Derita Mahasiswa Tinggal di Kos Kumuh dan Suram di Surabaya

Ilustrasi Derita Mahasiswa UINSA Tinggal di Kos Kumuh dan Suram di Surabaya. MOJOK.CO

Kisah-kisah “derita” memang sangat lekat dengan kehidupan anak kos. Khususnya bagi mahasiswa rantau dengan keuangan pas-pasan. Mojok mendengar cerita dari beberapa mahasiswa yang selama masa kuliah bertahan di kos kumuh dan pengap di Surabaya. Keadaan yang bahkan membuat satu di antara mereka mengalami culture shock saat suatu hari akhirnya bisa tinggal di kos yang sedikit lebih mewah.

***

Baru juga pukul 07.00 WIB, tapi Haqi* pasti akan lekas terbangun. Bukan karena Haqi rajin dan bersemangat untuk berangkat kuliah. Tapi lebih karena tak tahan dengan hawa kos yang sudah sangat sumuk.

Sekujur tubuh Haqi sudah sedikit basah oleh keringat. Sementara kipas angin kecil yang nyaris sekarat di hadapanya tak mempan membendung panas Surabaya yang menyengat berlipat-lipat lewat asbes dan genteng kaca yang menganga.

“Edyan tenan! Sudah tahu Surabaya panasnya nggak umum, kok ya bangun kos pakai genteng full asbes. Simulasi neroko!,” gerutunya nyaris setiap hari, saat merasakan panas memanggang di dalam kosan. Tapi mau bagaimana lagi. Kos Jahanam itu—begitu Haqi menamai—jadi satu-satunya pilihan paling masuk akal bagi mahasiswa yang sering telat kiriman seperti dirinya.

Penghuni kos kumuh rata-rata anak UINSA

Dari sekian teman dan kenalan saya di Surabaya, kebanyakan yang menyewa kos kumuh dan pengap memang dari kalangan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA). Termasuk Haqi yang kuliah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

Saya pun juga alumni UINSA. Dulu semasa kuliah tinggal di sebuah kos kumuh di Wonocolo Gang 3. Kos yang kondisinya tak jauh berbeda dengan indekos yang ditempati Haqi; panas, kamar mandi kemproh, plus induk semang yang cerewetnya amit-amit.

Faktanya, rata-rata mahasiswa UINSA memang berangkat dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Termasuk Haqi dan saya sendiri. Jadi satu-satunya alasan kenapa bertahan di kos kumuh dan pengap adalah karena harga sewanya yang sangat murah.

“Cuma Rp200 ribu per bulan. Ya sudah sikat saja. Walaupun kondisinya menyedihkan,” ujar Haqi.

Suasana perkampungan padat di Wonocolo. MOJOK.CO
Suasana perkampungan padat di Wonocolo, Surabaya. (Aly Reza:/Mojok.co)

Fakta lain, khususunya mahasiwa UINSA angkatan saya (angkatan 2017), alasan memilih kuliah di UINSA pun pada dasarnya karena UKT yang masih tergolong rendah. Saya dan Haqi cukup beruntung karena hanya dikenai Rp900 ribu per semester. Begitu juga beberapa teman dan kenalan saya yang lain.

Nah, kalau urusan kuliah saja nyari yang paling murah, apalagi urusan kos-kosan yang, kata Haqi, tak lebih dari sekadar tempat nyeleh barang mbek adus (naruh barang dan mandi).

Saya sebenarnya punya beberapa teman dan kenalan dari kampus lain. Dari UNAIR ada, dari UNESA ada, dari UPN hingga ITS pun ada. Tapi kebanyakan mereka adalah anak-anak berkecukupan. Harga sewa kos mereka di kisaran Rp500 ribu ke atas. Jadi ya mohon maaf jika cerita-cerita dalam liputan ini seluruhnya berasal deri pengakuan “derita” mahasiswa-mahasiswa UINSA.

Di kos kumuh, siang hari wajib ngungsi

Kondisi kos yang panas dan sumpek membuat Haqi nyaris tak pernah menempatinya di siang hari.

Jika memasuki jam istirahat kuliah di waktu zuhur, ia akan melipir ke warung kopi langganannya di Wonocolo Gang 2. Sebuah warung kopi yang berada di bawah rindangnya pohon mangga. Dimana ia bisa mendapatkan suasana yang agak semilir.

“Kalau dulu zaman maba, tidur di masjid kampus. Adem pol. Kalau sekarang antara ke warkop sor pelem (bawah mangga) atau ke sekretariat organisasi buat numpang tidur,” ungkapnya.

Pokoknya, di hari aktif kuliah, Haqi tak akan balik ke kosnya di siang bolong kalau tak mau terpanggang hidup-hidup. Susahnya adalah ketika masuk Sabtu dan Minggu. Jika sedang tidak ada kegiatan organisasi atau aktivitas lain, mau tak mau ia harus “menyiksa diri” di dalam kos; tidur di kasur basah kuyup oleh keringat, tidur di lantai nggak tahan karena panasnya menyengat.

“Dari jam tujuh sampai dua siang, itu panas-panasnya. Nggak tertolong. Kalau sudah masuk asar agak mendingan. Ya masih sumuk, tapi bisa diatasi kipas angin,” jelasnya.

Pintu masuk ke salah satu kos kumuh di Wonocolo. (Muchamad Aly Reza/Mojok.co)

Tak jarang pula tiap siang hari di Sabtu dan Minggu ia ngungsi ke kos temannya untuk numpang ngadem. Tentu kalau temannya sedang tak ada kegiatan di luar atau tak sedang pulang kampung. Untungnya temannya sudah mafhum dengan kondisi Haqi, sehingga kebiasannya numpang ngadem itu tak jadi masalah.

Tak mau sewa kos lebih dari Rp200 ribu

Haqi mengaku beberapa kali temannya mengajak untuk ngekos bareng di kos yang jauh lebih baik dari kos jahanam yang ia tempati. Tapi Haqi selalu menolak ajakan tersebut dengan halus.

Kos dengan kondisi yang lebih baik di Wonocolo di kisaran Rp500 ribu sampai Rp700 ribuan per kamar. Jika ditempati dua orang, maka pembayarannya bisa dibagi dua. Misalnya saja, per kamar Rp700 ribu, jika dua orang yang tinggal, maka per orangnya bayar Rp350 ribu.

Harusnya lebih ringan. Tapi Haqi ternyata sudah menetapkan budget untuk keperluan sewa kos. Bahwa jangan sampai ngekos yang sewanya lebih dari Rp200 ribu per bulan.

“Aku itu sebulan dapat dari orang tua Rp800 ribu. Paling banter Rp1 juta, tapi ya jarang. Yang jelas nggak pernah lebih dari itu. Jadi ya sudah untuk kos kalau masih ada yang Rp200 ribu, ya itu saja. Yang paling penting jatah makan aman,” jelasnya.

“Dibilang pengin ngekos yang enak kayak temen-temen ya jelas pengin. Tap itu tadi, Wong kere iki gak usah kemelinthi (orang miskin nggak usah bertingkah),” imbuhnya.

Jatah sewa kos bisa buat makan hingga nabung

Berikutnya ada Sholah*, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UINSA, yang mengupayakan hidup di perantauan dengan modal gratisan.

Sejak awal kuliah Sholah memang berniat untuk mencari beasiswa. Jika dapat ia akan lanjut kuliah sampai tuntas. Tapi kalau tidak, maka ia akan mundur di tengah jalan. Dan syukurnya ia bisa mendapatkannya.

Untuk kuliah saja tetap ngincar gratisan, apalagi soal tempat tinggal. Itu lah kenapa Sholah memilih menjadi marbot di salah satu masjid di daerah Gayungan, tak cukup jauh dari kampus UINSA.

“Sebelum nemu link jadi marbot, sempet ngekos sebentar di Gang 1 Wonocolo. Waktu itu kalau nggak salah Rp350 per bulan. Tapi itu masih harus nambah kalau bawa magic com, kipas angin, setrika,” beber Sholah.

Dari tambahan-tambahan itu, bersihnya harga sewa kos lama Sholah bisa sampai Rp450 ribu. Angka yang ternyata membuat Sholah keberatan sehingga hanya bertahan satu bulan saja.

Baru setelahnya ia pindah ke masjid untuk menjadi marbot. Yang mana itu membuatnya bisa mendapatkan tempat tinggal gratis dan sesekali dapat makan gratis pula.

“Karena serba gratis, jadi nggak terlalu banyak keluar duit. Paling sesekali aja buat beli makan, isi bensin, atau ngecer rokok. Alhasil bisa nyisihin duit buat nabung juga,” ungkap Sholah.

Drama genteng bocor, air mati, hingga wc mampet

Setelah empat tahunan menjadi marbot masjid, Sholah lalu memutuskan ngekos di masa-masa akhir kuliahnya agar punya waktu lebih leluasa, khususnya untuk merampungkan skripsi. Mengingat kalau di masjid ia memiliki aktivitas yang cukup padat. Mulai dari ngajar ngaji hingga ikut membantu kegiatan-kegiatan remaja masjid.

Salah satu aliran sungai Wonocolo yang sering meluap jika hujan. (Muchamad Aly Reza/Mojok.co)

Maka ngekos lah ia daerah Kutisari, masih tak jauh dari UINSA. Sholah mendapatkan kos dengan harga Rp250 ribu per bulan. Harga yang sudah sangat cocok baginya.

Karena senada dengan Haqi, Sholah mematok kalau ngekos jangan sampai di atas Rp300 ribu. Yang penting bisa buat naruh barang dan tidur, cukup. Tak perlu ada WiFi. Tak perlu bersih-bersih amat. Panas bak neraka bocor pun tak jadi soal.

“Lah awalnya aja gratisan (pas jadi marbot), ya panggah (tetep) eman kalau ngekos mahal-mahal. Nyari yang murah aja,” ujar Sholah.

Sholah pun sangat paham, ada harga ada rupa. Kos yang ia tempati tentu tak luput dari drama tersendiri, terkhusus pada kamar mandi. Tak jarang air di kamar mandi mati berhari-hari, sehingga membuatnya harus mandi atau buang air di pom bensin atau masjid-masjid terdekat. 

“Wc juga sering mampet. Tahi-tahi ngambang jadi pemandangan sehari-hari. Nggilani pokok’e. Tapi panggah tatag (tetap kuat) aku, Mas,” tuturnya.

Genteng bocor juga menjadi salah satu yang melengkapi “derita” di kos Sholah. Kalau musim hujan, Sholah harus menyiapkan ember, atau paling tidak gayung, untuk menadah air yang mengucur agar tak membasahi kasur kosnya yang sudah buluk dan penuh bekas liur penghuni-penghuni sebelumnya. Beberapa kali ia mengadu pada bapak pemilik kos perihal genteng bocor tersebut. Tapi tak ada jawaban apalagi tindakan yang melegakan.

Meski harus kebocoran, tapi untungnya tak sampai kebanjiran. Satu hal yang membuat Sholah bisa membesarkan hati dengan berbisik pada diri sendiri, “Masih untung”. Tak seperti Rizqi*, mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora dengan cerita di “Kos Nusakambangan”-nya.

Tidur berdesakan di Kos Nusakambangan

Jika Haqi menamai kosnya “Kos Jahanam”, maka Rizqi punya sebutan yang tak kalah unik untuk kos yang ia tempati. Yakni “Kos Nusakambangan”.

Dalam benak Rizqi, Nusakambangan adalah seburuk-buruk tempat. Sehingga cocok untuk menyematkan nama itu pada kosnya yang memang keterlaluan suramnya.

Kamar kosnya sebenarnya hanya cukup untuk satu orang saja. Tapi Rizqi memaksakan untuk menempatinya dua orang, dengan satu teman sejurusannya. Sehingga kalau keduanya sedang sama-sama menempati kamar kos, maka akan berdesak-desakan layaknya di dalam sel paling buruk di muka bumi. Maka tak salah-salah amat jika dinamai Kos Nusakambangan.

“Harga per kamarnya cuma Rp300 ribu. Pas dipakai dua orang ternyata nggak nambah, tetap segitu. Ya sudah akhirnya kami tempati berdua. Satu orang Rp150 ribu,” papar Rizqi menjelaksan harga sewa kosnya tersebut.

Kos kumuh yang langganan banjir di musim hujan

Kesuraman yang sesungguhnya di Kos Nusakambangan adalah tiap kali turun hujan. Apalagi jika curahnya tinggi.

Kos Nusakambangan berada di seberang salah satu aliran sungai Wonocolo, yang jika hujan deras sudah barang pasti akan meluap dan meluber ke rumah-rumah warga. Air bercampur lumpur dan sampah-sampah kali yang masuk ke kos Rizqi tak jarang tingginya nyaris selutut. Jika sudah begitu, Rizqi dan temannya hanya bisa tewah-teweh meratapi nasib.

“Dulu pas awal-awal rasanya nelangsa. Kok ngene men (gini amat). Tapi lama-lama biasa saja. Kalau banjir berarti alamat nggak tidur kos,” ujar Rizqi.

Sebelum kuliah sambil kerja, Rizqi dan teman kosnya pasti ngungsi ke kos-kos temannya yang aman dari banjir. Lalu setelah kuliah sambil kerja di sebuah konter kecil di Wonocolo, ia akhirnya lebih sering tidur di konter daripada di kos. Kalau kos kebanjiran, maka ia akan mengajak teman kosnya mengamankan diri ke konter setelah tutup pada pukul 22.00 WIB.

“Di pikiran orang-orang kayak saya, yang nggak dapat kiriman dari orang tua, sewa kos itu kalau bisa yang semurah mungkin. Duitnya buat makan dan ditabung buat bayar UKT,” ungkap Rizqi.

Salah satu aliran sungai di Wonocolo yang sering banjir dan masuk ke kos kumuh di Surabaya. (Aly Reza/Mojok.co)

Selain masalah banjir, kesuraman lain di Kos Nusakambangan di antaranya, sering kemasukan wirok (tikus besar), kecoa, dan serangan nyamuk yang tak habis-habis. Belum lagi bau busuk dan pemandangan tak sedap dari sampah yang berserakan karena induk semang yang jarang mengurusnya.

Tak ada cerita tentang kos kumuh dari perempuan?

Sayangnya, saya masih belum mendengar ada perempuan, khususnya mahasiswi-mahasiswi UINSA, yang terpaksa menempati kos kumuh dan suram sebagaimana cerita-cerita di atas.

Teman-teman mahasiswi UINSA, meski dengan keuangan pas-pasan sekalipun, cenderung akan tetap mencari kos yang nyaman, bersih, dan syukur-syukur aman dari banjir.

“Derita” mahasiswi UINSA menyangkut kos yang mereka tempati paling tak jauh-jauh dari cerita-cerita horor. Paling mentok drama kebanjiran bagi kos-kos dengan lantai rendah. Tapi selebihnya tak mengaburkan fakta bahwa kos yang ditempati adalah kategori “kos mewah”.

Culture shock saat pindah ke kos “mewah”

Menghabiskan lima tahun tinggal di kos kumuh dan suram semasa kuliah ternyata membuat Halim* mengalami semacam culture shock saat pindah ke kos yang sedikit lebih “mewah”.

Semasa kuliah, kondisi Halim tak jauh beda dengan Haqi, Sholah, atau Rizqi; menyewa kos dengan harga semurah mungkin. Meski kumuh, panas, dan suram.    

Setelah lulus dan bekerja, baru lah ia berani untuk menyewa kos dengan harga yang lebih mahal. Tentunya dengan kondisi yang berbeda sama sekali dari kos yang ia tempati sebelumnya.

“Waktunya mengenakkan diri sendiri, merasakan kos yang lebih enak,” ujarnya. Harga sewa kosnya Rp700 ribu per bulan.

Di kos baru yang lebih bagus tersebut, ia sempat terheran-heran ketika pemilik kos—atau minimal orang suruhannya—menyapu area kos, membuang sampah, hingga membersihkan kamar mandi setiap hari.  

“Kosku dulu paling cepet dua minggu sekali baru dibersihin. Sampah sampai blangkrah nggak karuan-karuan. Kamar mandi jangan tanya kayak apa bentuknya. Paling sering aku yang inisiatif nguras,” beber Halim.

Lain itu, sumuk mungkin iya, karena memang demikian lah kodrat Surabaya. Tapi tak sampai panas menyiksa seperti di kos Haqi. Terlebih sudah include kipas angin dinding. Pun aman dari banjir dan bisa tidur di kasur yang lumayan enak dan bersih.

“Akhirnya bisa ngerasain juga punya kos yang ada WiFi-nya. Bisa lhosss yutuban. Dulu harus ke warkop dulu kalau mau yutuban atau download film,” demikian luapan rasa senang Halim setelah akhirnya bisa merasakan tinggal di kos yang tak seperti Kos Jahanam atau Kos Nusakambangan.

*)Narasumber meminta namanya disamarkan

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Fenomena Kos LV di Jogja, Dicari karena Bebas Bawa Pacar

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version