Curhat Pemilik Kos di Jogja: Mahasiswa Bergaya Elite, tapi Bayar Kos Sulit

Curhat Pemilik Kos di Jogja, Saat Mahasiswa Bergaya Elite Bayar Kos Sulit. MOJOK.CO

Ilustrasi Curhat Pemilik Kos di Jogja, Saat Mahasiswa Bergaya Elite Bayar Kos Sulit. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Gaya elite, bayar kos sulit. Ungkapan itu setidaknya dirasakan oleh sebagian pemilik kos di Yogyakarta. Ada sebagian anak-anak kos yang giliran bayar sewa, malah sulit. Padahal gaya hidup sehari-hari, tampak elite.

***

Sore itu sebuah kos putri di bilangan Demangan, Yogyakarta sedang sepi. Hanya ada satu penghuni yang sedang berada di kamarnya. Sisanya, masih menikmati masa liburan semester di kampung halaman.

“Hanya ada satu yang di kamar. Dia lagi mau KKN,” kata Siwi* (40), pemilik kos tersebut.

Pemilik kos butuh kepastian

Ia tampak sedikit gusar. Juli ini, masa kebanyakan anak kos harus memperpanjang sewa tahunan. Namun, meski sudah ia beri tenggat waktu, belum ada satu pun yang membayarkan uang kos atau sekadar memberi uang muka.

“Sebagai pemilik kos, saya kan butuh kepastian. Ini mumpung lagi musim penerimaan mahasiswa, kalau memang nggak melanjutkan, bisa saya tawarkan ke orang baru,” terangnya saat Mojok temui Kamis (6/7/2023).

Siwi duduk di teras sambil mengamati bangunan yang telah jadi saksi sejarah panjang kehidupan keluarganya. Ini merupakan rumah eyang, yang kemudian diwariskan ke orang tua, dan kini beralih tangan ke Siwi.

Tahun lalu ia baru melakukan renovasi besar-besaran pondokan atau kos tersebut. Sejak tahun 1990-an, bangunan ini sudah menjadi kos. Namun fasadnya yang bergaya limasan mulai lapuk dimakan usia. Terlebih, eyangnya sudah lama meninggal. Sedangkan orang tua Siwi tinggal di Solo.

Dulu, motif ekonomi bukan jadi alasan utama menyewakan rumah tersebut. Eyang yang tinggal di sini  hanya butuh teman, dan kebetulan rumahnya memang punya banyak kamar. Sehingga tercetuslah ide untuk menjadikannya kos sederhana.

“Bahkan sampai 2018 ketika saya memutuskan untuk mengosongkan kos ini, harga sewa terakhirnya masih Rp1 juta per tahun,” kata Siwi. Nominal yang begitu terjangkau. Ada 13 kamar yang saat itu ia sewakan.

Ia yang dinas di luar kota, hanya sesekali mengecek rumah. Operasional kos ia titipkan ke saudara sepupu yang masih satu kampung. Sampai akhirnya ia merasa bangunan tersebut sudah begitu rapuh. Kayu-kayu sudah banyak lapuk, talang air sering bocor, ia pun memutuskan mengosongkannya.

Renovasi kos itu tidak murah

Rumah itu kosong dan terbengkalai hampir tiga tahun, sampai akhirnya Siwi memutuskan untuk merenovasi total. Saat itu ayahnya sedang sakit parah dan ia ingin memperbaiki rumah warisan tersebut sebagai wujud baktinya.

Pada 2022, renovasi besar-besaran pun berjalan. Nyaris semua komponen bangunan lama dibongkar. Hanya kayu-kayu yang masih layak yang kemudian kembali dimanfaatkan untuk membuat kusen pintu.

“Total habis sekitar 700 juta,” katanya tertawa.

Jumlah itu sedikit melampaui estimasinya. Uang tabungan habis, ia pun harus mengajukan pinjaman ke bank.

Sampai akhirnya, bangunan kos pun jadi. Ia sedikit berbahagia karena akhirnya bisa merampungkan sebuah bangunan yang layak, baik sebagai hunian pribadi maupun investasi jangka panjang.

Salah satu kamar kos eksklusif di Jogja. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Ada delapan kamar yang ia sewakan dengan beberapa tipe berbeda-beda. Ada yang harganya Rp5,5 juta per tahun, Rp 6 juta per tahun, hingga satu kamar bertarif Rp 8 juta per tahun dengan kamar mandi dalam. Semua sudah termasuk listrik dan WiFi.

Di luar masih terdapat empat kamar mandi plus satu dapur umum. Fasilitas ini terbilang sudah memenuhi standar untuk kamar kos di kelas menengah.

Biaya bangun kos mahal, harga sewa ditawar

Salah satu pengalaman mengesalkan pertama yang Siwi rasakan setelah menawarkan kos adalah orang tua calon penghuni yang menawar dengan harga yang kurang layak. Alasannya karena biaya UKT anaknya yang cukup mahal. Padahal, ia melihat orang itu datang dari kalangan cukup mampu.

“Padahal mereka datang dengan mobil. Saya tahu ibunya PNS dan bapaknya punya rumah makan. Saat datang ke Jogja motornya juga langsung baru,” terangnya.

Tapi, sang ibu menawar agar harga sewanya bisa sama dengan kos sebelah. Kebetulan kos itu masih milik kakak sepupu Siwi. Fasilitasnya pun berbeda jauh. Belum ada WiFi dan hanya ada satu kamar mandi untuk sembilan kamar.

“Harganya memang Rp3,5 juta per tahun. Murah. Cuma bangunannya dan fasilitasnya berbeda jauh,” keluhnya.

Akhirnya, ia pun menegaskan bahwa harganya sudah tetap. Jika hendak murah, silakan saja sewa kamar di tempat tetangga itu. Dengan konsekuensi fasilitas yang berbeda. Akhirnya, orang tuanya pun mahfum. Uang muka segera mereka bayarkan.

Gaya hidup elite bayar kos sulit

Persoalan berlanjut setelah semua kamar penuh penyewa. Awalnya, Siwi memberikan kelonggaran dengan membayarkan uang muka terlebih dahulu, baru sebulan berselang mereka harus melunasinya.

Sayangnya, tidak mudah untuk menagih pelunasan para penyewa. Mereka menunda-nunda untuk bayar kos, sampai akhirnya Siwi harus tegas.

“Akhirnya saya harus tegas, kalau misalnya nggak bisa, dp saya kembalikan, cari kos lain saja. Saya mending cari anak kos baru tapi kontan,” keluhnya. Setelah ia bersikap tegas, ternyata sang anak langsung melunasi.

Hal yang membuat Siwi mengelus dada adalah melihat kebiasaan para mahasiswa yang cukup sulit saat membayar kos. Ia mengamati, mereka sering membeli makanan online yang harganya lebih mahal ketimbang beli di warmindo atau masak sendiri. Dapur umum yang ia sediakan pun hanya digunakan oleh satu dua orang penghuni saja.

Belum lagi, karena saling menyimpan nomor di WhatsApp, Siwi sering melihat update status mereka. Tampak mereka sering nongkrong di kafe-kafe dengan penampakan yang cukup mewah. Penampilannya juga terlihat mentereng. Namun, Siwi masih berpikir positif bahwa cewek zaman sekarang pintar padu padan pakaian meski harganya tidak mahal-mahal amat.

“Ini bukan saya saja yang mengalami. Kakak sepupu saya juga mengeluh mahasiswa yang minta murah tapi fasilitas lengkap. Namun, bayarnya tersendat,” katanya.

“Bahkan dia pernah mengalami anak kos yang kabur tidak membayar,” imbuhnya geleng-geleng kepala.

Saat mahasiswa penghuni kos eksklusif kesulitan uang

Cerita serupa dituturkan oleh Herman* (35), pemilik kos eksklusif di bilangan Maguwoharjo. Kamar yang ia sewakan memang untuk kalangan atas. Fasilitasnya lengkap dan harga sewanya mulai dari Rp2,6 juta per bulan.

Herman mengaku untuk mengisi fasilitas dalam kamar saja perlu merogoh kocek sekitar Rp40 juta. Fasilitas mulai dari kulkas, ac, meja dan kursi, lemari besar yang menempel di tembok, dan beragam instalasi ruang lainnya.

Ia beberapa kali menemukan, pertanyaan dari calon penyewa yang menunjukkan bahwa ia dari kalangan berada. “Kalau boleh tahu apakah parkirannya cukup untuk mobil?” katanya menirukan pertanyaan umum yang datang. Bukan hanya itu, kerap mereka menyebut merek mobil secara spesifik. Yang menunjukkan mobilnya berharga di atas Rp300 juta.

Tapi persoalannya, bahkan calon penghuni yang sudah tampak meyakinkan secara keuangan itu sesekali telat melakukan pembayaran. Ia kadang terheran-heran dengan fenomena ini.

Bukan hanya itu, terkadang meteran listrik dibiarkan untuk waktu yang lama meski telah berbunyi dan menunjukkan warna merah tanda harus segera diisi token. Ia sampai mengingatkan secara personal kepada penghuni lewat pesan WhatsApp.

“Ini kalau dibiarkan sampai habis tokennya kan bisa rusak meterannya. Repot kalau itu, biaya lagi ngurusnya,” keluhnya.

Herman mengaku masih bisa memberikan toleransi jika para penghuni menyampaikan kendala keuangan secara baik-baik. Meski dari kalangan berada, ia mendapati fenomena bahwa kerap kali orang tua mereka mengalami kebangkrutan dan penurunan kondisi finansial.

“Itu lumrah. Asal mereka bilang baik-baik, bahkan untuk listrik pun saya nggak masalah mengisikan token dulu,” tuturnya.

Begitulah dinamika yang Herman rasakan sejak menjadi pemilik kos pada 2021 silam. Sampai saat ini ia hanya dibantu satu karyawan untuk mengelola bangunan dengan sebelas kamar. Sebab menambah lebih banyak karyawan membuatnya semakin lama balik modal.

Ketika mahasiswa menjadikan tempat tinggal nomor dua

Ada temuan menarik yang masih sejalan dengan kondisi yang Siwi alami. Belakangan ada sejumlah mahasiswa yang mengaku, biaya untuk ngopi di coffee shop sebulan lebih banyak daripada uang makan dan sewa kamar kos.

Daus (25) misalnya, mahasiswa semester akhir salah satu PTN di Jogja ini hampir setiap hari nongkrong di kafe. Setiap kali melakukan hal itu, ia bisa menghabiskan Rp20-50 ribu.

“Ambil aja sehari keluar Rp30 ribu. Seminggu habis Rp210 ribu. Lumayan juga ternyata,” begitu ujarnya, sambil mengernyitkan dahi menyadari bahwa pengeluarannya untuk urusan ini cukup besar.

Uang ngopi mahasiswa ada yang lebih besar daripada uang kos bulanannya. (Photo by Nathan Dumlao on Unsplash)

Padahal, biaya sewa kamar kosnya hanya Rp450 ribu per bulan. Belum termasuk iuran WiFi Rp50 ribu.

Kegiatannya di coffee shop hanya sebatas nongkrong. Sesekali mengerjakan skripsi yang sudah mendekati masa akhir ultimatum dari dosennya.

Lebih besar anggaran untuk ngopi

Hal serupa jika diakui oleh Fauzan (24) yang ke coffee shop tiga  sampai lima kali sepekan. Menurutnya, uang ngopi sekali ke coffee shop, rata-rata Rp60-80 ribu. Kadang nominal itu sudah termasuk membeli camilan atau makan di tempat tersebut.

Ambil saja tiga kali sepekan dengan pengeluaran Rp60 ribu, maka ia bisa merogoh kocek sampai Rp720 ribu per bulan. Setahun, ia bisa mengeluarkan lebih dari Rp8 juta.

Nominal itu lebih tinggi ketimbang biaya sewa kamarnya per tahun dengan nominal Rp4,5 juta. Namun, mahasiswa PTS di Jogja ini mengaku sering ke coffee shop lantaran punya pekerjaan sampingan. Bekerja di industri kreatif membuatnya perlu tempat yang nyaman untuk fokus membuka laptop.

Sosiolog UIN Sunan Kalijaga, Muryanti menjelaskan bahwa fenomena mahasiswa yang mengutamakan nongkrong ketimbang urusan prinsipil seperti sewa tempat tinggal merupakan hal yang semakin lazim di kalangan masyarakat digital. Jenis ini merupakan perkembangan terkini dari perubahan sosial di masyarakat.

Masyarakat digital atau digital society merupakan kelanjutan dari masyarakat pertanian dan masyarakat industri. Pangan tetap jadi kebutuhan utama, namun anak muda ini mulai mengedepankan eksistensi yang bisa didapat lewat nongkrong di coffee shop.

“Mengapa mereka nongkrong? Itu kan banyak tujuannya. Mulai dari gaya hidup, eksistensi, ruang ekspresi, dan tempat melepaskan penat,” terangnya.

Masyarakat digital ini sangat tergantung kepada media. Di tongkrongan pun, di samping interaksi dengan sesama manusia mereka tidak bisa lepas dari media digital. Mengunggah kegiatannya untuk menunjukkan eksistensi diri.

Begitulah rupa-rupa prioritas mahasiswa dalam mengelola pengeluarannya. Tentu yang paling penting, jangan sampai biaya untuk ngopi dan kebutuhan penunjang gaya hidup membuat lupa membayar hal penting yakni tempat tinggal. Sebab banyak pemilik kos menaruh harap pada pundi-pundi dari kamar yang mereka sewakan.

 

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Saat Uang Ngopi Mahasiswa Jogja di Coffee Shop Lebih dari Biaya Makan dan Sewa Kos

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version