Membantah Stigma Buruk tentang Wibu: Dari Waifu, Nolep, hingga Nggak Intelek

Membantah Stigma Buruk Tentang Penyuka Anime alias Wibu MOJOK.CO

Ilustrasi - Membantah stigma buruk tentang penyuka anime alias wibu. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Selama ini, penyuka anime, yang kemudian disebut wibu, kerap mendapat stigma tak mengenakkan. Melalui “catatan” ini, saya–yang juga kerap dijuluki wibu nolep–ingin meluruskan beberapa hal.

***

Saya suka nonton anime sejak SD. Seperti Naruto, Bleach, hingga Detective Conan. Lalu saya mulai tergila-gila dengan anime dan manga ketika kelas 7 SMP.

Sering saya pergi ke warnet hanya untuk mengunduh satu season anime yang akan saya tonton di malam harinya. Sampai-sampai, saya dijemput oleh ibu saya sambil marah-marah lantaran tak tahu waktu.

Hingga saat ini usia 21 tahun, saya makin tergila-gila dengan anime. Makin banyak pula anime yang saya tonton/manga yang saya baca. Bahkan saya mulai begitu menikmati musik-musik Jepang. Sering ikut juga beberapa event perwibuan di Surabaya.

Anime bukan sebatas tontonan anak-anak

Banyak orang di lingkungan saya, terutama teman-teman kuliah di Surabaya, menyebut bahwa anime adalah tontonan anak-anak. Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan kalau saya ini masih bocah. Cara pikir saya masih cara pikir anak-anak.

Padahal, anime tak sesederhana dan seremeh itu. Memang, ketika SD-SMP, saya nonton anime sebatas karena suka aksi-aksinya. Namun, seiring waktu, seiring makin banyaknya anime yang saya tonton, baru saya sadari bahwa setiap anime menyimpan narasi-narasi besar yang bisa kita pelajari.

Misalnya, dari judul-judul populer: One Piece dengan narasi geo-politiknya, Attack on Titan dengan narasi konspirasi kekuasaan, Fullmetal Alchemist: Brotherhood dengan narasi hancurnya negara yang dipimpin oleh penguasa otoriter, dan Naruto dengan narasi nepotisme kekuasaan.

Memetik nilai hidup dari anime

Akbar (22) adalah salah satu wibu yang merasa bahwa anime selalu memiliki nilai-nilai kehidupan untuk dipelajari. Vinland Saga misalnya, anime yang Akbar anggap mengandung banyak pelajaran hidup.

“Nilai yang aku ambil ketika nonton Vinland Saga ini adalah belajar untuk memaafkan. Si tokoh utama, Thorfinn mengajak penonton untuk bisa memaafkan tanpa ada dendam, meskipun orang itu berbuat jahat kepada kita. Dari situ aku mengambil nilai kalau hidup itu harus tetap berjalan,” ungkap Akbar saat Mojok wawancara Senin (25/11/2024) siang WIB.

Narasi-narasi yang hendak disampaikan dalam anime-anime tersebut memang sublim. Tapi, perlu diketahui juga, ada juga beberapa anime yang haram ditonton oleh anak-anak. Meskipun ada juga pelajaran yang bisa dipetik darinya.

Sebab, banyak adegan yang bisa dibilang tidak senonoh untuk ditonton oleh anak-anak. Naruto, misalnya. Ketika tayang di televisi, ada beberapa adegan yang dipotong karena tak sesuai dengan usia. Bahkan ada pula genre yang sangat tidak layak untuk ditonton anak-anak, genre ecchi misalnya.

Tidak semua wibu itu anti-sosial

Kerap saya menemukan sebuah utas di X atau Facebook tentang stigma bahwa wibu itu ansos dan no life (nolep).

Saya tentu tidak sepakat soal hal ini. Sebab, para penyuka anime–alias wibu–pada dasarnya sangat suka bergaul. Hanya saja mungkin lebih suka bergaul dengan teman-teman sesama wibu-nya.

Sebab, dia akan sangat leluasa ketika membahas seputar anime atau manga. Sama seperti ketika seseorang bertemu dengan selera musik yang sama, selera film yang sama, maka hal itu akan terjadi juga. Jadi, kalau dibilang ansos, ya nggak juga.

Event-event jejepangan jadi bukti

Ketidaksepakatan terhadap stigma wibu ansos salah satunya terhadap Falah (21).

Ketika awal-awal kuliah di Surabaya, dia memang tampak tak begitu suka bergaul. Namun, ketika ketemu dengan teman-teman sesama penyuka anime–termasuk saya–dia akhirnya punya lingkaran pertemanan sendiri yang menurutnya asyik. Oleh karena itu, Falah menolak betul jika dikatakan sebagai ansos.

“Banyak buktinya kalau wibu itu tidak ansos. Event-event di Surabaya yang diadakan setiap minggu adalah contohnya. Event itu diadakan sebagai wadah bersosialisasi para wibu perantau di Surabaya, selalu ramai,” ungkap Falah, saat Mojok hubungi pada Rabu (20/11/2024) sore WIB.

“Bahkan di antara mereka, banyak juga wibu yang pinter public speaking. Jadi. Maka, sebutan wibu nolep atau ansos sudah nggak konkret lagi,” sambung Falah.

Jadi wibu juga bisa intelek

Karena mendapat cap ansos dan nolep, penyuka anime–alias wibu–juga kerap dipandang sebelah mata: dianggap nggak pinter atau nggak intelek kalau di dunia kampus.

Jangan salah. Mereka yang dicap nolep dan nggak intelek ternyata juga bisa diajak “diskusi daging”.

Seperti saya singgung sebelumnya, anime bukan sebatas tontonan anak-anak. Tapi punya narasi besar yang disampaikan secara implisit.

Sebagai contoh, saya pernah mengikuti salah satu kajian yang dilaksanakan oleh Prodi Ilmu Sejarah Unair Surabaya. Temanya benar-benar keren (kalau menurut saya). Yakni membahas “Praktik Nepotisme dalam Serial Naruto” pada 2021.

Di dalamnya, peserta sangat aktif berdiskusi menyoal keadaan politik Indonesia yang sangat mirip dengan keadaan politik di Desa Konoha dalam serial anime Naruto.

Contoh lain betapa anime bisa dikaji dari sudut pandang keilmuan misalnya yang sering jadi topik di akun Instagram @pnmediaid.

Di akun tersebut, tersebar banyak tulisan dari “wibu intelek” yang mengkaji anime dari berbagai sudut pandang keilmuan.

Komunitas itu benar-benar memberi ruang bagi orang seperti Akbar, Falah, atau saya. Melalui komunitas tersebut, saya pernah ikut menjadi penulis. Salah satu tulisan saya yakni berjudul “Kuzu no Honkai dan Fenomena Friends With Benefit (FWB) di Kalangan Remaja” pada 2022 silam.

Kenapa punya waifu?

Wibu sangat identik dengan waifu. Kata waifu sendiri diambil dari bahasa Inggris, wife yang berarti istri. Sedang jika wibu-nya cewek, maka identik dengan husbando (husband) yang berarti suami.

Waifu dan husbando ini selalu melekat di benak wibu. Sebab, mereka akan merasa nyaman jika membayangkan hidup bersama waifu atau husbando dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri di kepala masing-masing. Kata Alatas (26), itu lah kehidupan hiperialitas.

“Hiperalitas itu terjadi bisa jadi karena kehidupan nyata itu terasa tidak support,” terang Alatas, jurnalis yang belakangan sedang mempelajari fenomena wibu melalui sudut pandang psikologi.

“Ketika menjalin relasi dengan sesama manusia di dunia sering kali terasa mengecewakan dan toxic, jadi lebih nyaman menjalin relasi dengan sosok fiktik,” imbuhnya.

Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Bukti bahwa Wibu Adalah Ras Terkuat di Bumi

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version