Ada pola interaksi yang unik di Kobessah Kopi Gentan (orang-orang biasa menyebutnya dengan Kobessah Gentan saja) di Ngaglik, Sleman, Jogja. Tidak saling kenal, tapi mudah percaya. Dan orang yang dipercaya benar-benar menjaga kepercayaan itu.
***
Jangan lengah sedikitpun. Kalimat singkat itu tertanam di benak saya selama tujuh tahun merantau di Surabaya. Pasalnya, lengah sedikit, saya bisa kehilangan barang berharga.
Contohnya ada banyak. Saya sudah beberapa kali menulis, bagaimana orang-orang di Surabaya begitu mudah kehilangn motor.
Misalnya ketika seorang anak kos hendak mengambil barang di dalam kamar, lalu motor diparkir di luar tanpa digembok. Ketika dia keluar, motor sudah raib. Padahal itu di siang bolong. Dia juga tidak sampai satu menit masuk ke dalam kamar.
Dua ponsel hilang di warung kopi
Seorang teman (laki-laki) di Surabaya dulu dua kali mengalami nasib teramat sial. Dua ponselnya hilang di warung kopi gara-gara kelengahannya.
Kejadian pertama terjadi di sekitar Stasiun Gubeng. Kala itu dia sedang menunggu adiknya yang mengunjunginya di Surabaya. Dia nongkrong di sebuah warung kopi (mirip angkringan) di seberang stasiun.
Awalnya dia menunggu sambil bermain ponsel. Tapi lama-lama dia jenuh juga. Akhirnya, dia memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang dia taruh di atas meja. Lalu dia hanyut dalam lamunan: sebat sambil memandangi lalu-lalang di jalanan Gubeng.
Ketika dia membalikkan badan untuk mengambil ponsel, tas kecilnya sudah terbuka. “Mak deg”. Lalu dia korek-korek isi tasnya. Ponsel dan dompetnya sudah raib.
Kejadian kedua lebih konyol. Ini terjadi saat dia ngopi sendiri di sebuah warung kopi di Wonokromo, saat teman-teman yang lain sudah balik ke kos masing-masing.
Saat dia ke kamar mandi untuk buang air, ponselnya itu dia tinggal tergelatak di meja karena posisi sedang di-charge. Ketika balik ke mejanya, ponselnya sudah tidak ada, sisa charger-nya saja.
Kejadian-kejadian sial yang teman saya alami di warung kopi itu membuat saya cukup parno. Namun, rasa parno tersebut agak terkikis ketika saya pindah ke Jogja setahun ini. Terutama setiap ngopi di Kobessah Gentan.
Di Kobessah Kopi Gentan, orang bisa percaya menitipkan barang pada orang lain
Saya beberapa kali ngopi di Kobessah Gentan. Kadang sendiri, kadang nongkrong dengan seorang teman.
Hingga suatu hari, saat saya sedang fokus di depan laptop, seorang pengunjung lain menepuk bahu saya.
“Mas, saya nitip laptop saya ya, di meja itu. Saya mau ke toilet sebentar,” ujarnya sembari menunjukkan meja yang berjarak satu meja dengan meja saya.
Saya agak kaget. Pasalnya, di meja sana isinya barang penting semua: laptop, ponsel yang di-charge, dan tas yang tergelatak di kursi. Tapi saya iyakan saja. “Kok segampang itu percaya barang itu bakal saya jaga dengan baik?” Begitu batin saya.
Tapi karena kepercayaan itu, saya pun berhenti sejenak dari hadapan laptop. Saya menyandarkan tubuh sambali menyesap rokok. Sesekali saya alihkan pandangan ke meja orang yang menitipkan laptopnya pada saya tadi.
“Sudah, Mas. Terimakasih ya.” Orang yang menitipkan barangnya pada saya tadi kembali, dan itu yang dia katakan dengan senyum takzim.
Dititipi barang, ya harus dibantu menjaga
Saya menganggap kejadian itu hanya sepintas lalu. Walaupun awalnya membuat saya penasaran. Karena kalau di Surabaya, saya tidak yakin barang yang ditinggal itu bakal utuh.
Sampai kemudian saya ngopi dengan seorang teman yang saya kenal sejak awal saya pindah di Jogja. Namanya Fahri (27), pemuda asal Medan, Sumatera Utara.
Fahri peneliti muda. Hari-hari berkutat dengan jurnal-jurnal ilmiah. Hari itu, saya sedang menyimaknya serius untuk membantu saya mengerjakan sebuah tulisan.
“Bang, saya nitip laptop saya, ya. Saya mau salat dulu.” Tiba-tiba pengunjung lain mendekati kami dengan ucapan itu.
“Oh oke oke, Bang, aman itu. Kau salat lah dulu,” jawab Fahri.
“Kau kenal, Wak?” tanya saya pada Fahri.
“Nggak lah. Tapi ya udah, kita bantu jaga aja,” jawabnya.
Kami lalu hanyut dalam obrolan lagi. Saya perhatikan, mata Fahri sesekali melirik ke arah meja orang yang menitipkan laptopnya tadi.
“Kau sering ada orang asing menitipkan barang begini?” Tanya saya pada Fahri.
Tidak sering. Tapi beberapa kali ngopi di Kobessah Gentan, dia memang mengalami hal seperti itu. Dia bahkan sempat sekali menitipkan barangnya pada pengunjung lain karena hendak ke toilet, saat dia sedang ngopi sendirian.
“Kau kok percaya bahwa barangmu akan aman?” Kejar saya.
“Nah itu, Bro. Dua tahun di Jogja, aku menyimpulkan, orang di Jogja ternyata nggak aneh-aneh. Coba kalau di Medan, aku pun mikir dua kali nitipkan barang begitu,” balas Fahri.
Eksperimen nekat di Kobessah Kopi Gentan
Saya makin penasaran. Maka, November 2024 lalu saya mencoba melakukan eksperimen di Kobessah Gentan.
Saya sengaja ngopi sendiri. Saya juga sengaja membawa laptop saya yang sudah butut. Sehingga kalau digondol orang, potensi penyesalannya akan kecil.
Saya charger laptop itu. Lalu saya tunggu sampai saya benar-benar punya alasan ke toilet.
Ketika rasanya sudah kebelet buang air kencing, saya lalu menentukan, pengunjung mana yang hendak saya titipi laptop. Iya, hanya laptop butut itu.
Kalau HP dan dompet, tetap saya bawa ke toilet. Dua barang itu terlalu penting bagi saya untuk saya jadikan pertaruhan dalam eksperimen itu. Kalau laptop, setidaknya jika hilang, saya masih bisa bekerja dengan laptop atau komputer fasilitas kantor. Toh laptop saya juga memang sudah busuk.
“Mas, saya titip laptop saya itu ya. Mau ke toilet bentar,” ucap saya pada tiga orang pemuda yang sedang asyik ngopi.
“Oh aman, aman, Mas. Kami jagakan,” jawab salah satu dari mereka.
Saya sengaja agak lama di toilet. Ketika kembali, dari jauh terlihat laptop saya masih di tempat. Tidak bergeser se-senti pun. Tiga pemuda yang saya titipi memang tampak asyik ngobrol. Tapi satu di antara mereka, sesekali melirikkan mata ke arah laptop saya: memastikannya aman.
Fenomena di Kobessah Kopi Gentan itu menjadi salah satu temuan unik bagi saya selama di Jogja. Saya masih penasaran, kok bisa gitu ya? Atau metode eksperimennya yang diubah: tinggalkan laptop, tapi tidak perlu pakai bilang “nitip” ke orang lain? Saya kok “tertantang” untuk mencobanya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Dari Bingkisan Makanan hingga Undangan Nikah: Kisah Tukang Parkir Warung Kopi di Jogja yang Selalu Ramah kepada Pelanggan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan