Toko Tembakau Wiwoho, di barat Tugu Jogja merekam sejarah bagaimana dunia tembakau di Yogyakarta menggeliat sejak 103 tahun yang lalu. Bertahan karena pelanggan yang loyal.
***
Suasana sekitar Tugu Pal Putih Yogyakarta tidak terlalu ramai. Kendaraan yang mengantre di tiga lampu APILL di seputaran landmark Kota Yogyakarta itu sepi. Rabu (27/10/2022) siang yang terik setelah paginya turun hujan, saya parkirkan kendaraan di sebuah toko tembakau yang letaknya di Jalan Diponegoro Nomor 4, tepat di sebelah barat barat laut Tugu Pal Putih.
Dari depan, stok rokok di etalase kaca terlihat penuh berjajar. Mulai dari jenama rokok terkenal sampai puluhan merek rokok yang asing buat saya. Sebagian mungkin saya kenal mereknya, tapi mulut ini belum pernah merasakan.
Selain itu, toples-toples kaca berisi beragam varian tembakau juga tertata rapi. Begitu pula berbagai peranti pelengkap kebutuhan perokok lainnya. Mulai dari cengkeh, kemenyan, alat linting, kertas, hingga lem perekat lintingan.
Sejak lama, saya penasaran untuk belanja rokok atau tembakau di toko yang katanya legendaris ini. Kebetulan mulut ini sedang ingin menghisap rokok Juara Filter dengan sensasi rasa tehnya yang khas itu. Sudah lama tidak mencobanya lantaran cukup langka di pasaran.
“Juara Filter-nya ada, Mas?” tanya saya pada seorang lelaki yang sedang berjaga.
“Wah, lagi kosong. Tapi sebentar,” jawabnya singkat seraya melangkah cepat ke ujung etalase kaca.
Setelah merogoh tumpukan stok rokok, ia kembali ke hadapan saya dengan membawa sebungkus rokok merek lain. Ia menyodorkan Gares Teh Madu, sebuah rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) isi dua belas batang. Harganya Rp15 ribu per bungkus.
“Coba ini saja. Lebih murah. Rasanya mirip,” ujarnya yakin.
Saran itu saya terima. Lembaran uang Rp50 ribu saya serahkan. Sembari menunggu kembalian, saya buka bungkus lalu menyalakan sebatang rokok Geres ini. Saya tarik hisapan pertama dengan saksama. Berlanjut ke hisapan selanjutnya. Terasa lebih ringan dari Juara Filter. Namun, cocok di mulut saya.
Setelah mengantongi uang kembalian, saya lanjut berbincang dengan pegawai bernama Edwin Kurniawan (38) ini. Mumpung toko ini sedang tidak terlalu ramai.
“Juara Filter sekarang mahal. Bahkan ada yang jual online harganya 25 ribu. Jadi rokok substitusi yang lebih murah, rasa mirip, dan tetap legal begini banyak dicari,” kata Edwin.
“Kalau nuruti harga yang naik terus ya memang bikin perokok bangkrut,” sambungnya tertawa.
Edwin bercerita kalau sekarang, rokok dengan harga terjangkau banyak dicari. Mulai dari produk-produk yang menawarkan kemiripan rasa dengan merek besar. Hingga merek rokok lokal seperti Sukun, Grendel, Kerbau, hingga Lodji.
Di tengah obrolan, seorang lelaki berambut putih lalu mendekat. Nimbrung bersama kami. Ia merupakan pegawai lain di sini. Lelaki itu bernama Untung Waluyo (60). Beberapa pembeli datang, Edwin mulai sibuk melayani sehingga saya berganti ditemani Untung. Ia yang sudah cukup lama bekerja di sini menceritakan sedikit sisi sejarah Toko Wiwoho.
Baca halaman selanjutnya
Berdiri sejak 1919 gara-gara nenek….