Musala di Tengah Sarkem Jogja, Takmirnya Rela Jadi Makmum “Anak Kecil” dan Saksi Pekerja Prostitusi Mengaji

Ilustrasi musala sarkem jogja (Mojok.co)

Ada sebuah musala kecil, bahkan satu-satunya musala, di kompleks prostitusi Sarkem Jogja. Takmir musala tersebut merekam banyak kisah unik yang ia bagikan kepada Mojok.

Dulu, saya pernah membuat seri liputan mengenai Pasar Kembang atau Sarkem Jogja. Banyak kisah yang didapat dari beberapa kali penelusuran ke dalam gang penuh bilik karaoke dan prostitusi tersebut. Salah satunya, soal kehadiran sebuah musala tua yang bertahan di tengah gegap gempita tempat hiburan malam.

Wajah Sarkem Jogja memang belakangan berupaya diubah wajahnya tak melulu soal prostitusi. Baru-baru ini, pada 1-2 Maret 2024, ada Sarkem Fest. Sebuah festival seni dan budaya yang sudah beberapa kali terlaksana di area hiburan malam tersebut.

Namun, sebagai sebuah kampung sejatinya Sarkem yang terletak Sosrowijayan Kulon, Gedongtengen, Kota Yogyakarta punya denyut nadi kehidupan layaknya permukiman padat penduduk lainnya. Di dalamnya ada rumah warga, bangunan sekolah TK, hingga musala.

Musala itu kecil. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari sejumlah warga, saat Ramadan, kegiatan salat tarawih warga di kampung Sarkem Jogja berpusat di balai RW yang lebih lapang. Kendati begitu, di musala kecil itu aktivitas tetap ada aktivitas tarawih dengan jemaah yang lebih sedikit.

Awalnya, tidak mudah untuk bisa menemukan musala yang letaknya tersembunyi di gang sempit ini. Selain itu, sosok takmir atau pengelola musala pun tidak saya jumpai. Beruntung, berkat menggali informasi dari Sarjono, salah seorang tokoh masyarakat di Sosrowijayan Kulon, saya berhasil menggali kisah tentang musala tersebut.

Lelaki yang menjadi takmir itu bernama Sutimin. Oleh para warga, ia lebih akrab disapa Bram. Julukan yang konon ia dapat dari para bule yang sering seliweran di beberapa homestay sekitar kampung tersebut.

Musala Sarkem Jogja saksi pekerja hiburan malam yang rajin salat

Satu hal yang saya ingat dari lelaki kelahiran 1953 itu adalah suaranya yang serak. Bram lahir di Klaten tapi sejak balita sudah pindah ke kampung sekitar Sarkem Jogja.

Saat awal pindah ke Sarkem dulu, Bram ingat bahwa musala ini sudah berdiri. Berawal dari musala untuk keluarga yang tersusun dari gedek bambu. Ukurannya juga lebih kecil dari yang tampak sekarang.

“Kalau sekarang ini musala menghadap utara, dulu menghadap timur pintu bangunannya. Dulu juga masih ada pohon jambu besar di situ,” ujarnya seraya menunjuk pojokan musala.

takmir musala sarkem jogja.MOJOK.CO
Sosok Sutimin atau Bram, takmir musala di Sarkem Jogja (Hammam/Mojok.co)

Meski bangunannya sederhana, tapi dulu, musala ini sering juga digunakan oleh para jemaah dari kampung sebelah. Hal itu disebabkan karena dulu, di Sosrowijayan Wetan, belum ada masjid sama sekali. Sehingga jika ingin salat, banyak yang datang kemari.

“Keberadaan musala ini jadi buat orang ingat kewajiban salat. Kalau orang lewat, lihat musala, kan setidaknya ada perasaan terpanggil,” tuturnya.

Sebagai tempat ibadah paling dekat dengan prostitusi Sarkem Jogja, ada hal-hal unik yang terjadi. Hal yang terkadang membuat hati Bram tergugah.

Pernah suatu waktu ia melihat seorang perempuan yang menjadi pemandu karaoke atau LC di Sarkem Jogja yang kerap salat di musala. Perempuan itu juga membaca Al-Qur’an sejenak setelah beribadah.

“Itu menarik perhatian saya soalnya bacaan Al-Qur’an dia pinter,” katanya.

Namun, belakangan ini tidak pernah melihat perempuan itu lagi. Pernah suatu hari ia menjumpainya. Perempuan itu bilang kalau sedang haid sehingga tak salat. Namun, hingga sekarang Bram tak pernah melihat batang hidung perempuan itu lagi di musala.

Kadang juga ada para pekerja di sana yang bertanya, bagaimana salat mereka jika masih terus aktif menjalankan kemaksiatan. “Saya hanya jawab, kalau salat itu kewajiban. Jangan ditinggalkan. Lama-lama salatmu bisa memperbaiki hidupmu,” ujarnya bijak.

Mengaku bukan orang saleh, rela jadi makmum anak kecil

Bram sendiri mulai aktif menjadi takmir yang menjaga musala ini sekitar tahun 2003. Awalnya yang menjaga adalah temannya. Setelah sang teman pergi dari kampung itu, Bram lantas mengambil peran sebagai takmir.

“Di sini nggak ada yang ngopeni. Karena saya sering salat di sini, akhirnya istilahnya disuruh ngurus,” jelasnya.

Lelaki ini mengaku merasa dirinya bukan orang saleh. Ia menceritakan, beberapa “dosa” yang pernah ia perbuat dalam hidup. Hal-hal yang menurutnya tak perlu saya tulis. Namun, di sisi lain ia berupaya menjaga salatnya.

“Saya ini bukan orang baik. Tapi semenjak umur 18, sudah saya biasakan agar rutin lah salatnya,” terangnya.

Kalau ada anak muda yang lebih mumpuni, ia dengan senang hati menyerahkan posisi imam salat. Ia menyadari dirinya bukan orang “suci”. Sehingga kalau ada yang lain, ia dengan senang hati menyerahkannya.

“Kalau lebih kotor dari saya, yawes saya yang jadi imam. Tapi kalau ada anak kecil, dia bagus, ya saya jadi makmum aja. Dia lebih bersih dan lebih pintar,” ujarnya.

Ia mengakui kalau musala ini tidak ramai. Paling-paling ada jemaah saat salat magrib dan isya. “Yang berat itu kalau nggak ada jemaahnya. Saya kadang azan, iqamat, dan salat sendiri,” keluhnya.

Perjumpaan dengan Bram adalah salah satu hal paling berkesan yang saya rasakan pada beberapa kali kesempatan liputan di Sarkem Jogja. Semoga, tempat ini terus bertahan menjadi fasilitas ibadah bagi mereka yang hidupnya di gang-gang sempit dan remang tersebut.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Pengalaman Mencicipi Sarkem Jogja untuk Kali Pertama dan Merasakan Sensasi Berbeda di Lokalisasi Legendaris: Bong Suwung

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version