Cerita Orang Jogja yang Kuliah di Ohio: Amerika yang Biasa Saja, Sengsara Tanpa Gojek, dan Ngerinya Hidup di Tengah Pemegang Pistol

Cerita Orang Jogja yang Kuliah di Ohio: Amerika yang Biasa Saja, Sengsara Tanpa Gojek, dan Ngerinya Hidup di Tengah Pemegang Pistol

Cerita Orang Jogja yang Kuliah di Ohio: Amerika yang Biasa Saja, Sengsara Tanpa Gojek, dan Ngerinya Hidup di Tengah Pemegang Pistol (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bermimpi kuliah di AS dengan menjalani kuliah di AS itu dua hal yang berbeda. Yang satu terlihat indah, yang satunya berharap itu beneran indah. Mbak Uke, mahasiswa Ohio State University asal Jogja akan berbagi seperti apa rasanya kuliah di Ohio dan rasanya hidup di daerah yang mendukung bedil.

***

Saya dan Mbak Uke baru bisa bincang-bincang pukul 10 malam. Perbedaan waktu sekitar 11 jam bukan hal mudah. Saya sudah merasa letih, beliau baru seger-segernya menjalani hari. Tak ada pilihan lain, hanya tadi malam (24/04/2024) lah kesempatan kami berdua berbincang-bincang, jadi ya gas saja.

Percakapan dimulai dengan amat Indonesia: basa-basi, belok sana-sini, barulah saya bawa ke pertanyaan pertama: bagaimana bisa Mbak Uke kuliah di Amerika, tepatnya di Ohio State University?

Beliau menjawab, hasil iseng-iseng belaka.

Mbak Uke tidak pernah menyangka usaha iseng-iseng mendaftar beasiswa Fulbright akan berbuah begitu manis. 

“Jujur aja kemarin itu aku kaya iseng-iseng berhadiah mas. Daftar, terus keterima, plus aku tuh nggak pernah kebayang sekolah di Amerika. Dulu pinginnya di Jepang atau New Zealand karena ngejar profesornya. Di Jepang ternyata sekolah profesornya nggak ada S3. Yang di NZ, profesornya lagi nggak nerima bimbingan baru. Jadi nyobain ke Amerika.”

Kenapa aku sekolah di sini tuh, jan-jane aku keterima di beberapa universitas. Tapi aku milih sini (OSU), karena pengembangan program literasi terbaik di Amerika ini ya di Ohio ini.”

Pertanyaan saya selanjutnya amat klise, bisa ditebak, seperti apa rasanya hidup di Ohio, Amerika Serikat. Tapi tetap saja, saya penasaran, dan jawabannya lumayan mengagetkan.

Mbak Uke merasa hal yang paling berat adalah hidup dalam perasaan keterasingan. Menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Jogja, bikin beliau merasa benar-benar terasing di tempat baru. Mbak Uke memang pernah merantau ke Semarang selama setahun, tapi kapan pun dia bisa balik Jogja jika kangen. Tentu saja, beliau sekarang tidak bisa balik Jogja kapan saja, semau dia.

Mendingan Jogja ketimbang Ohio

Yang mengagetkan adalah, baginya, Jogja lebih menarik ketimbang Ohio.

Di Jogja, segalanya ada. Resource-nya banyak, menurut Mbak Uke. Misal kalau galau, dia bisa ke daerah Jogja mana aja atau main ke tempat kawan. Di Ohio, jelas nggak ada itu. Pesan makanan pun susah. Di Indonesia, tinggal klik Gojek atau Grab, kelar. Di sana, ya ada Uber, Doordash, dan Grubhub. Tapi harganya (jelas) jauh lebih mahal ketimbang jasa Gojek.

“Ini sepengalaman sama setauku ya mas. Columbus (Ohio) tu nggak kaya Chicago atau New York, cenderung B aja. Kalah lively dibanding kota sebelahnya kaya Cleveland sama Cincinnati yang lebih kecil. Jadi city attraction gitu, hambok sama Jogja kalah, Mas.”

“Aku beberapa kali nonton pameran seni di sini ya, Mas. Weh, ha ya tep apik ArtJog.”

Perkara transportasi juga jadi masalah untuk Mbak Uke. Awal-awal di Ohio, dia kesulitan untuk berdamai dengan bus sebab ke mana-mana jadi lama. Tempat yang bisa dicapai mobil selama 10 menit, jadi setengah sampai satu jam jika ditempuh dengan bus. Meski gratis, tetap saja kurang efektif bagi Mbak Uke.

Sekarang katanya dia sudah bisa berdamai dengan hal tersebut. Sesekali kalau kepepet, dia naik Lyft. Tapi ya mahal, keluh dia.

Pagi di Ohio, malam di Indonesia

Perbedaan waktu juga jadi masalah. Mbak Uke menyatakan bahwa perbedaan zona waktu ini jadi culture shock yang ekstrem baginya. Ketika dia mulai beraktivitas, kawannya di Indonesia mulai tidur. Ketika di mulai selo, kawan-kawannya malah kerja. Bagi Mbak Uke, ini berat. Pada akhirnya, dia masih memakai pola hidup zona waktu Indonesia, untuk mengatasi rasa keterasingan.

Perkara makanan, ternyata tidak jadi soal yang berat untuk Mbak Uke. Masih ada beberapa makanan yang oke seperti masakan Meksiko dan Korea. Masih ada rasanya, lah. Kalau untuk makanan yang Amerika banget, dia hanya bisa bilang “buat selingan saja”. 

“Tapi di sini banyak orang Indonesianya, aku tinggal juga deket mereka, terus temen-temen pada jago masak. Kadang-kadang dapet kiriman ahahah. Bahan masakan Asia juga lumayan banyak disini, ada beberapa toko Asia yang lumayan banyak pilihannya. Indomie aja ada mas, malah ada rasa yang aku belum pernah nemu di Indonesia.”

Hal-hal baik di Ohio

Tempat baru mungkin tak bikin betah, tapi tak berarti tempat itu buruk. Bagi Mbak Uke, banyak hal-hal baik di Ohio. Salah satunya adalah tentang perpustakaan Ohio yang begitu hebat.

“Perpusnya itu nggak cuma tempat koleksi buku, tapi community engagement-nya tinggi. Programnya banyak banget untuk anak sekolah sampe masyarakat umum. Kan banyak imigran ya mas di sini, jadi banyak yang butuh bantuan kaya masalah2 legal, cari rumah, cari kerja, belajar bahasa dll. Kaya gini ada program dari perpusnya. Bantuan untuk anak-anak sekolah belajar juga banyak.

“Jadi nggak cuma koleksi bukunya yg oke, tapi program-programnya joss banget.”

Di beberapa tempat, ada food bank, semacam pantry untuk membantu para orang miskin. Angka kemiskinan di Ohio memang meningkat dalam dua tahun terakhir, padahal satu dekade sebelumnya, angkanya selalu turun. Food bank, adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk merespons kemiskinan dengan bantuan agar rakyat berkurang bebannya.

Baca halaman selanjutnya

Pistol di sini, pistol di sana

Menerima pistol dengan tangan terbuka

Ada sedikit keraguan saat saya ingin bertanya tentang keamanan di Amerika Serikat. Sebab, bagi saya itu amat sensitif. Tapi ini, mau tak mau harus saya tanyakan.

Syukurnya, Mbak Uke berkata bahwa Columbus (Ohio itu state, Columbus itu nama kota di Ohio) itu termasuk daerah aman. Tapi ya kriminalitas tetap ada, mengingat Columbus adalah daerah yang setuju dengan kepemilikan senjata api untuk sipil. Mbak Uke mencontohkan bahwa beberapa waktu lalu, ada shooting di dekat rumahnya.

“Homicide,” jelasnya singkat.

Mbak Uke mengaku kalau ada waktu-waktu di mana dia merasa tidak aman. Wajar, di daerah yang menerima siapa saja bisa punya pistol, tentu saja kau tak akan merasa aman.

Saya bertanya, apakah Mbak Uke pernah terkena diskriminasi di Ohio. Dia sendiri tidak merasakannya, tapi kawannya yang pernah, bahkan di dalam kampusnya sendiri. 

“Itu emang problem Amerika, rasisme itu udah masuk sistem sadar nggak sadar, sama udah kaya keinstall di banyak orang.”

Kuliah di AS biar tahu bagusnya Indonesia

Percakapan kami berdua mengalir, lama, dan sempat ke mana-mana. Dan percakapan yang tak jelas arahnya, harus dikembalikan pada jalurnya. Saya berusaha mengembalikannya dengan menanyakan, apakah dia akan menyarankan orang Indonesia untuk kuliah di USA, dan jawaban dia adalah, iya. Kalau bisa sekolah di USA itu bagus banget, biar tahu bagusnya Indonesia.

“Tunggu, ini serius, Mbak?” 

“Iya, Mas. Serius.”

“Kalau aku nggak kuliah di sini ya, Mas, aku nggak berjarak dengan Indonesia. Akan sibuk dengan urusan kerja (aku ngajar di UMY, btw) yang nggak ada habisnya. Terus berada di kondisi familiar itu menyenangkan kan, Mas. Ayem. Tapi segala urusan nggak akan seekspansif ini, Mas. Aku nek mengibaratkan ki, aku dilempar jauh banget ke Amerika untuk dipaksa lihat dan mengalami hal-hal yang nggak biasanya kuhadapi di tempat kerja, di Jogja, di Indonesia.”

“Sempet ada satu hal yang bikin aku berucap ‘ya ampun, aku ki ning di wae selama ini’, itu pas bahas inclusivity dan diversity di sini. Terus karena ya aku orang yang mainnya kurang jauh, Mas, jadi nggak paham. Pas belajar tentang inclusivity dan diversity di sini kan, wih programnya keren-keren. Ha ternyata, di Indonesia lho udah ada. Wis digawe lagu sama JHF.”

“Terus, kalau sekolah di Amerika akan ngrasain, sepelik itu masalah masyarakat di sini sama rasisme dan liberalismenya. Dari situ akan bersyukur jadi warga Indonesia ahahaha.”

Enak tinggal di Jogja

Rasisme memang masalah akut yang Amerika dari dulu gagal atasi. Makin tahun, bukannya membaik, tapi malah memburuk. Pew Research Center merilis hasil riset mereka, dan pada salah satu subbab-nya, menunjukkan bahwa orang Amerika kini lebih terbuka dalam mengutarakan pendapat rasis mereka.

Matahari makin meninggi di Ohio, tapi malam makin pekat di Sleman. Saya menutup wawancara ini dengan menanyakan apakah Mbak Uke mau menetap saja di USA, mengingat Ohio juga tak buruk-buruk amat.

“Gak mas. Pingin pulang, dan nggak ada rencana menetap. Tetep enak tinggal di Jogja.”

Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin

BACA JUGA Alasan Kampus Swasta di AS Nggak Repot Nyari Mahasiswa Kayak di Sini

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version