Derita Anak Kos: Sendiri, Sakit, Isoman tanpa Pantauan Nakes

Derita Anak Kos Sendiri Sakit Isoman tanpa Pantauan Nakes

Tidak semua orang yang positif Covid-19 mendapatkan shelter untuk isolasi mandiri. Sebagian dari mereka, salah satunya anak kos, menghabiskan waktunya di kamar 3×3 dalam kesendirian dan kesakitan, tanpa pantauan tenaga kesehatan. 

***

Tya pasrah, semua shelter isoman penuh. Ia akhirnya memilih kamar kos sebagai tempat menyepi dan menjauh dari interaksi. Di ruang 3×3 itu, ia menikmati demam, batuk, pilek dan nafas yang pendek sebagai efek dari Covid-19 yang ada di tubuhnya. 

Semua bermula beberapa saat dia memeriksakan diri di rumah sakit. “Mbaknya masih gejala ringan, masih bisa ke rumah sakit sendiri, sebaiknya isoman di kos saja,” ucap Ardia Suttyawati Mamonto (22) menirukan apa yang disampaikan petugas pelayanan tes usap antigen di RS PKU Muhammadiyah Gamping. 

Kalimat itu membuatnya cukup berpikir lama, linglung dan bingung. Bahkan untuk sekadar menyadari bahwa dirinya positif Covid-19 saja sudah membuatnya merasa pusing. Apalagi untuk memikirkan bagaimana ia menjalani masa isoman sendirian di kos.

Ia sadar bahwa bangsal di rumah sakit memang selayaknya dipergunakan untuk pasien dengan gejala berat dan membutuhkan berbagai alat bantu. ”Tapi setidaknya saya merasa butuh pemantauan dari dokter, di titik itu saya bingung sekali, tidak ada saudara yang punya rumah di sini (Yogya),” curhat perempuan yang akrab disapa Tya, Jumat (13/8/2021) lalu.

Sepulang dari RS, ia berhenti di sebuah apotek, menanyakan obat apa yang bisa ia konsumsi agar lekas pulih dari penyakit ini. Sebab, tak ada resep obat apapun yang ia terima saat terkonfirmasi positif tes usap. Tya sampai bilang pada apoteker, “Mohon maaf, saya positif covid, obat yang bisa saya konsumsi apa ya?” Hingga akhirnya diberikanlah sejumlah obat dan vitamin.

Sesampainya di kos, ia putuskan untuk mencari informasi shelter isoman. Pikiran pertamanya adalah untuk menghubungi fasilitas kesehatan terdekat yakni Puskesmas Gamping. Saat menghubungi kontak puskesmas, ia diarahkan untuk mengontak nomor khusus hotline covid-19 puskesmas tersebut. Namun setelah ia hubungi, hotline tidak mengangkat telepon berulang kali.

“Seperti dilempar-lempar terus tanpa kepastian jelas. Saya menghubungi Dinas Kesehatan Bantul untuk menanyakan shelter isoman pun penuh, hanya didata dan dimohon untuk menunggu antrean,” ucapnya dengan lemas. Benar saja, hingga akhirnya ia tuntas isoman selama 14 hari, antrean itu belum juga kelar.

Tya bahkan menghubungi shelter Universitas Islam Indonesia (UII). Namun, tempat itu dipergunakan khusus mahasiswa UII dan warga Sleman. Sebab shelter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang dekat dari kosnya  menurut informasi yang ia sebelumnya sedang penuh.

Sungguh disayangkan sebenarnya, Tya beberapa pekan sebelumnya telah diwisuda dari kampusnya. Sehingga tak dapat memanfaatkan sejumlah pelayanan kesehatan yang ditawarkan oleh UMY bagi setiap mahasiswa yang terkena korona. 

“Kalau mahasiswa, lapor saja ke bagian kemahasiswaan nanti mendapat pelayanan, kalau shelter penuh pun nanti ada pengecekan berkala ke tempat tinggal serta pemberian obat,” tandas fresh graduate Jurusan Teknik Elektro UMY ini.

Ia pasrah dan akhirnya meyakinkan diri untuk menjalani isoman di kamar kos. Kamar itu luasnya 3×3 meter dan beruntungnya memiliki kamar mandi yang tertetak di dalam. 

Terdapat sepuluh kamar dalam bangunan tersebut, namun menurut penuturan Tya, hanya setengahnya yang sedang terisi orang. Itu jadi berkah tersendiri karena lebih sepi dan meminimalisir interaksi.

Selama menjalani isoman, ia harus menghadapi sejumlah kenyataan tak mengenakkan dengan segenap keterbatasan. Setelah demam reda dan pegal-pegal di badan mulai beranjak, ia merasakan hilang rasa di lidahnya selama lima hari. Sehingga makanan-makanan yang ia pesan melalui jasa ojek online tak terasa sama sekali, seperti benda tawar bertekstur lembut maupun kasar yang terpaksa dijejalkan ke dalam tenggorokannya. 

Selanjutnya ia mengalami anosmia, jauh lebih lama yakni sembilan hari. “Sebenarnya itu gejala umum yang dialami, tapi rasanya tetap kaget saja,” celoteh perempuan asal Paser, Kalimatan Timur ini. Total anak rantau ini melakukan isoman selama 14 hari, dari pertengahan Juni hingga awal Juli 2021.

Selain itu nafasnya pun terasa pendek disertai batuk dan pilek ringan. Namun nafas pendeknya tak begitu memengaruhi, sebab ia memang tak bisa melakukan banyak aktivitas yang membutuhkan nafas panjang. Memang aktivitas apa yang bisa diharapkan di kamar sempit dan penuh barang selain rebahan?

Waktunya lebih banyak ia habiskan dengan rebahan sambil scrol instagram, nonton video lucu, cari informasi penting tentang Covid-19. 

Untuk berjemur pun ia tak bisa, bahkan sekadar mengambil pesanan makanan di gerbang saja ia sungkan. Takut menularkan ke anak kos lain jika berpapasan. Apabila tanpa direncana ia hendak berpapasan, maka dari jauh ia menyampaikan untuk hati-hati, “Aku positif,” katanya.

Anak kos yang bertahan dengan kebaikan orang lain

Hal yang tak kalah menyusahkan adalah tentang cucian, Tya mengaku sama sekali tak mencuci baju maupun laundry selama dua pekan isoman. Ia bertahan dengan pakaian yang nyaris habis dan tumpukan baju kotor di kamar sempitnya. “Kalau nyuci baju memang bisa, tapi menjemurnya? Jemuran kos kan digunakan ramai-ramai, saya takut. Begitupun untuk laundry, baju saya pasti banyak virusnya,” keluhnya.

Anak kos yang isomanSendirian dalam kesepian, jadi tantangan anak kos saat isoman. Photo by Rae Angela on Unsplash
Anak kos yang isomanSendirian dalam kesepian, jadi tantangan anak kos saat isoman. Photo by Rae Angela on Unsplash

Tya mengaku sebisa mungkin tidak meminta bantuan pada orang lain saat isoman. Namun ada kalanya, kebaikan teman-temannya adalah sesuatu yang sangat berharga. Saat kehabisan obat atau butuh alat medis tertentu misalnya, mau tak mau ia menghubungi rekan agar bisa dibantu membelikan di apotek.

Untuk masalah makan, ia mengandalkan aplikasi ojek online. Namun terkadang, tanpa diminta teman-temannya mengirimkan makanan. Satu dua anak kos yang ia kenal juga kerap menanyakan kabar atau sekadar memastikan butuh dibelikan makanan atau tidak. Hal-hal itu menjadi penguatnya di masa-masa berat.

Satu hal yang sampai isoman usai tak ia lakukan, yakni mengabarkan kondisinya pada pemilik kos. Sejatinya pemilik kos tempat Tya bermukim memang tidak tinggal di bangunan bahkan daerah yang sama. Bapak kos, begitu Tya menyebut, tinggal di Jakarta. Sedangkan segala urusan kos tersebut dipasrahkan pada seorang tetangga.

Sebenarnya Tya bisa saja menghubungi tetangga tersebut, namun ia memilih tidak melakukannya. Sebab ia khawatir tak bisa diterima. “Saya takut kalau tidak boleh tinggal di kos selama isoman. Saya tidak ada pikiran lagi mau tinggal di mana. Lagi pula tetangga yang dipasrahi kos ini juga hanya seminggu sekali atau dua kali datang untuk bersih-bersih. Jadi hampir tidak ada interaksi,” paparnya.

Memang ada sejumlah kasus di mana seseorang tak diizinkan isoman di kamar kos oleh pemiliknya. Ada sejumlah alasan yang melandasi hal tersebut. Misalnya saja di bangunan yang sama juga tinggal keluarga pemilik kos yang sudah lanjut usia yang rentang terpapar dan memiliki komorbid penyakit. Namun, ada juga yang menolak keberadaan anak kos yang isoman karena kekhawatiran-kekhawatiran lain, dan itulah yang diresahkan Tya bisa terjadi.

Isolasi mandiri atau isoman di kamar kos akibat terpapar covid-19 sering tak jadi pilihan utama. Kos memang tempat tinggal, tapi ia punya segenap keterbatasan. Mulai dari sempitnya kamar hingga fasilitas yang dituntut digunakan berbarengan. Selain itu, kos menuntut kita hidup berdampingan dengan orang-orang, yang kadang, tak begitu kita kenal.

Namun demikian, kos kerap jadi satu-satunya harapan bagi anak muda perantauan yang terpapar virus korona. Baik yang bergejala maupun tidak bergejala. Disebabkan tidak cukupnya bangsal rumah sakit maupun shelter isoman yang bisa menampung mereka.

Padahal, menurut Laporcovid19.org, angka kematian saat isoman dan di luar rumah sakit akibat Covid-19 mencapai 3.007 jiwa, setidaknya sejak 13 Juni hingga 7 Agustus 2021. Belum lagi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tempat beberapa narasumber yang saya wawancara tinggal, angka kematian pada kategori ini menduduki peringkat ketiga, 309 jiwa dalam kurun waktu yang sama.

Bapak kos yang baik hati

Maula (22), merasa beruntung, karena meski positif Covid-19 dan terpaksa isoman di kos, pemiliknya dengan lapang hati mengizinkan. Pemuda yang nge-kos di daerah Wirobrajan, Yogya ini dinyatakan positif dengan gejala ringan berupa batuk dan demam setelah tes usap antigen pada pertengahan Juli lalu.

Ia mengaku tak mendapat banyak informasi soal shelter isoman sehingga kamar kosnya menjadi pilihan utama. Kosnya jauh dari kata ideal untuk menjalani isoman. Luas sekitar 3×3 dengan kamar mandi yang tertetak di luar. Pencahayaan minim dengan tembok usang bercat pudar menjadi kombinasi yang agaknya cukup suram.

Beruntungnya, pemilik kosnya tidak keberatan jika Maula menjalani isoman di kamarnya. “Saya izin dulu dan ternyata boleh,” ucap mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini. Keberuntungan lain yang ia dapat adalah kosongnya sejumlah kamar. Sebagai informasi, kos miliknya terdiri dari delapan kamar, tiga di bawah dan lima di lantai atas.

Kamar lantai bawah hanya dihuni ia seorang diri, sehingga kamar mandi yang terletak di luar bisa digunakan sendiri. Sebab kamar atas telah memiliki kamar mandi khusus.

Tak henti di situ, pemilik kos juga sesekali meletakkan makanan untuknya. Menanyakan kabar via WhatsApp bahkan tak sungkan menawarkan obat. Memang sang pemilik tak bermukim di bangunan yang sama, namun hampir setiap hari mengunjungi kos tersebut untuk sekadar mengecek berbagai hal.

Maula mengaku kadang khawatir dengan kondis dirinya. Apalagi ketika mendengar banyak pasien isoman yang meninggal. Kondisi tersebut membuatnya overthinking dengan apa yang ia alami. Misalnya saat ia merasa nafasnya tidak enak, maka ia membayangkan saturasi oksigennya sendikit. “Kalau tiba-tiba ngedrop gimana ya,” kata Maula. Ia kemudian membeli oximeter dan tahu kalau saturasi oksigenya masih di angka 90-an. Ia mengisi hari-hari isomannya dengan main game. Ia juga lebih sering berkomunikasi dengan keluarganya.

Saat ditanya, pemilik kos bernama Satria Kusumayuda (30) mengaku tak masalah jika ada anak kos yang terpaksa menjalani isoman di tempatnya. Meski begitu, ia tetap menerapkan protokol kesehatan saat beraktivitas di kos miliknya. “Saya kalau lewat depan kamarnya ya tetap pakai masker, pokoknya jaga protokol kesehatan juga,” katanya.

Sesekali ia memang meletakkan bungkusan makanan di gagang pintu kamar Maula. Ia mengaku hanya sekadarnya saja, karena kebetulan ibunya memiliki usaha gudeg sehingga kalau pagi ke kos membawakan bubur atau nasi gudeg untuk penghuni kos yang menjalani isoman tersebut. Maula juga menjadi penghuni kos pertama yang menjalani isoman di tempat kepunyaan pria yang akrab disapa Yuda ini.

“Sebetulnya ada juga penghuni kos di sini yang dulu sempat positif, tapi isomannya di tempat lain. Sekarang fasilitas untuk isoman kan memang minim ya, masa anak kos saya suruh isoman di hotel, kan kasian juga,” tambah Yuda.

Selain keberuntungan tersebut, Maula berhadapan dengan hal-hal yang nyaris sama dengan apa yang dialami Tya. Kesepian, kesendirian, dan keterbatasan fasilitas untuk menjalani isoman yang ideal.

Baik Maula maupun Tya sampai akhir masa isomannya tak sekalipun mendapat kunjungan atau pengecekan dari tenaga medis. Maula memang tak melaporkan diri ke instansi kesehatan terdekat, sedangkan Tya sudah sempat melapor ke puskesmas hingga dinas kesehatan.

***

Pasien isoman belakangan memang jadi sorotan.  Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie pada pertengahan Juli 2021 mengakui bahwa  pasien isoman yang meninggal dunia belakangan angkanya cukup tinggi. “Salah satu faktor penyebab tingginya kematian pasien isoman Covid-19 itu karena masih banyak yang enggan menjalani isolasi di shelter,” kata Pembajun dalam konferensi pers daring, dilansir dari Tempo.co.

Di lain waktu, Indrayanto Wakil Komandan Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DI Yogyakarta Indrayanto menduga, pasien Covid-19 meninggal saat isoman disebabkan karena belum semua puskesmas melayani pasien selama 24 jam. Menurutnya, puskesmas seharusnya memberikan layanan atau memantau kondisi pasien Covid-19 yang isoman selama 24 jam. 

“Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes) rumah sakit tidak cukup kapasitas ya maka fasyankes pendukungnya (Puskesmas) ini juga harus bergerak 24 jam untuk melayani yang di rumah walaupun dia tidak harus dirujuk,” ujarnya dilansir dari Kompas.com.

Apapun itu penyebabnya, sudah selayaknya pasien isoman menjadi perhatian. Terutama mereka yang jauh dari rumah di perantuan dengan segala keterbatasan.

BACA JUGA Ekspedisi Bersepeda Menjelajah Indonesia dan Impian Nur Kholis liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version