Brigata Curva Sud dari Dekat, Sebelum hingga Sesudah 90 Menit

BCS ora muntir.

Brigata Curva Sud atau BCS, suporter PSS Sleman. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Brigata Curva Sud atau BCS adalah salah satu basis suporter klub sepak bola, PSS Sleman. Selama tiga hari, reporter Mojok mengikuti aktivitas suporter yang selalu menempati tribun selatan Stadion Maguwoharjo, dari persiapan hingga pertandingan usai.

***

Deru bass drum kembali berkumandang. Maguwoharjo malam itu bersinar terang. Teriakan mengisi seluruh stadion dengan lantang. 

“Kalau Tridadi menyediakan tempat nobar, kayane bakalan penuh juga,” begitu kata salah satu Brigata Curva Sud atau biasa disingkat BCS, basis suporter PSS Sleman. Laga lanjutan Piala Presiden babak semi-final antara PSS Sleman kontra Borneo FC, Kamis 7 Juli 2022 memang menciptakan keseruan. Baik di lapangan maupun di bangku penonton.

Tribun Selatan, tempat yang dipenuhi oleh BCS tak henti-henti selama 90 menit meneriakan chants. Sepak bola memang berlangsung 90 menit, itu sudah termaktub dalam aturan FIFA. 

Namun, mencintai dan mendukung PSS Sleman, bagi BCS, tidak hanya terjadi selama waktu normal bergulir. Ada sebelum dan sesudah laga yang menciptakan kultur kental dalam dunia suporter sepak bola. 

Mojok.co mengikuti kegiatan Brigata Curva Sud (BCS) mulai dari sebelum sampai sesudah laga, dari mulai persiapan sampai beraksi di tribun selatan.

Gegap gempita bahkan sebelum jalannya laga

Tidak ada satu menit, pesan saya dibalas oleh salah satu BCS yang nomernya diberikan oleh Juan Tirta, media officer PSS Sleman. Isi pesan saya amat klise, seperti anak kuliahan yang mau mengajukan izin penelitian. Saya ingin mengikuti serangkaian kegiatan Brigata Curva Sud mulai dari sebelum laga, sampai sesudahnya.

Tepatnya, pesan itu saya kirim H-2 sebelum laga PSS Sleman bersua Borneo FC dalam ajang lanjutan Piala Presiden babak semi-final leg pertama. Pesan saya disetujui. Tanpa banyak basa-basi, kami janjian. “Besok saya kenalin sama semuanya di Sekre BCS,” kata salah satu BCS tersebut.

Esoknya, Rabu malam (06/07) pukul delapan kami tiba di Sekre Brigata Curva Sud yang juga merupakan Curvasudshop atau CSS di daerah Sanggrahan, Condongcatur. Suasana ramai, dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan, muda dan tua, yang memakai baju PSS Sleman sampai yang menggunakan pakaian bebas. Hari itu adalah penukaran tiket online dari pihak panitia Piala Presiden untuk BCS—atau untuk tribun selatan.

Selain mereka yang mau menukar tiket, ada juga yang berbelanja baju dan merch lainnya di CSS. Intinya, malam itu amat ramai. Salah satu BCS yang sudah janjian dengan saya, mengajak muter-muter CSS untuk sekadar melihat-lihat, ambil foto, atau apa saja. 

Jujur, saya pekewuh. Lha gimana, saya yang ngrepoti, tapi malah ditemani sampai melihat kesibukan di sana, yang jarang di-blow-up oleh media mana pun.

Antre panjang yang disesapi canda tawa, sampai mereka yang sibuk memilih baju terbaik untuk dibawa ke rumah, menghiasi suasana yang kian bertambah malam. Salah satu BCS yang menemani saya, malah makin semangat. Saya diperlihatkan buku-buku yang mengulas tentang BCS. 

“Salah satu buku ini, dibuat oleh mahasiswa asing yang mengikuti kegiatan BCS selama paruh musim penuh,” katanya, sambil menunjuk buku Ein Sommer Mit Sleman karya Andrin Brandle. Seluruhnya menggunakan bahasa Jerman.

Bursa Curva Sud, BCS
Suasana CSS selama penukaran tiket online dan buku hasil penelitian Andrin Brandle, mahasiswa Jerman yang melakukan penelitian tentang Brigata Curva Sud. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Setelah suasana kian sepi, Sleman malam hari makin dingin, saya diperkenalkan kepada beberapa BCS yang hadir di sana. Mereka berkumpul, tertawa, dan ngobrol apa saja. Saya yang tadinya mau wawancara, kami malah seperti mas-mas nongkrong pada umumnya.

“Santai wae, Mas,” kata salah satu BCS yang mempersilakan saya duduk di antara mereka. “Yo, seperti ini sebelum matchday, ngobrol-ngobrol sambil nukar tiket,” katanya. 

Pertanyaan awal saya nampak cupu, yakni bagaimana sejarah terbentuknya Brigata Curva Sud. Jika masalah sejarah, tentu mesin pencarian akan mengeluarkan hasil berjuta-juta banyaknya. Para BCS di sana pun terasa enggan karena jika membahas sejarah, maka harus lebih banyak narasumber lagi yang harus ditemui.

Secara singkat, saya merangkum sejarah BCS yang sadur dari berbagai sumber. Pada musim 2008/2009 BCS adalah kelompok kecil yang berada pada payung Slemania. Pada musim itu, BCS masih dikenal sebagai Ultras PSS. Saat itu, tribun selatan masih ditempati oleh suporter lawan yang sedang away ke Sleman. Kalau secara resmi, suporter yang identik dengan kaos hitam ini terbentuk tahun 2010.

BCS terkenal dengan manifestonya yaitu No Ticket No Game, Mandiri Menghidupi, No Politica, Still Solo, Away Days, No Leader Just Together, Sebatas Pagar Tribun, dan Ora Muntir

Semua BCS hampir pasti nggak mau menyebutkan identitasnya ketika diwawancara media. Ini adalah tradisi mereka yang terangkum dalam salah satu manifestonya, No Leader Just Together.

Pertanyaan saya tentang sejarah BCS berubah dengan cepat, bagaimana cara BCS membagikan tiketnya kepada komunitas-komunitasnya. “Kami kan bisa dibilang organisasi tanpa bentuk, namun basis kami adalah kolektif. Kami mencoba mempermudah untuk mendapatkan tiket dan mengurangi kebobolan calo,” kata salah satu BCS.

Untuk Piala Presiden 2022 kali ini, sistem ticketing adalah online, maka BCS mempersilakan keputusan panpel Piala Presiden. Namun, mereka meminta pihak panpel untuk menyerahkan tiket yang sudah dibeli kepada BCS dan dibagi secara mandiri untuk komunitas-komunitasnya, sesuai jumlah anggotanya.

Alurnya adalah H-3 pertandingan, ketika penjualan tiket dibuka, BCS mendata jumlah komunitas-komunitas yang mau membeli tiket. Maka H-2 dan H-1 matchday adalah pembagian tiket tersebut. Biasanya, keramaian terjadi ketika H-1.

Apa yang dilakukan setelah tiket selesai dibagikan? “Mabuk, Mas,” kata salah satu BCS. Dan Orang Tua pun berputar, satu sloki demi satu sloki, obrolan kami di Condongcatur yang dingin pun makin lincah. Namun, tentu saja terkendali.

Membicarakan kultur suporter dengan BCS di H-1 pertandingan

Hampir tak ada mobil dan motor yang melaju di Jalan Delima, Sanggrahan, Condongcatur. Nyenyet. Namun, obrolan kami makin bergulir, kali ini membahas tentang kultur suporter dan sub-kultur yang menyertainya. Seperti dalam pembahasan Copa90, BCS masuk dalam lima ultras terbaik se-Asia. Apakah BCS senang dengan “prestasi” tersebut? Jawaban mereka membuat saya terkejut.

Bersama Bangal Brigade (basis suporter East Bengal FC dari India), Boys of Straits (basis suporter Johor Darul Ta’zim F.C. dari Malaysia), Frente Tricolor (basis suporter Suwon Samsung Bluewings dari Korea Selatan), dan Urawa Boys (basis suporter Urawa Red Diamonds dari Jepang), BCS masuk dalam jajaran elit. Namun, BCS mencoba untuk menyetop sigma peringkat terlebih dahulu.

Ultra itu kan lebih, kami ingin mendukung dengan lebih untuk PSS Sleman,” kata salah satu BCS, ketika ditanya kenapa ingin menyetop stigma peringkat. 

Peringkat itu, menurut BCS, adalah penilaian orang dan sifatnya subjektif. Sedangkan BCS mendukung untuk PSS Sleman. “Kami ingin lebih,” tekannya. Menjelaskan lebih jauh kata “lebih” yang dimaksud, BCS ingin terus mendukung dan berproses. Yang dulu koreo hanya warna-warni, lalu angka, lalu kata-kata, dan selanjutnya adalah 3-D.

BCS awalnya murni ultras. “Kemudian BCS masuk berbagai macam kultur lain seperti Hooligan, Barra Bravas, bahkan mania pun masih ada, Mas,” kata salah satu BCS. Terbaru, lanjutnya, adalah adopsi kultur dari Timur Tengah, terutama musiknya seperti Ultras Raja Casablanca. “Kalau disebut ultras, nggak semuanya ultras, namun peleburan semua sub-kultur, jadi BCS.”

BCS juga pernah “membantu mendukung” Timnas Indonesia. Dalam artian, rajin mengisi tribun untuk mendukung mereka. Namun, sempat berselisih jalan ketika federasi mulai menjadikan pemain-pemain timnas sebagai bahan komersil belaka. Puncaknya adalah era Evan Dimas dkk., yang menjuarai Piala AFF U-19 tahun 2013. Lantas federasi membuat Tour Nusantara yang tidak baik untuk kesehatan pemain karena jadwal yang padat.

“Mereka (federasi, red) menjadikan timnas usia muda sebagai bahan entertainment,” kata salah satu BCS. Ia melanjutkan, “Sejak itu kami berbeda jalan. Karena Tour Nusantara berpotensi merusak pemain. Kami mundur, karena bentuk kekecewaan terhadap federasi, bukan pemain.”

Dilansir dari Indosport, generasi yang menjuarai AFF U-19 tahun 2013 itu hanya satu yang menembus skuad timnas senior di era sekarang. 

Fakta menarik dari koreo yang ditampilkan BCS

Ultras juga terkenal dengan bentuk kreasi dukungan kepada tim yang ia dukung. BCS pun tidak terkecuali, mereka acap kali menampilkan aksi ciamik dengan membentuk koreo, gulungan kertas, sampai beberapa chants yang terdengar baru dalam tribun sepak bola Indonesia.

Ada satu fakta menarik dari koreo yang biasa ditampilkan oleh BCS. Misalkan ketika membuat koreo yang membentuk mozaik angka, kata, bahkan sampai tampilan 3-D, pengerjaannya ternyata tidak sampai seminggu lamanya. Bahkan, beberapa koreo digarap selama kurang lebih satu hari saja.

Saya bertanya, apakah laga esok bakalan ada koreo? Salah satu BCS menjawab bahwa sampai detik ini belum ada rencana. “Mbuh ya, Mas, kalau nanti malam,” jawabnya. Padahal, jam sudah menunjuk hampir tengah malam. Memang sudah biasa ide-ide koreo ditemukan secara dadakan, langsung dikerjakan oleh BCS ke stadion secara kolektif.

Hal rumit tapi bisa dikerjakan secara cepat ini dikarenakan BCS sudah hapal pembagian letak tribun kuning—atau tribun selatan—Stadion Maguwoharjo. Mereka memiliki peta “jalan air” stadion di sisi selatan, lantas ada pola dan ada skalanya. 

Kertas warna-warni dibagi ketika para BCS memasuki tribun. Mereka tidak meletakkan di bawah karena berpotensi akan acak-acakan ketika diterpa angin. Di Stadion Maguwoharjo tribun selatan tidak ada single seat, jadi kertas tidak bisa di selipkan di kursi lipat.

Menurut BCS, ada plus minus membuat koreo di stadion yang tidak memiliki single seat seperti Maguwo. Kekurangannya tentu saja kertas tidak bisa dijepit di kursi. Namun, kelebihannya tingkat kerapian koreo lebih baik. “Kalau nggak ada single seat kita berdiri, lebih ndempel. Nanti koreo bisa rapet,” katanya. Jika ada yang tidak dapat kertas, akan tertutup karena saking rapatnya barisan BCS.

Koreo yang rumit, seperti ketika PSS Sleman menjamu Kalteng Putra dalam laga semifinal leg kedua Liga 2 2018, di tribun merah itu koreo 1976, di tribun kuning gambar Jin Kura-kura (salah satu tokoh dalam anime Dragon Ball, red), hanya dalam obrolan seperti ini. Pengerjannya tak lebih dari dua hari.

BCS buka-bukaan tentang koreo yang mengalami kegagalan untuk ditampilkan. Salah satu BCS menjawab kesalahan koreo—dan juga gagal terlaksananya sebuah koreo— beberapa kali terjadi. “Biasanya saat chaos, koreo gagal terlaksana.”

Salah satu koreo yang gagal dibawakan oleh BCS adalah dalam laga melawan Arema, ketika laga pembuka Liga 1 edisi 2019. Menggerakan basis massa sebanyak itu memang tidak mudah, namun bukan berarti muskil untuk diupayakan.

Hari pertandingan adalah pestanya rakyat Sleman

Hari sudah berganti menjadi Kamis (7/7). Nanti malam adalah pertandingan. Sehari ngobrol bersama mereka, mungkin saya bisa membuat satu buku terstruktur tentang kultur suporter sepak bola Indonesia. Pada dasarnya banyak basis massa klub bola di Indonesia yang mau berbenah. Namun, jika ada satu duri saja sebagai penghalang, maka seluruh nama basis massa bisa terbawa-bawa.

Media sosial Twitter Brigata Curva Sud bercuit begini, “MANGKAT SAKIKI NDAK SILAK KIBAK!” Awalnya saya menganggap bahwa itu adalah guyon semata. Lha gimana tidak guyon, cuitan itu di-posting pada pukul 13:56 ketika panas mumbal-mumbal, enam jam sebelum kick-off berkumandang. 

Setelah membaca kolom reply, saya menjadi mafhum. BCS tersebar di banyak tempat. Bahkan salah satu komunitas BCS, yakni Pasundan Green Boys ngelaju dari Tasik, 300 kilometer jauhnya.

Pada hari kick-off, Kamis (7/7) saya berangkat dari rumah pukul lima sore. Bergabung bersama beberapa komunitas yang bergerak dari daerah Condongcatur ke Stadion Maguwoharjo. Sepanjang jalan, mereka meneriakan chant. Bahkan, sebelum bertatap muka dengan pemain, BCS masih melantangkan suara. Pakaian serba hitam, syal memeluk leher, dan sepatu mereka kenakan.

Mengapa mereka sefanatik ini, jawabannya begini, “If you give us 90 minutes, we’ll give you a lifetime.” You yang dimaksud tentu saja PSS Sleman, sedangkan us yang dimaksud adalah BCS itu sendiri. Jawaban itu seakan menjadi tamparan bagi liputan saya yang hanya mengikuti mereka kurang lebih hanya tiga hari saja. Karena jika ingin mengerti kultur suporter sepak bola Indonesia secara keseluruhan, barangkali harus melakukan penelitian yang berlangsung selamanya. Namun tak apa, ya? Ini sebagai permulaan.

Matahari jatuh, malam seakan tiba dengan tergesa-gesa. Cahaya lampu Stadion Maguwoharjo berpendar dari kejauhan. Nyala pasar malam yang ada di sisi timurnya, kalah meriah. Beberapa warga di sekitar sana, ada yang memasang layar proyektor, barangkali untuk mereka yang tidak kebagian tiket. Atau untuk masyarakat sekitar yang susah mengakses masuk stadion.

Suasana pengecekan tiket secara offline di sisi selatan Stadion Maguwoharjo. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Jika mau jalan sebentar saja ke sisi lebih timur lagi, Anda akan berjumpa dengan segerombolan bapak-bapak yang juga menyiapkan layar tancap. Layar itu dibentangkan menutup sebuah gapura untuk masuk ke sebuah desa. Saya lantas berpikir, membuat masyarakat Sleman berpesta itu cukup mudah dan sederhana, biarkan saja PSS Sleman berlaga, maka pesta rakyat dengan organiknya tercipta.

Banyak yang membawa anak kecil ke dalam stadion. Tampaknya, sepak bola di Sleman belakangan ini mulai meluruhkan stigma kekerasan dan bar-barnya suporter bola. Walau tak bisa ditampik, banyak juga kasus kehilangan barang. Akun Twitter BCS menyediakan ruang untuk melaporkan kehilangan atau menemukan barang.

Namun, patut disayangkan, sepengamatan saya, ada beberapa oknum PSS Fans yang mabuk-mabukan di luar stadion. Mereka juga meneriaki beberapa orang yang lewat di depannya. Entah mereka bertujuan mau masuk stadion atau tidak—bahkan punya tiket atau tidak—karena sampai menjelang kick-off, mereka hanya mabuk-mabukan di luar pagar stadion sembari memaki-maki orang-orang yang hilir mudik di depannya.

Pandangan saya pribadi, mabuk-mabukan itu tak mengapa, namun tentu saja ada wayah-nya. Jika mau ke tribun dalam kondisi mabuk dan bermaksud berbuat kisruh, justru akan membuat repot nama basis massa yang sedang berbenah ke arah menjadi dewasa. Juga akan membuat upaya menciptakan suasana stadion yang ramah jadi kembali dipertanyakan.

Pukul tujuh, Anda akan melihat manusia-manusia yang menyemut dengan menggunakan pakaian serba hitam. Ada yang sudah mengantre masuk stadion, ada yang menunggu kawan-kawannya berkumpul, ada juga yang sibuk meneriakan chants. Membawa bendera, dan menabuh bass drum juga terus terdengar.

Setengah jam berikutnya, kerumunan itu berpindah ke dalam, teriakan mereka menjadi lebih massif kala pemain PSS Sleman masuk ke lapangan. Saya duduk di pinggir lapangan bersama kawan-kawan media. 

Ngobrol dengan orang di samping saya, rasanya bak melawan hukum alam karena melawan bising yang tak pernah ada kata jeda. Di belakang kami duduk adalah BCS yang terus bernyanyi sepanjang laga.

Kibaran bendera seperti gerak ritmis pepohonan yang ditiup angin, suara perut manusia-manusia yang memompa semangat pemain di lapangan, juga deru bass drum yang berdentum seperti pengiring perang. Lengkap. Ah, andai saja hari itu tidak ada orang mabuk yang rese, tentu pesta rakyat malam ini berjalan dengan sempurna.

Jujur saja, saya tak tahu bagaimana PSS Sleman bermain. Entah apik atau layak dapat kritik. Yang jelas pada kuarter pertama, mereka sudah dibobol oleh Borneo FC. Uniknya, ketika pemain-pemain Borneo FC selebrasi gol atas nama Matheus Pato, BCS masih terus mengumandangkan chants.

BCS di tribun selatan Stadion Maguwoharjo, Sleman. (Dok. BCS)

Sahut-sahutan antara BCS di tribun selatan dengan mereka yang ada di tribun utara juga menjadi pemandangan yang menyenangkan. Bagi saya yang awam, sesekali selentingan terdengar bahwa tribun utara berbeda visi dan misi dengan tribun selatan, nyanyian sahut-sahutan antara kedua kutub tribun yang tersaji malam itu menjadi pemandangan yang sentimentil.

Ketika tribun selatan berteriak Forza Sleman, diikuti oleh tribun utara, Forza Sleman. Begitu seterusnya; Sleman champione (Sleman champione). Forza Sleman il Sleman ole (forza Sleman il Sleman ole). Lantas begini; Vinci per noi (vinci per noi). Forza Sleman la sud e conte (forza Sleman la sud e conte). Ya, seperti yang bisa Anda tebak, berikutnya adalah ale-ale.

Setelah pertandingan usai

Sampai Kau Bisa seperti biasanya dinyanyikan di akhir pertandingan. Seluruh pemain dan official mengitari lapangan bagian tengah, BCS bernyanyi untuk mereka. Untuk para pahlawan mereka. Seperti dalam penggalan liriknya, “Sebuah kehormatan, mengawalmu pahlawan.”

Lautan manusia mulai meninggalkan stadion yang lampunya masih menyala dengan terang. Beberapa ada yang sedih, beberapa lagi hanya diam. Tak jarang saya temui mereka yang matanya sembab. Entah karena kekalahan, atau haru yang menyeruak sehabis menyanyikan anthem Sampai Kau Bisa.

Rasanya memang sulit dijelaskan karena dalam lini sejarah mana pun itu, tak ada kekalahan yang menyenangkan. Angka 2-0 sebagai keunggulan Borneo FC tidak berubah walau tambahan waktu 5 menit diberikan. PSS Sleman menelan kekalahan di leg pertama.

Antrean mengular dari beberapa lahan parkir di luar stadion. Klakson beberapa kali berbunyi, namun nyanyian sudah berhenti. Memang benar kesempatan untuk PSS Sleman lolos ke partai final itu masih terbuka lebar. 

Namun, tentu saja berat sekali halangannya. Selain tertinggal agregat dua angka, PSS Sleman juga harus tandang ke markas Borneo FC untuk lanjutan leg kedua Semifinal Piala Presiden 2022.  

Jam sudah menunjuk pukul sebelas lebih, sebentar lagi hari berganti. Saya paham sekali, kesedihan ini hanya akan berlangsung sebentar saja karena esok ketika PSS Sleman kembali berlaga, BCS akan kembali bersuara lantang. Persis seperti apa yang saya lihat barusan—atau bahkan bisa lebih.

Selama dua hari pasca-pertandingan Brigata Curva Sud melakukan analisa berbagai persoalan yang ada di pertandingan semifinal leg pertama Piala Presiden 2022. Evaluasi itu bermuara pada masukan pada manajemen PSS Sleman.

Saya jadi ingat apa kata mereka, “If you give us 90 minutes, we’ll give you a lifetime.” Kita sudah membahas makna kata “you” dan “us”, maka “lifetime” di sini maksudnya adalah selamanya. Toh dalam kehidupan yang sejatinya begitu singkat ini, tidak mungkin kesedihan tak pernah mampir dan menggoda air mata untuk luruh dan kemudian jatuh. Pasti ada saat sedih, pasti ada saat bahagia. Mereka silih berganti.

Hari ini kalah, masih ada besok. Jika besok kalah lagi, masih ada lusa. Dan begitu seterusnya. Seperti implementasi anthem BCS, Sampai Kau Bisa, yakni pada penggalan lirik, “Bertahun menjalani, lelah ini tak terasa lagi.” Lampu Stadion Maguwoharjo sudah padam, pesta hari ini sudah usai.

BACA JUGA: 46 Tahun PSS Sleman: Masuk Dunia Metaverse tapi Manajemen Masih Lelet

 

Exit mobile version