Cara Petani Sompok Imogiri Berdamai dari Pemodal Besar ‘Penjual’ Alam

Cara Petani Sompok Imogiri Berdamai dari Para Pemodal Besar ‘Penjual’ Alam

Cara Petani Sompok Imogiri Berdamai dari Para Pemodal Besar ‘Penjual’ Alam

MOJOK.COMunculnya wisata alam di sekitaran Sompok Imogiri mengubah pola kehidupan petani. Dari petani, jadi tergiur buka penunjang wisata macam OYO atau RedDoorz.

Dalam perjalanan mengitari Amerika Selatan, Ernesto Guevara pernah melepaskan timah panas berupa kata-kata bahwa, “My destiny is to travel.” Wajar blio mengatakan seperti itu lantaran selama perjalanannya, Che mendapatkan banyak pelajaran. Baik perihal pribadi, maupun yang lebih khusyuk berupa pemikiran tentang manusia.

Lantas, kalau semisal perjalan Che bukan mengitari Amerika Selatan, melainkan membelah busur keindahan lembah dan persawahan Imogiri, apakah dia akan mengatakan hal serupa?

Entah Che akan menjawab bagaimana jika kejadian begitu, namun, saya bisa memberikan blio sebuah jaminan ini. Daerah yang dipeluk pegunungan dan dijaga dari hantaman ombak Pantai Selatan ini tak akan kalah memberikan banyak pelajaran.

Dengung dan deru mesin penggiling padi yang melewati galengan sawah hingga para petani yang selalu tersenyum ketika bertatap muka, haqqul yaqin Che akan memodifikasi kata-katanya menjadi, “My destiny is to stay at this place.

Ya, walau pun selain itu, Che juga bakal sambat tentang truk pembawa gabah yang menuju Piyungan.

Antara sambat, “buaaajilak, alon-alon Mas e!” atau mendoakan agar muatan truk tersebut tidak nyamplak tiang listrik. Namun, Imogiri, bagi saya pribadi, tak ubahnya sebuah perbukitan dan pertanian yang tiada habisnya. Saling bergandengan, membuat masyarakatnya betah walau apa adanya.

Imogiri kini tidak hanya berkelumit dengan persawahan belaka. Munculnya sebuah tradisi eksplorasi oleh remaja Yogyakarta, seakan mereka menemukan satu demi satu surga yang sebelumnya tidak terjamah, menjadi tempat yang ramah.

Imogiri juga menjadi penghubung menuju destinasi wisata unggulan seperti perbukitan, susur sungai, treking hingga pantai yang memanjang dari Gunung Kidul hingga Bantul.

Munculnya wisata-wisata unggulan, setidaknya memberikan sedikit dampak peralihan pola kehidupan masyarakat. Dari yang melebur seutuhnya di dunia agraria semisal buruh tani, kini ada opsi lain seperti membuka penunjang wisata. Beberapa perhotelan mulai muncul sepanjang jalan Siluk menuju Panggang, pun berbagai tempat oleh-oleh mulai jamak ditemukan.

Salah satunya adalah Dusun Sompok yang berada di Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Bantul. Desa yang letaknya memanjang sepanjang Kali Oyo ini menjadi semacam pintu masuk akses tempat wisata seperti Srikeminut. Sedangkan di Sompok sendiri memiliki wisata andalan Air Terjun Banyu Nibo.

Ditemui di kediamannya, Karang Taruna Sompok, Rifki Murwanto, menuturkan bahwa lahan pertanian Sompok tergolong masih produktif. Selain itu, hutan di Sompok juga masih terjaga dan tergolong rimbun.

Dengan berkelekar, Rifki mengatakan bahwa Sompok sama seperti terminologi Desa Konoha, yakni sebuah desa di balik daun. Dia menambahkan dengan menyimpan persoalan, “Bedanya ya Konoha sudah terkenal, di sini kan belum. Karang taruna harus berjuang agar setidaknya mereka yang menuju tempat wisata unggulan, bisa mampir dan melihat keindahan Sompok.”

Dalam kelekarnya, Rifki menyiratkan bahwa banyak desa yang menjadi akses masuk tempat wisata, juga ingin mendapatkan dampak signifikannya. Rifki mengatakan, Sompok belum merasakan profit yang maksimal. Sebelum pandemi, toko-toko di sekitar bisa dihitung berapa pendapatannya dari para wisatawan. Kebanyakan dari mereka mendapat keuntungan dari sesama warga.

Namun, Rifki menambahkan, warung kulineran lumayan berdampak banyak. Dia menjelaskan, “Setiap sore, di sini sangat enak buat pit-pitan, Mas. Banyak pesepeda baik itu dari Bantul maupun di luar Bantul yang melewati Sompok. Warung-warung kulineran tiap sore istilah-e lampu-ne murup terus, Mas.”

Ketika ditanya apakah kini mereka fokus mengejar pariwisata dan mulai meninggalkan pertanian, Sompok masih dilema atas hal tersebut.

Pendapatan dari wisata belum sederas pertanian menjadi faktor utama. Rifki menganggap bahwa pertanian masih menjadi tulang punggung perekonomian Warga Sompok, Imogiri. Dalam sektor pertanian, adalah sebuah hal realistis yang bisa dilakukan oleh para penduduk di Sompok.

“Lho ya jelas, pertanian sangat produktif. Produktifnya pertanian kami, ada guyonannya, Mas, jika mesin penggiling padi masih murup (nyala) itu tandanya pertanian kami belum mati,” jawabnya disertai tawa. “Bahkan ada yang bekerja menjadi buruh tani di luar Sompok. Urun pikul dengan persawahan di luar Sompok itu sendiri.”

Mas Rifki, anak petani yang terjebak dalam studi hukum. Setelah itu, jebul tersesat dua kali karena bertani ternyata impian sesungguhnya.

Memang kebanyakan buruh petani ini menggarap sawah yang bukan miliknya. Mereka biasanya dibayar jika tuntutannya telah terpenuhi. Ada yang menggarap secara penuh, itu artinya mulai dari menanam hingga memanen, petani tersebut yang mengurusnya. Atau ada yang hanya bekerja ketika tandur atau manen saja.

“Namun, di Sompok sendiri sistem tersebut (petani bekerja ketika nandur atau manen saja) jarang ada yang menetapkan,” Rifki menjelaskan bahwa di tiap sawah ada semacam regu kecil.

“Jadi, Mas, sawah tersebut mau digarap apa, mau ditanduri apa, itu adalah keputusan dari masing-masing regu kecil di tiap sawah.”

“Jadi, itu, apa namanya, per petak-petak sawah itu biasanya varietasnya sama. Kalau cabe, pasti petak sebelahnya juga cabe,” jelas Rifki sembari menunjuk beberapa petak sawah yang di hadapannya tertulis Kampung Tanggap Bencana Sompok Tangguh.

Sistem semacam ini yang menjadikan pertanian di Sompok, Imogiri, masih kuat. Dari mulai jaminan, pembagian dan pemerataan hasil bisa terjaga dengan baik karena yang menentukan bukan pemilik sawah.

“Kan yang tahu sedang ungsum (musim) apa itu para petani, bukan pemilik. Tapi banyak juga pemilik sawah adalah petani juga. Mereka melebur ke dalam regu itu. Jadi digarap secara bersama-sama.”

“Kalau masalah pembayaran, tiap regu itu apakah ditetapkan pemilik tanah, Mas?” tanya saya.

“Ndak, Mas. Manut hasil panennya bagaimana. Ya seperti yang saya katakan tadi, sistemnya urun rembug. Mulai dari perencanaan menanam, hingga pembagian hasil ketika panen. Nah, jika sistemnya disewa ketika nandur dan manen saja, itu pembayarannya seperti kuli, Mas. Pembayarannya sistem harian.”

Rifki menyatakan kelegaannya lantaran adanya regu-regu tani di Desa Sompok, Imogiri.

Dia berujar, “Ya, sistem regu seperti ini ada untungnya juga ya, Mas. Kalau nggak ya bahaya bagi petani itu sendiri. Mereka akan kepental-pental. Datangnya pekerjaan tiap ada yang mau menggunakan jasanya saja. Dan di musim seperti ini sangatlah berat.”

Ketika ditanya apakah ada kemungkinan terburuk dari sitem semacam ini, Rifki mengatakan masalah prediksi musim.

“Terkadang petani salah memperhitungkan habis hujan itu kapan, Mas. Misal-e, pas proses penanaman itu masih hujan, Mas. Ndilalah, di pertengahan sudah habis (hujannya, red),” jawabnya dengan sedikit ngekek.

“Ujung-ujung e masalah air ya, Mas?”

“Akses sebenere, Mas. Air banyak, tapi banyak sawah yang tidak bisa dicapai oleh sistem irigasi ketika kemarau.”

Ketika air tidak bisa memenuhi kebutuhan petani, Rifki mengatakan itu tandanya mereka harus bekerja ekstra lagi.

“Tambah tenaga, namun penghasilan tidak dapat diprediksi,” katanya.

Rifki melanjutkan, “Terpaksanya, petani harus menggunakan pompa air dari sungai-sungai terdekat. Bahkan, ada yang memasang paralon-paralon yang memanjang dari sungai menuju persawahan.”

“Walau cara itu tidak efektif (membuat jalur air dari sungai menuju persawahan pakai paralon) dan buang-buang tenaga, hal ini menyiratkan bahwa Sompok masih berpegang teguh pada sistem irigasi,” terang Rifki.

“Ketika musim panas tiba, petani di Sompok sangat bergantung kepada sungai. Dan perkaranya, musim sekarang ini sangat sulit untuk ditebak.”

Apa yang dikatakan Rifki pun logis menurut saya. Ketika memaksakan menanam padi di musim yang tidak cocok, besar kemungkinan para petani gagal panen atau hasilnya buruk. Hal ini akan berdampak kepada pendapatan mereka secara mandiri.

Saya pun bertanya kepada Rifki, maka dari itu kelompok karang taruna menggencarkan nama Sompok agar bisa dikenal oleh wisatawan dan blio pun menjawab iya.

“Terus terang, selain ingin memberitahu alam Sompok itu indah. Kami juga ingin menawarkan agrowisata yang dikombinasi dengan budayanya. Sedang untuk petani, kami ingin mengedukasi itu semuanya. Kalau menolak pariwisata sih jelas ndak.”

“Langkah kongkrit apa, Mas, yang sudah dilakukan oleh desa ini sendiri?” tanya saya sembari melewati beberapa sawah yang kering di mangsa kemarau seperti ini.

“Kami masih menyusun formulanya. Yang udah berjalan itu namanya Podjok Edukasi, Mas. Dari sana kami pernah menerima satu kelas pascasarjana dan empat kelas mahasiswa Fakultas Psikologi UAD. Istilahnya tukar ilmu,” jelas Rifki bahwa karang taruna menjembatani warga dengan edukasi. Sekaligus, memperkenalkan desa ini sendiri.

Ketika ditanya wisata budaya di Sompok Imogiri, Rifki menjelaskan bahwa di dusunnya terdapat kirab budaya bernama Merti Dusun. Acara ini merupakan sebuah persembahan rasa syukur dan juga harapan agar warga dan desa bisa sejahtera.

“Jika kami memaksakan pembangunan dan semacamnya untuk wisata, kan malah menciderai budaya kami itu sendiri, Mas.”

Rifki dan kawan-kawan ingin menggali potensi yang ada, bukan mencari-cari hal yang sejatinya tidak ada. Gempuran pembangunan infrastruktur dari pihak luar beberapa kali ditolak mentah-mentah oleh Sompok.

Rifki menjelaskan, “Kami ingin pariwisata itu mendukung pertanian warga, berbarengan dan berbanding lurus untuk penghidupan mereka, bukan malah menyengsarakan dan menggerus persawahan.”

Walau berkata begitu, Rifki tetap mengisyaratkan ketakutan bahwa konversi lahan pertanian tetap akan terjadi.

“Banjir bandang pada 2017 silam seakan memberikan pertanda bagi kami. Kami yang berada di hulu Sungai Oyo dan menampung seluruh air dari Yogyakarta, Sleman, dan Bantul itu sendiri membuat kami mawas diri untuk memelihara lingkungan kami.”

Kebutuhan lahan di luar pertanian memang tinggi. Bagai tambal sulam tempat wisata, para investor pasti mengendus beberapa tempat strategis untuk membangun bisnis mereka. Belajar dari tempat lain, warga Sompok membentengi hal itu terjadi. Mereka lebih mengedepankan wisata yang berbaur dengan budaya dan pertanian.

“Harapan Mas Rifki terhadap pertanian Sompok bagaimana, Mas?” tanya saya.

“Bagi saya yang lahir dari keluarga petani, saya kira bertani itu bukan merupakan profesi, Mas. Lebih dari itu adalah sebuah pelajaran yang tak terkira. Belajar ikhlas menjalani dan merawat berkah dari Tuhan itu sendiri. Kami kan istilahnya numpang, kami mengelola dan berserah seutuhnya.”

Ketika berjumpa dengan beberapa petani yang duduk di pinggiran Kali Oyo, saya mengetahui bahwa apa yang dikatakan oleh Rifki bukan sekadar retorika belaka.

Kala Sukarno bertemu dengan Marhaen sehingga menimbulkan pemikiran luar biasanya, maka saya menganggap bahwa senyuman para petani yang bersembunyi dari peluh dan kulit yang melepuh adalah hal yang luar biasa indahnya.

Para petani Sompok menolak disebut sebagai tokoh maupun pahlawan untuk Sompok. Terma tersebut terlampau suci bagi mereka. Para petani ini hanyalah orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dunia.

Sedang untuk mereka sendiri, merupakan sebuah pengharapan yang selalu tersampaikan melalui doa dalam setiap gerejak yang dihentak menghasilkan bulir demi bulir padi yang siap dinanak.

BACA JUGA Ketika Status Anak Kuliahan Membuatmu Jadi Alien di Desa atau tulisan soal LIPUTAN lainnya.

Exit mobile version