Candi di Kampung Lelembut: Menguak Peradaban Hindu-Buddha di Gunungkidul

Candi Plembutan diperkirakan lebih tua dari Candi Prambanan. Candi ini memiliki corak agama Hindu. Keberadaan Candi Plembutan mengungkap sejarah adanya peradaban Hindu-Buddha di Gunungkidul.

***

Seorang kawan membalas status WhatsApp saat saya berada di Sodo, Gunungkidul. Ia meminta saya untuk singgah ke rumahnya. Sudah lama kami tidak berjumpa, maka saya iyakan saja permintaannya.

Saya suruh dia membagikan lokasi via GPS. Selepas dari Sodo. Saya sempat singgah dan berencana untuk menulis perihal Pasarean Gunung Bagus yang disebut sebagai makam Jaka Tarub, sosok terkenal dalam legenda Jawa kuno.

Sayang, tempat itu tidak punya juru kunci. Seorang pemilik warung di dekat lokasi itu malah mengira saya hendak mencari pesugihan. Katanya, untuk tujuan itulah orang-orang mendatangi makam tersebut. Berbagai jenis hantu ia sebutkan beserta cara ‘menarik’ dan kegunaannya masing-masing.

“Kalau mau gampang, cari tuyul saja, Mas,” jelasnya sambil membuatkan kopi.

Di warungnya, saya membuka titik GPS dari kawan saya tadi. Sebuah lokasi di layar menarik mata, Candi Plembutan namanya. Saya mencoba mencari tahu di internet soal candi tersebut sembari menikmati suasana sejuk hutan Gunung Bagus.

candi plembutan mojok.co
Batuan di Candi Plembutan. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Menuju Kampung Plembutan

Saat melintasi jalan raya di Kelurahan Plembutan, hanya ada satu papan nama kecil yang menunjukkan keberadaan candi. 50 meter dari papan nama tersebut, saya berhenti di rumah kawan. Mell Shaliha (38) namanya, seorang penulis novel asal Dusun Plembutan Timur. Kedatangan saya dengan niat untuk sekadar singgah berubah menjadi obrolan tentang situs bersejarah di desanya.

Mell mendapatkan cerita tentang Candi Plembutan secara turun-temurun dari kakek buyutnya yang masih berstatus seorang raden. Menurut cerita, lokasi situs tersebut dulunya adalah sebuah gundukan tanah mirip bukit kecil di tengah hutan tanpa penguasa. Dari atasnya, orang-orang bisa melihat jauh ke daerah lain.

Alkisah, wilayah tanpa penguasa di sekitar Plembutan di masa silam menjadi bahan perebutan dua orang demang bernama Secoko dan Wiladeg. Konon, saat daerah lain sudah memiliki penguasa, wilayah sekitar Plembutan masih belum bisa dikuasai karena adanya kerajaan lelembut menguasai hutan.

Dua demang tersebut kemudian berembuk untuk menentukan penguasa wilayah ini. Diputuskanlah dengan balapan lesung. Caranya, mereka menghanyutkan lesung di Sungai Butuh. Dari bukit tadi, keduanya memantau lesung yang telah dihanyutkan.

Akhirnya, Demang Secoko menjadi pemenang taruhan itu. Di tangannya pula, lelembut penghuni hutan itu bisa ditaklukkan. Kepercayaan bahwa hutan di sana dihuni banyak lelembut, konon, membuat wilayah ini diberi nama Desa Plembutan yang berasal dari kata lelembut.

Mell Shaliha, baru-baru ini menuliskan soal candi di dusunnya dalam sebuah buku antologi. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

“Dulu pas simbah masih muda, lokasi candi masih berbentuk gundukan tanah cukup tinggi. Di bagian atasnya ada kayak batu,” terang Mell. Ia juga menjelaskan, lama kelamaan gundukan tanah itu melandai karena erosi.

“Demang tadi tokoh fiktif?” tanya saya agak ragu.

“Bukan fiksi, tokoh nyata. Nama Demang Secoko masih ada ahli warisnya, Mereka tinggal di Dusun Wiyoko. Di sana dulu ia tinggal setelah memenangkan pertaruhan. Masih ada juga joglo peninggalannya,” sanggah Mell.

Ketika belakangan diketahui ada candi di lokasi itu, warga sekitar tidak menyangka. Memang, dulunya di bagian atas ada sebuah batu tidak biasa namun kepercayaan warga sekitar mengatakan bahwa itu adalah bekas lesung para demang di masa lalu. Ternyata, batuan tadi adalah salah satu bagian dari formasi candi.

Masih menurut Mell, tidak banyak warga sekitar paham dan tertarik dengan keberadaan candi tersebut. Ia menyebut bagaimana orang-orang sekitarnya cenderung kurang bangga dengan sebuah situs bersejarah di desa mereka. Di sisi lain, cerita turun-temurun soal sejarah dusun pun tidak banyak orang ketahui, termasuk oleh para keturunan demang tadi.

Selepas pukul 1 siang, saya diajak Mell menuju ke situs bersejarah yang ia ceritakan, sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Kami melintasi hutan jati dan ladang warga. Sesekali kami berhenti sekadar untuk bercakap dengan warga yang kebetulan melintas. “Wah, sae, Mas. Monggo,” sahut seorang peladang saat saya bilang hendak ke candi. Mata saya celingukan, apakah hutan jati ini yang tadi Mell katakan sebagai sarang lelembut?

Melihat candi

Candi itu berada di dusun Plembutan Timur, Kalurahan Plembutan, Playen, Gunungkidul. Letaknya tidaklah berada di tepi jalan raya melainkan berada di tepi jalan perkampungan. Berbagai sumber di internet mengatakan bahwa bangunan ini merupakan candi agama Hindu. Yang berbeda dari candi Hindu lain seperti di Prambanan, candi ini menggunakan batu putih atau batu kapur dalam konstruksinya.

Lokasi ini kini telah terlindungi dengan pagar besi setinggi kurang lebih 50 cm. Di dalam area terdapat gazebo dan beberapa papan nama. Jika ingin masuk, pengunjung harus membuat janji dengan juru pelihara (Jupel) yang tinggal tidak jauh dari sana. Sayangnya, saat saya ke sana Jupel sedang tidak berada di lokasi.

Informasi di situs Balai Perlindungan Cagar Budaya DIY mengatakan bahwa candi ini memiliki luas 13 meter persegi dan menghadap ke arah barat. Bangunannya dikatakan pernah 2 kali mengalami penggalian pada tahun 1997 dan 2000 dan punya arsitektur berbahan kayu. Sementara di situs Kemdikbud ditulis bahwa pernah ditemukan sumuran candi, lantai selasar, tangga, dan fragmen arca Ganesha.

Hal ini dibenarkan sendiri oleh Jupel Candi Plembutan, Karyadi (36). Menurut pria yang sudah jadi juru pelihara sejak 2018 ini, eskavasi selama 2 kali itu terjadi dengan bantuan dari berbagai pihak, termasuk Universitas Gajah Mada. Saat itu, ditemukanlah fragmen arca, pecahan gerabah, dan mata uang VOC.

Menurut Karyadi, sesungguhnya belum terlalu jelas dari masa apa situs ini berasal. Kemungkinan menurut pihak BPCB, katanya, candi ini berasal dari abad 6-10 Masehi. Sementara menurut informasi di papan informasi candi, bangunan ini diperkirakan berasal dari abad ke-7 Masehi.

“Kalau agamanya, kemungkinan ini Hindu-Buddha. Dulunya, diperkirakan ini adalah tempat ibadah,” terang Karyadi saat saya hubungi melalui telepon.

Sejarah tentang Candi Plembutan menjadi lebih sulit digali lagi karena pengetahuan masyarakat sekitar mengenai tempat itu masih diselimuti cerita-cerita dongeng. Sementara, sebagai petugas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY, ia dilarang keras menceritakan hal-hal semacam itu kepada pengunjung candi.

Sampai sekarang, situs ini masih sering dikunjungi oleh masyarakat umum, terutama kalangan pelajar. Karyadi mengakui sendiri, candi ini sekilas kurang menarik perhatian masyarakat karena mungkin tidak seperti candi-candi pada umumnya. Baginya, ini adalah sebuah reruntuhan candi dan membutuhkan upaya lebih serius jika ingin dipugar dan disusun ulang.

Masalah kekhasan candi ini dengan batuan kapurnya juga bukan tanpa kendala. Sebab, konstruksinya masih berada di bawah permukaan tanah. Keputusan untuk tidak menggalinya, kata  Karyadi, bertujuan supaya batuan itu tidak rusak karena proses alam seperti erosi akibat hujan.

“Dulu ketika eskavasi memang sempat digali sebagian, tapi sekarang sudah tertutup lagi karena tanah yang terbawa saat hujan,” imbuhnya.

Batuan di Candi Plembutan. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Berbagai sumber mengatakan bahwa candi ini diperkirakan lebih tua dibandingkan dengan Candi Prambanan. Menurut perkiraan Karyadi bahwa candi Plembutan dibangun sekitar abad ke-6 Masehi. Sedangkan jika menelisik data di situs Perpustakaan Nasional, Candi Prambanan diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-9 masehi. Artinya, bisa jadi Candi Plembutan berusia 300 tahun lebih lama dibandingkan Prambanan. Walaupun ini masih harus dibuktikan secara ilmiah.

Keberadaan situs ini membuka sebuah jejak sejarah Gunungkidul pada masa Hindu-Buddha. Sebab, sejarah populer tentang kerajaan-kerajaan Jawa masa kuno mengatakan hampir tidak ada kerajaan berbasis di daerah Gunungkidul sekarang. Mataram Kuno sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang meninggalkan Candi Prambanan pun diperkirakan berada di sekitar Jawa Tengah bagian selatan.

Di sisi lain, Candi Plembutan bukanlah satu-satunya peninggalan masa Hindu-Buddha di daerah Gunungkidul. 2 kilometer dari Plembutan, ada Candi Pulutan yang masuk ke wilayah administratif Kecamatan Wonosari. Di papan informasi candi tersebut, ada pula nama Candi Risan yang diperkirakan dibangun di masa dan latar belakang kebudayaan serupa.

Candi Plembutan bukan tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah. Karyadi mengungkapkan bahwa sejak beberapa tahun silam ada rencana pembuatan atap untuk melindungi batuan-batuan yang telah digali. Namun, sampai saat ini tidak tahu pasti kapan rencana itu akan dieksekusi.

Tantangan pelestarian

Wisatawan mancanegara yang menginap di Dusun Plembutan oleh Mell Shaliha diajak mengunjungi Candi Plembutan. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Bagi Mell, ia sangat prihatin dengan minimnya ketidaktertarikan warga sekitar dengan adanya peninggalan sejarah semacam itu. Apa yang bisa ia lakukan adalah mempromosikan sebisanya candi tersebut. Kebetulan, di dusunnya ada sebuah guest house. Dengan kemampuan bahasa Inggrisnya, ia sering mengajak para tamu mancanegara mengunjungi candi tersebut. Hati kecilnya sangat menginginkan agar peninggalan sederhana itu bisa semakin terkenal suatu saat nanti.

Saat beranjak dari kediaman Mell, saya memutuskan kembali ke candi tersebut. Di tepi jalan, 2 batang rokok saya habiskan sembari menanti jika saja Karyadi kembali sebelum sore. Warga lalu lalang dengan santai. Satu orang berhenti dan menanyai saya. “Ya cuma seperti ini,” cetusnya saat saya bilang sedang mengamati candi.

Otak dan imajinasi kembali ke masa lalu. Mungkin, jauh sebelum darah Gunungkidul menjadi area kekuasaan Majapahit dan Mataram Islam, daerah ini telah punya kebudayaan sendiri yang kini terlupakan. Mungkin, di masa lalu, tempat saya berhenti kini adalah perkampungan kuno. Mereka jauh dari pusat kuasa, namun punya sistem kebudayaan dan kehidupannya sendiri.

Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Kisah Mistis Watu Manten di JJLS Gunungkidul dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version