Cerita Cinta Anak Simpatisan PKI yang Nikah dengan Polisi

Photo by Al Elmes on Unsplash

Seorang ibu, putri simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuka cerita masa lalunya tentang kisah cintanya dengan seorang polisi. Ia mengizinkan saya menuliskan ceritanya dalam bentuk sudut pandang orang pertama.

***

Kabut menggulung Subang, salah satu Kabupaten di Jawa Barat. Lebih tepatnya kelurahan dan desa mana, lebih baik informasi itu disimpan rapat-rapat. Aku membuka mata, ini adalah hari yang seperti biasanya. “Hari penuh perjuangan atas mana cinta,” kataku, sembari merapalkan doa-doa untuk hari ini, agar tidak kelabu seperti kemarin-kemarin.

Aku menghadap cermin. Aku sadar bahwa aku cantik tiada dua. Apalagi di desaku, kata Emak, aku tiada tanding. Begitu juga kata laki-laki itu. Laki-laki yang berprofesi sebagai polisi muda, sedang naik daun di desaku. Laki-laki yang akan aku perkenalkan secara lebih detail seiring berjalannya tulisan ini. Di desa kami, laki-laki itu dipanggil Si Sersan. Walau bisa saja pangkatnya saat itu lebih rendah dari Sersan. Namun warga desa tempatku tinggal memanggilnya dengan sapaan itu.

Polisi muda tersebut mengontrak di salah satu rumah milik Abah. Aku dan polisi muda itu saling kenal selayaknya reaksi kimia yang tergeletak di alam raya maha luas. Begitulah awal aku bertemu polisi muda itu. Tak ada yang merencanakan, selain Allah Swt.

“Aku beruntung bertemu denganmu, walau kondisi kita tak seberuntung itu,” itu yang dikatakan oleh polisi muda itu kepadaku. Beberapa bulan setelah kami saling temu dan saling akrab. Entah ia sedang bual-bual atau tidak, yang jelas aku senang. Senang sekali.

Di hadapan cermin, aku menangisi itu. Aku berpikir, apakah cinta kami akan karam diterpa ombak besar bernama aturan negara dan pencaturan politik? Jika iya, bisa saja kami menambah daftar panjang sejarah nyeri kisah cinta umat manusia. Sama tragisnya seperti saat Shakespeare menulis Romeo and Juliet. Mengapa kisah kami tragis? Aku akan menjelaskannya kepadamu, satu per satu. Setidaknya, sabar dulu.

Pagi itu aku lekas memakai entrok. Tak biasanya aku memakai entrok. Entrok adalah sebuah wadah untuk payudaraku yang mulai tumbuh ranum saat aku berhasil lulus di sekolah keguruan. Saat itu, perempuan yang bisa beli entrok lebih dari tiga adalah mereka yang mampu. Dan kenyataannya memang begitu, Abahku adalah lurah. Aku menyukuri itu.

Aku berputar di hadapan cermin setelah memakai pakaian terbaik di hari itu. Walau aku sadar, hari itu aku tak akan ke mana-mana. Aku keluar kamar. Jam besar di tengah ruang keluarga berdetak sebagaimana langkah kakiku menghantam ubin.

Terdengar sayup-sayup percakapan. Sebuah percakapan yang lazim terjadi di tahun 1988. Satu tahun setelah pemilu. Bahkan, bendera-bendera partai politik berwarna kuning belum sempat dilucuti di jalan-jalan depan desa.

“Kami datang meminta upeti, seperti biasanya. Sebulan sekali. Untuk keamanan,” begitu kata laki-laki berkumis lebat, memakai seragam hijau. Tangan kanannya yang memegang baret, tengah menjulur ke arah Abah. Ia kerap ke sini, meminta upeti, bohong jika ia berkata sebulan sekali. Bisa lebih dari tiga kali.

Abah sudah biasa didatangi orang-orang seperti itu. Sejak ia menjabat sebagai lurah, hilir mudik orang datang meminta upeti, apa pun itu instansinya—yang rasanya tak elok jika aku kudu dijelaskan secara rinci di sini.

“Pri tak pernah kan menolongmu, Pak Lurah?” katanya, amat terdengar kurang ajar dan tidak sopan. Bahkan seperti ngelantur ke sana-sini. Benar, Pri adalah nama polisi muda itu. Si Sersan itu.

Aku mengendap-endap di balik tembok. Emak tak ada di dapur. Tak ada di mana-mana. Sepertinya sedang ke luar. Aku menguping percakapan mereka. Ada alasan spesifik sebenarnya pria berkumis lebat itu belakangan jadi kasar kepada keluarga kami, bahwa aku pernah menolak keinginannya untuk dinikahi.

PKI
Ilustrasi foto oleh Pettine on Unsplash.com

Suara di ruang tamu makin lama makin menjalar begitu jelas. Kata si kumis lebat itu, “Keturunan PKI seperti Anda, masih hidup bersama keluarga sudah syukur,” katanya. Entah bagaimana reaksi Abah. Barangkali seperti biasanya, reaksi yang sudah aku hapal, yakni memberikan upeti dengan cuma-cuma. Entah uang, atau hasil panen sawah keluarga kami.

Sekarang kau paham, kan, kondisiku saat itu? Aku adalah anak (mantan) simpatisan PKI dan Mas Pri adalah seorang polisi.

***

Aku akan membawamu lari ke tahun 1967. Saat itu, Desember yang penuh dengan hujan—pun penuh dengan makian. Jelas aku belum lahir. Aku masih dalam kandungan Emak. Emak hamil besar saat itu ketika rumah milik kakek, tiba-tiba dilempari oleh tahi oleh sekumpulan orang. Entah tahi manusia atau kerbau, aku tak tahu.

“Pokoknya bau,” begitu kata Abah sembari mengenang, ketika menceritakan kepadaku dan kepada Mas Pri. Kami duduk di depan Abah, tahun 1988 yang amat melelahkan. Mas Pri berupaya nekat menikahiku tahun depan. Ia meminta wejangan kepada Abah.

Abah bercerita dan bercerita perihal kejadian memilukan itu. Entah maksudnya apa. mungkin sebagai sirine tanda bahaya semisal cinta kami berlanjut sampai ke pelaminan. “Kakekmu pernah tanda tangan dengan pihak PKI, entah perjanjiannya apa, saat itu kakekmu adalah lurah juga. Itu kesalahan kakek yang berbuntut kepada kita,” begitu kata Abah. ‘Kita’ maksudnya, tentu saja merujuk kepada dirinya dan kami—aku dan Mas Pri.

Ia melanjutkan, setelah itu, hidupnya tak pernah tenang. “Abah denger di Jawa Tengah dan Timur sedang terjadi pembantaian. Abah takut sekali. Untungnya bara api itu nggak sampai ke Jawa Barat,” kata Abah.

Sebenarnya tak ada pembantaian di Jawa Barat cukup beralasan. Benedict Anderson pakar Asia Tenggara, pernah berbincang dengan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, Panglima Komando Daerah Militer VI Siliwangi, pada 1968. Mayor Jendral itu berkata kepada Anderson, “Saya sudah kasih perintah kepada semua kesatuan di bawah saya, orang-orang ini ditangkap diamankan, tapi jangan sampai ada macem-macem.”

Nukilan kisah itu tercatat dalam Majalah Tempo edisi 1 Oktober 2012. Lebih rinci menjelaskan  kenapa di Jawa Barat tidak ada pembantaian pada 1965 dan 1966. Namun, sekali lagi, bukan tanpa arti bahwa Jawa Barat terbebas dari tragedi.

“Setelah itu kakek menjadi linglung,” kata Abah. Kakek jadi mudah pikun dan bahkan pernah naik sepeda sampai Bandung jauhnya hanya karena lupa rumah. 

“Untungnya kakekmu tak sampai meregang nyawa. Namun, setelah itu kakekmu tajinya hilang begitu saja. Setelah ia diduga simpatisan PKI dan hal ini berimbas kepada keluarganya,” kata Abah. Ya, berimbas ke semua keluarganya, tak terkecuali Abah dan aku.

Kisah Abah juga tak kalah pilu. Aku saksi matanya. Ia pernah dipenjara gantung di barak tentara, selama ia diinterogasi dalam keterlibatannya dengan PKI. Abah adalah simpatisan PDI pada 1977. Abah belum jadi lurah saat itu, belum meneruskan kinerja bapaknya. Namun, sebagai anak lurah, tentu saja suaranya amat berarti di kalangan pemilih muda.

“Terserah Kakekmu mau milih apa, Abah mah milih PDI,” katanya. Tanpa disadari, pilihan itulah yang bikin isu keturunan PKI keluarga kami kembali membuncah. Pada waktu itu, isu bahwa PDI adalah partai turunan dari PKI santer terdengar. Rumah kami, terdapat lukisan Bung Karno yang amat besar. Yang aku paham, Abah jatuh hati kepada Bung Besar, bukan Nasakom yang ia gembar-gemborkan.

Saat 1977, aku sudah berumur delapan tahun. Samar-samar aku teringat saat tentara-tentara datang menggeruduk rumah kami. Abah di gelandang ke kantor terdekat. Ditanyai macam-macam. Terlebih keterlibatannya dengan PKI. Kakek saat itu sudah mulai pikun namun entah mengapa masih dipercaya jadi lurah. Aku melihat Abah berdiri dengan tangan terikat ke atas. Aku menangis. Namun Abah bilang; jangan khawatir.

“Ya, sekiranya begitulah. Sersan kalau mau sama anaknya, tahu lah risikonya. Tadi pagi saja, ada yang datang meminta upeti,” kata Abah kepada Mas Pri.

“Kalau meminta upeti, kasih saja, Bah. Kalau meminta Nin, jangan dikasih,” jawabnya, menyebut namaku. Jawaban yang terdengar begitu pengecut untuk ukuran polisi, namun entah mengapa aku jadi merasa tenang—sekaligus senang.

“Sersan ini polisi. Sedang KTP Abah saja ada tulisan ET (Eks-Tahanan Politik),” kata Abah.

“Nggak masalah, Bah. Yang penting ET-nya bukan Extra-Terrestrial,” jawab Mas Pri. Extra-Terrestrial adalah film yang dibuat pada tahun 1982. “Nanti Abah dikira alien,” katanya lagi. Aku hanya senyum.

“Ah, nggak ngerti,” kata Abah, seraya berdiri dari kursi goyang, meninggalkan kami yang tengah duduk bersimpuh di depannya. Lantas aku melihat mata Mas Pri, ia tersenyum, lantas ia bebicara dengan lirih, katanya; jangan khawatir.

***

Film “Sang Penari” yang merupakan adaptasi dari novel Ronggeng Dukung Paruk, mengisahkan cinta antara tentara dengan penari ronggeng yang dituduh simpatisan PKI.

Mungkin kau memiliki beberapa pertanyaan janggal dari ceritaku di atas. Pertama, mengapa setelah Abah dan—terutama—Kakek terang-terangan terlibat dalam PKI, namun masih bisa terpilih jadi lurah. Bukan maksud menjelek-jelekkan mereka, namun saat itu yang dicari adalah sosok yang berpengaruh di masyarakat, namun takut kepada ‘pihak yang lebih atas’.

Kedua, bagaimana aku dan Mas Pri mempertahankan cinta sampai pernikahan? Ketiga, hal-hal apa yang harus kami tembus dan beikhtiar bersama sampai ada kata sah dari negara? Kalau yang ini, biar aku ceritakan kepadamu. Secara lebih rinci.

Kata siapa tiap hari aku hanya menangis dan bersedih? Bersama Mas Pri, rasanya hari-hariku hanya dilanda dua hal; ingin kencing karena tertawa dan menitikkan air mata juga karena tertawa. Mas Pri kelahiran Bantul dan dapat pendidikan polisi di daerah Subang. Alih-alih asrama, ia ngontrak di rumah Abah. Aku kurang paham detail mengenai itu.

“Kamu anaknya Abah, kan? Kalau aku anaknya Bapakku,” begitu kata-kata awal kami saling kenal. Aku hanya bisa berbicara dalam hati, kunaon sih ai maneh goblog! Namun setelah itu, aku mengenal bahwa Mas Pri berbeda dengan aparat-aparat lainnya. Atau lebih spesifik, aparat yang merayuku dan mendekati Abah.

Aku rajin membersihkan halaman rumah milik Abah yang amat luas. Di mana di dalamnya ada kontrakan Mas Pri dan rumah utama Abah. Aku rajin membersihkan lantaran mangga madu yang tak sempat di panen itu membusuk, berjatuhan, berserak sembarangan seperti para bromocorah desa meminta upeti kepada pedagang kecil. Saat aku menyapu, di situlah Mas Pri beraksi.

Ia memetik gitar dan menyanyi walau suaranya amat sumbang. Ia bernyanyi Somebody to Love milik Queen. Kalau tidak ya Word of Love milik Beatles. Ia suka band-band yang aku tidak tahu, ya sama lah ketika ia cemburu setelah mengetahui ada foto Rano Karno di dompetku.

Aku tak bisa melanjutkan cita-cita menjadi guru. Periode Orde Baru, mereka tengah getol mengupayakan istilah baru bernama “bersih diri” dan “bersih lingkungan”. Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok menjelaskan bahwa istilah “bersih diri” dan “bersih lingkungan” diciptakan Orde Baru pasca-peristiwa G30S, terutama setelah terjadi kasus Blitar Selatan pada tahun 1968, yaitu pembersihan sisa-sisa PKI dan simpatisannya lewat Operasi Trisula.

Aku tak bisa melanjutkan cita-cita karena dua istilah ini bertujuan untuk menjaga calon PNS dari kemungkinan ‘kotor’ bahwa saudara atau kerabat mereka pernah terlibat PKI dan onderbow-nya. Kau harus tahu, saat itu, rasanya hakku sebagai warga negara seperti tercerabut sampai ke akar-akarnya. Termasuk hak mencintai seseorang karena semua dipersulit oleh screening kepada aparat.

Seperti takut kepada hantu, Orde Baru bahkan menerapkan beberapa diskreminasi kepada keturunan mantan anggota PKI. Selain memberikan Eks-Tahanan Politik di KTP, juga memberlakukan surat keterangan “bersih diri” dan “bersih lingkungan” melalui mekanisme penelitian khusus. Berpasangan denganku, jelas akan mempengaruhi Mas Pri yang sedang berkarir sebagai aparat.

“Abah hanya pernah ikut ke sebuah pesta rakyat ketika diajak oleh kakek. Ternyata pesta tersebut yang menyelenggarakan PKI,” keluhku kepada Mas Pri di sebuah halaman rumah, ditemani musim mangga madu yang harumnya menggoda selera. Mangga-mangga itu jatuh ke tanah, namun tidak dengan cinta kami berdua yang haram hukumnya tersungkur ke tanah sebelum berjuang bersama.

“Terus?” jawab Mas Pri.

“Ya, jadinya KTP Abah sekarang ada ET atau Eks-Tahanan Politik. Kan Mas tahu sendiri.”

“Syukurlah.”

Aku terkejut. “Kok syukur?” tanyaku.

“Syukur karena KTP punya Abah jadi beda dari yang lain,” jawabnya begitu santai.

***

Pada 1989, aku menikah dengan Mas Pri secara agama, namun tidak secara negara. Kau bingung? Tahan dulu, ya. Aku tahu ini salah, ini akan berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan, namun aku juga punya hak memperjuangkan cinta. Aku bahkan merasa tak punya salah kepada negara. Bahkan aku hapal Indonesia Raya, tuh.

Setelah Abah tidak menjabat sebagai lurah, serta Emak mulai berjualan opak keliling dari satu desa ke desa lainnya, semua yang awalnya menjilat keluarga kami, pergi satu persatu. Sanksi masyarakat sebagai keturunan PKI mulai dirasa di sini. Jika awalnya hanya berupa meminta upeti, kali ini jauh lebih nyeri lantaran masyarakat mulai melihat kami sebelah mata. Yakni sebagai eks tahanan politik semata.

Photo by Everton Vila on Unsplash

Baru tahun kemarin Abah masih disunggi setinggi langit oleh beberapa orang di desa. Ketika ia sudah tak mempunyai gelar, mereka berbalik menuding bahwa Abah biang rusuh di desaku selama ini. Tanah milik Abah menyusut, satu persatu. Banyak mafia tanah yang mempermainkan Abah setelah ia tidak mempunyai kuasa.

Bahkan Abah menyimpan traumatik tersendiri kepada wartawan. Ia tak segan untuk lari dan pergi ketika ada yang menanyai ini dan itu. Sebagai anak, aku mencoba makum, apa yang dulu ia miliki, sekarang hilang dan habis seketika. Bahkan anaknya—aku—yang akan diboyong oleh Mas Pri ke Jogja.

“Kenapa ke Jogja?” kata Abah. Sejatinya Abah paham, pernikahan ku dan Mas Pri pun mulai mendapatkan cibiran di masyarakat. Dan itu terasa menyebalkan. Bahkan ada yang bilang, kelak anak kami adalah penerus bibit-bibit setan Komunis. Mereka akan membunuh. Mereka akan berkhianat kepada negara. Itu amat menyiksa.

“Nin sulit hamil jika di sini, Bah. Banyak pikiran. Mikirin mangga yang nggak panen-panen, contohnya,” itu jawaban Mas Pri. Tentunya bagian sulit hamil karena pikiran itu benar. Namun bagian banyak pikiran karena mangga madu milik keluarga kami yang sudah tidak kembali panen, hmm, itu tidak salah juga, sih.

Abah saat itu tersenyum kecut. Ia tahu bahwa mantunya tak bisa serius kecuali pada saat mencintaiku dan mengabdi kepada negara. Kami pergi ke Jogja pada 1990. Negosiasi yang amat panjang dengan Abah. Kami bertukar surat kepada Abah, katanya ia mulai sakit-sakitan. Pun sama denganku yang sejatinya tidak betah karena kami tinggal di kontrakan kecil, murah, di bilangan Warungboto, Umbulharjo.

Kami tak punya dokumen lengkap dari negara sebagai legalitas pernikahan kami. Pemilik kontrakan awalnya mengira bahwa Mas Pri menculik anak orang dari Jawa Barat. “Kalau nyulik Drupadi susah, harus ke Ngastina,” kata Mas Pri. Barangkali, yang membuat aku tidak stres karena negara dan segala stigma yang melekat adalah cara Mas Pri membawa lelucon yang tidak lucu, namun aku tertawa karenanya.

Di Jogja aku juga bertemu dengan beberapa kawan yang senasib sepenanggungan. Mereka istri polisi yang tak bisa memakai seragam Bhayangkari. Ketika kami masih resah dengan nasib, negara terus menerus memutar film andalannya; Pengkhianatan G-30S-PKI. Saban tahun. Setiap September tiba, aku memutuskan untuk berdiam di kontrakan sempit, bersandingan dengan tempat sabung ayam. Kalau malam jadi tempat judi. Lengkap sudah.

Hari-hari aku lewati dengan bahagia bersama Mas Pri, namun murung karena negara. Hingga pada 8 Februari 2004 di kawasan Kramat V, Jakarta Pusat, di gedung bekas kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Gus Dur berkata, “Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena dituduh ‘terlibat’ PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda mereka dirampas. Sementara, stigma mereka adalah pengkhianat bangsa tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini.”

Sebenarnya kebahagiaan itu mulai membuncah kala kami mendengar Suharto mulai turun dari kastanya selama puluhan tahun. “Semoga Pak Harto nggak lupa caranya turun setelah setiap pemilu naik terus,” kata Mas Pri. Aku tersenyum. Semoga saja, kelak, hubungan kami direstui oleh negara.

Benar saja. beberapa tahun setelahnya, setelah Gus Dur naik kasta, kami bisa menangis bahagia. Keberpihakan Gus Dur kepada kami, itu patut dirayakan. Dalam Secangkir Kopi bersama Gus Dur yang disiarkan langsung oleh TVRI, Selasa 15 Maret 2000, beliau meminta maaf kepada para tertuduh ‘terlibat’ PKI, bahkan kemudian mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Gus Dur mendorong rekonsiliasi nasional terhadap keluarga mantan anggota PKI dan DI/TII.

Aku menangis, Mas Pri pun tak jauh beda karena pada kenyataannya ia lebih cengeng ketimbang aku. Kami dapat surat sah dari negara atas cinta kami. Kami tak kudu merasa malu ketika harus pulang ke Subang maupun ke Imogiri—rumah Mas Pri. Kami tak perlu bingung jika ingin mengontrak di tempat yang lebih baik. Pun kami sudah bisa menetap di sebuah desa yang butuh keterangan legal atas sebuah hubungan, dan tinggal rumah yang kami bangun sendiri.

Sepuluh tahun usia pernikahan kami, hari itu aku bisa merasakan makanan yang amat enak. Ketika ayam goreng ditelan, eco luar biasa. “Hasil kalah sabung ayam,” katanya. Aku bertanya, kalah sabung ayam kok bisa beli makanan enak? Mas Pri menjawab, “Ini ayam yang kalah disabung tadi,” aku tertawa. Walau tahu itu bohong, aku tertawa karena mana bisa ayam lehor menang ketika diadu dengan ayam kampung.

Masalah lain tetap ada dan selalu mengancam kami. Biasa saja suatu saat terjadi lagi, yakni anak kami yang dianggap haram jadah oleh sebagian manusia yang tak pernah tahu bagaimana perihnya ketika hak untuk hidup tercerabut lantaran aku terduga cucu simpatisan PKI. Kalau bisa, biar aku saja yang menderita karena tekanan politis macam ini, jangan sampai anak-anakku. Jangan pernah.

BACA JUGA Di Balik Dunia Pendengung, Buzzer juga Manusia dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

Exit mobile version