

Beranjak SMA dan memasuki usia pas untuk mengikuti ajang liga remaja, Oul mendaftar untuk PSS ajang Soeratin. Ia lolos. Itu adalah tahun 2000 yang panas. Baik masalah udara dan cuaca di Sleman, maupun persaingan sepak bola di dalamnya. PSS Sleman masuk ke Divisi Utama pada dua musim setelahnya.

Oul Santoso menceritakan pengalamannya sebagai pemain dan sebagai penonton yang terus mengawal PSS Sleman. (Dok. Campus Boys/Mojok.co)

Tim itu dibesut oleh Daniel Roekito, pelatih yang doyan memakai jasa pemain muda. Banyak PSS usia muda yang diorbit, katakan lah nama-nama—yang pernah besar dalam peta sepak bola Indonesia—seperti Busari dan Agus Purwoko. Salah satu di antara mereka, terselip nama Oul Santoso.

Dalam ceritanya malam itu, Oul nampak mengumbar banyak senyum pada bagian ini. Barangkali, beberapa memori masa ketika menjadi pemain terakumulatif. Karena keseringan nonton PSS berlatih, orang-orang di tribun adalah kawannya. Banyak yang menawari minum, merokok, dan hari-hari setelahnya dipenuhi oleh aktivitas yang buruk bagi seorang atlet dan membuat Oul tidak konsisten selama menjalani “magang” untuk PSS.

Pada akhirnya Oul memilih menjadi pemain di Divisi 2. Secara hirarki sistem sepak bola Indonesia pada saat itu, Divisi 2 adalah liga paling buncit. Ada beberapa alasan yang membuat Oul lebih memilih main di Sukoharjo selain jarak. Yakni kontrak di Divisi 2 itu terbilang singkat, paling lama enam bulan. Usai berlaga, terkumpul uang, ia gunakan untuk menonton PSS Sleman. Baik di kandang maupun saat away. “Saat itu istilahnya adalah tour, bukan awaydays,” jelasnya.

Setelahnya adalah nasib baik. Apa-apa yang melulu baik, rasanya patut dicurigai. Biasanya, kesialan akan datang menguntit. Itu yang tercatat dalam kisah hidup Oul berikutnya. Ia kenal dan diajak Rochy Putiray untuk seleksi tim PON DKI untuk berlaga di  PON 2008 di Samarinda. Ia lolos, bersaing bersama nama-nama yang kelak melegenda seperti Ramdani, Titus Bonai, dan Boaz Solossa.

Tawaran klub papan atas datang. Pada akhirnya, ia bergabung bersama Persitara Jakarta Utara di putaran kedua, tim profesional untuk yang pertama sekaligus terakhir baginya. Ia berhenti bermain sepak bola karena takut membuat PSS Sleman “terluka” untuk kedua kalinya.

Luka yang pertama ia goreskan untuk PSS Sleman, masih Oul kenang dalam ingatan paling dalam yang malam itu ia gali lantas muntahkan dalam bentuk cerita yang lantang.

Cerita Oul kian tajam. Ia diminta salah satu menejemen Persitara untuk memberikan uang kepada seorang wasit. “Yang bikin saya sakit hati, saya kasih uang itu buat tiga kartu kuning pemain PSS Sleman; Souleymane Traore, Slamet Nur Cahyo, dan Gaston Castano. Ketika main melawan Persema.”

Akibat kartu kuning tersebut, menurut Oul, ketika lawan Persitara, tiga orang itu tidak bisa bermain. “Ketika lawan PSS, saya baru tahu (semua itu, red). Rasane loro banget,” kata Oul.

Oul masuk dalam 18 orang tim inti Persitara dari 25 pemain yang mereka miliki. Ia bercerita kepada Kurniawan Dwi Yulianto yang ketika itu menjabat sebagai kapten Persitara.

Ia memutuskan berhenti, memilih untuk dicoret, dan mengembalikan uang kontrak. Ia tidak lagi memutuskan untuk menjadi pemain profesional, karena nantinya akan bersua dengan PSS.

Lalu kenapa ia tidak bermain saja di PSS? Hal itu terjawab dalam prinsip Oul bermain bola, “Nek mainku apik, oke-oke wae. Nek main elek (dan menyebabkan PSS Sleman kalah, red) rasanya saya pernah ngerasain (ia tahu, bagaimana rasanya jika kalah bagi orang-orang yang di tribun, red).”

Sejak itu, Oul memutuskan untuk menjadi suporter. Ia mendukung tim kebanggaan masyarakat Sleman ini dengan cara yang berbeda. Lepas dari perjuangan njlimet yang ruwet selama ia bermain menjadi pemain profesional. Mengapa ia memilih menjadi suporter di tribun lengkung yang begitu luhur bagi pendukung PSS, ia menjawab, “Ada romantisme yang cukup saya, Tuhan, dan PSS Sleman yang tahu.”

Mengawal PSS Sleman dari tribun

Oul Santoso mengatakan, sepakat dengan Zen RS bahwa klub-klub perserikatan dibesarkan oleh klub-klub anggotanya. Ia juga sepakat, untuk mengaktivitasi lapangan di desa-desa. 

PSS Sleman adalah klub yang berdiri karena sokongan dari klub-klub anggotanya. Di masa lalu, saat klub sepak bola tidak boleh lagi memakai APBD, banyak klub di Indonesia limbung. Begitu juga dengan PSS karena tidak ada dana yang dikeluarkan untuk menjalani roda kompetisi.

Menurut Oul, klub-klub anggota perserikatan sudah memberikan mandat, atas pengelolaan PSS ke Pemda. Sebenarnya klub perserikatan adalah kumpulan klub-klub kecil di bawahnya. Oul memberikan contoh, klub-klub yang pernah di bela Zen RS seperti Godean Putra adalah klub yang menunjang pemain, juga menunjang dana untuk kelangsungan PSS.

“Dulu ada bos namanya almarhum Pak Bari, itu sampai muteri besek agar PSS itu bisa main. Ada juga bosnya Godean Putra, ada Kalasan, itu muter besek,” kata Oul. Besek yang ditujukan untuk para donator dan juga stakeholder pada saat itu, bertujuan agar PSS mampu bertahan dari Divisi Satu dan bisa merangsek ke Divisi Utama.

Selain besek, menurut Oul juga ada “sumbangan” melalui surat kabar Minggu Pagi. Pos-pos ilegal pada saat itu, menggunakan istilah dari Oul, juga ditembaki. Contohnya seperti Totor, togel yang tidak resmi. Hingga akhirnya PSS berhasil menembus Divisi Utama, menggunakan dana-dana yang bersumber dari APBD dan sumber lainnya yang sudah dijelaskan oleh Oul.

“Setelah Kemendagri keluar, tanpa APBD, baru limbung,” kata Oul. Sejak saat itu, gelombang baru sepak bola Indonesia terjadi. Oul memberikan istilah yang luar biasa menarik, kapitalis-kapitalis masuk. Sepak bola di bawah naungan PT, termasuk tubuh PSS. Oul menerangkan bahwa PSS membuat PT tidak lebih dari Rp100 juta. Orang-orang yang terlibat di dalamnya hanya tertentu saja. Tidak mengajak urunan klub-klub penyokong perserikatan.

Padahal, jika klub-klub penyokong PSS era perserikatan terlibat dalam urusan pembuatan PT, kemungkinan PSS bernasib seperti tim yang dicaplok lisensinya kemudian pindah homebase itu amat kecil. Banyak tim di Indonesia dengan mudahnya datang dan pergi, dikarenakan “gelombang kapitalis” ini memiliki sebuah klub secara utuh. Tidak melibatkan klub-klub kecil sekitar yang dulu menyokong baik masalah dana dan juga pemain.

Gelak tawa penonton terjadi ketika Oul menjelaskan surat mandat pembentukan PT itu seperti Supersemar. “Digoleki, angel. Padahal itu mandat. Tidak ada pengambilan secara de facto, klub ini dipegang si A, jadi hanya surat mandat,” katanya.

PSS hari-hari setelahnya lantas tak pernah sama. Bergabung beberapa pengusaha di dalamnya. Awal-awal mulus tanpa masalah, lantas muncul arogansi yang menurut Oul kelewatan. Oul mengatakan karena para pengusaha tadi dirasa enak mengelola PSS, tanpa prestasi pun profitnya lumayan. Beberapa aksi massa terjadi untuk menyadarkan pengusaha-pengusaha tadi agar kembali melek dan mengurusi PSS dengan baik.

Perjuangan itu belum usai karena adanya selentingan, akan ada investor baru. Awalnya Oul cs., belum tahu siapa itu investor baru. “Ternyata salah satunya adalah Bu Evi, ibune Arthur. Itu pun melalui konsorsium,” katanya. Lantas muncul nama-nama baru yang mengisi tubuh PSS. Sejak muncul gerbong nama-nama yang akan “mengurus” PSS itu, nama yang tidak disetujui oleh Oul adalah Marco Gracia Paulo.

“Mulai dari PBR, sekarang tidak ada wujudnya. Badak Lampung dari top form, sampai turun, turun, turun, sekarang di Liga 3. Mosok yo PSS arep dingonoke juga,” jelas Oul. Ditunggu dan hanya bisa menunggu, pada tengah kompetisi akhirnya terlihat, PSS hancur dalam segala lini. Oul mengkritisi, ditambah lagi pada saat itu pelatihnya adalah Dejan Antonić.

Ketika hasil liga tidak bagus, Oul cs., menodong Dejan yang bertanggungjawab atas semua kehancuran PSS. Ia menaikkan tagar #DejanOut. Ketika tagar tersebut naik, ada pihak yang pasang badan, yakni Marco. Setelah melalui perundingan, tagar kedua naik, yakni #MarcoOut. Oul bercerita, setelah ditelusuri lagi, bukan dalang utamanya. “Marco itu bukan jadi utamanya. Ternyata Marco pun jadi setiran pemain itu sendiri, Arthur. Maka tiga tagar keluar,” katanya.

Mengeluarkan Arthur tidak semudah Persebaya dan Persija menendangnya. Oul mengatakan karena Arthur tidak memiliki kewenangan banyak. Oul mengatakan mengeluarkan Arthur di PSS tidak mudah karena PSS adalah tim kecil jika diibaratkan dengan dua tim sebelumnya.

Ketika tagar #ArthurOut, justru banyak sekali perlawanannya. Seperti banyak yang sudah beredar di media, ketika pergerakan dilakukan di Omah PSS, rundingan via telfon terlaksana. Dejan out, namun PSS dipindah kandang. PSS latihan di Jakarta dan tidak pulang-pulang, padahal menurut Oul di Sleman banyak lapangan dan mereka sedang membangun lapangan. Setelahnya adalah perlawanan yang tiada henti dilakukan oleh oleh Brigata Curva Sud untuk mempertahankan tim mereka di tanahnya sendiri.

Oul memberikan pembanding kepada pemegang separuh saham lainnya, Agoes Projosasmito. “Ini sudah nggak bener, Pak,” kata Oul menirukan apa yang ia katakana ketika gejolak itu sedang panas-panasnya. Oul mengabarkan kepada beliau bahwa PSS sedang tidak baik-baik saja. Akhirnya terjadi peralihan kepemilikan saham, dibeli seluruhnya oleh oleh Agoes Projosasmito.

Namun perjuangan itu belum usai, mereka harus mengembalikan PSS ke Sleman karena sebelumnya mereka latihan di Jakarta, kemudian di Solo. Saham memang sudah dimiliki Agoes, namun Marco masih ada di tubuh itu. Proses pemulangan PSS dari Solo ke Sleman rumit.

“Saya yakin 80 sampai 90% yang di sini ikut waktu pergerakan ke Solo itu. Jadi ngerasake tenan, setebal apa sih tembok yang kita hadapi pada saat itu,” kata Oul, banyak peserta diskusi yang menganggukan kepala. Setelah Marco dapat surat pemecatan, PSS bisa dipulangkan.

Tonggos Darurat: “Kami terlalu miskin untuk nyogok wasit.”

Jadwal liga terlalu padat dan televisi kerap sekali menyajikan sepak bola klub kami. Orang-orang yang bekerja dan sekolah sulit mengikuti jadwal hadir pukul tiga sore kecuali memohon datangnya surat pemecatan lebih cepat.”

Di atas merupakan nukilan tulisan Tonggos yang berjudul “Pendakian yang Panjang” dalam buku Pada Suatu Waktu yang Sleman Sekali. Tonggos menceritakan Sleman dari sudut padang seorang suporter dengan sisi komikal dan tak jarang membuat pembacanya terpingkal-pingkal. Malam itu, Tonggos juga berkisah. Seperti Oul, Tonggos tak mau kalah.

Ketika Tonggos masih SD, bapak Tonggos “susah ngomong” sama manusia, sedangkan ibunya Tonggos sibuk dengan urusan rumah. Ia menjadi anak yang kesepian, maka bermain adalah jawaban paling instan. Ia bertemu dengan salah satu kawan yang merupakan Slemania Batavia, dikenalkan dengan PSS Sleman. Tridadi pada saat itu, menggandeng tangan orang tua bisa saja menjadi salah satu pengganti ongkos masuk nonton bola bagi anak-anak. Dan Tonggos mengalami masa-masa itu.

Tonggos benar-benar terikat dengan PSS itu ketika kuliah. Ia ngekos dengan kawannya, ternyata kawan Tonggos itu dulu satu SMA dengan orang-orang yang memegang panji ultras di antara para mania. Setelahnya, seperti sebuah gerak organik, kamar kosnya sering dijadikan tempat nongkrong kawan-kawan ultras.

Buku “Pada Suatu Waktu yang Sleman Sekali” karya Tonggos. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Tiap sore mereka ikut latihan, Tonggos merasa tertarik karena match masih jauh, ia sudah mendukung bahkan saat sedang latihan. Pola Tonggos ikut rombongan ultras ini sama seperti ketika ia kecil, “Karena nggak ada temen, akhirnya saya ikut mereka.”

Setelah beberapa kali nonton latihan, Tonggos merasa puas. Bisa berteriak “coret” dari tribun biru itu enak sekali. “Kalau ada pemain le rodo ra masuk, coret! Rasane uenak tenan. Rasa memiliki mulai dari situ. Karena kita sudah seperti bisa menentukan pemainnya siapa,” katanya.

Ada juga kebiasaan seperti misalkan match jam empat, Tonggos dan yang lainnya datang ke stadion jam satu memasang bendera dan lain sebagaimananya. Tonggos merasa ada yang aneh jika sepak bola hanya sebatas 2×45 menit. Karena hanya sebelum, bahkan sesudah saja mereka masih ngomongin sepak bola. Jika dibilang kenapa suka PSS lebih dari 90 menit, Tonggos merasa karena dibentuknya dari cara-cara tersebut yang berangsur menjadi sebuah kebiasaan.

Kelompok ultras di kos-kosan Tonggos itu lah yang merupakan cikal bakal dari BCS. Mereka tumbuh di antara para mania.

Geni sebagai moderator bertanya cukup jahil, “Kenapa kok milih ultras, Mas?” Tonggos tetap Tonggos, ia membalas dengan santai dan penuh canda tawa. Jawabnya, “Saya nggak milih, Mas. Saya cuma diajak. Di-buyout pake minum-minuman aneh-aneh. Seperti kopi campur peresan bakwan.” Seluruh peserta diskusi tertawa menyambut guyonan absurd ala Tonggos tersebut.

Di tengah-tengah itu, mengendap tradisi menulis bagi Tonggos. Menggoreskan kisahnya melalui tulisan untuk merekam segala aktivitas baik dalam sudut pandangnya sebagai penonton, penikmat, sekaligus pecinta PSS Sleman. Mengapa menulis? Karena bagi Tonggos, menulis itu hal paling murah karena hanya memerlukan alat-alat sederhana. 

Reporter: Gusti Aditya
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Brigata Curva Sud dari Dekat, Sebelum hingga Sesudah 90 Menit

Exit mobile version