Backstreet, Jumatan, dan Petugas Kelurahan: 3 Kisah Cinta Beda Agama

Backstreet, Jumatan, dan Petugas Kelurahan: 3 Kisah Cinta Beda Agama

Lupakan long distance relationship (LDR) antarkota, antarprovinsi, atau antarplanet sekalipun. Sebab LDR terjauh adalah antara tangan yang menangkup dan tangan yang menengadah di meja makan. Katanya, sih, begitu. Bahwa cinta tidak pandang bulu, itu betul. Tapi, bisa saja cinta memandang agama.

Jiaaakh!

Tuhan memang satu, kita yang tak sama, kata musisi yang sekarang sudah mualaf. Cinta menyatukan, agama memisahkan. Ironis, mengingat semua agama berangkat dilandasi rasa cinta.

Ketika bicara soal cinta beda agama, bayangan saya tak jauh-jauh dari gambaran sepasang kekasih ke gereja—yang satu menunggu di luar—atau ke masjid, juga yang satu menunggu di luar. Dari luar, pemandangan itu begitu manis dipandang mata: persatuan Indonesia, toleransi, dan seterusnya, dan seterusnya.

Tapi, bagaimana dengan yang melakoninya? Apakah pada kenyataannya cinta beda agama seindah itu? Saya mengobrol dengan tiga teman—semuanya perempuan—untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar cinta beda agama.

Sebagai catatan, tulisan ini bukan bermaksud menghakimi agama dan pemeluk agama tertentu. Fokus tulisan ini adalah memaparkan apa yang sesungguhnya terjadi dalam cinta beda agama.

Kriterianya centang semua, kecuali ‘yang satu itu’

Yang pertama ada RW (28), seorang pegawai rumah sakit pemerintah di Yogyakarta. Sebelum bekerja di situ, RW sempat bekerja di sebuah rumah sakit swasta yang dinaungi oleh yayasan Katolik. Di sinilah kisah cinta beda agamanya bermula. RW seorang muslim yang kesengsem dengan rekan beda unit, pria berinisial DA—seorang Katolik.

Waktu itu RW berusia 24 tahun—usia yang menurutnya sudah bisa serius dalam menjalani hubungan. Pacarannya bukan sekadar main-main, melainkan menuju ke arah pernikahan. Komitmennya dengan DA pun sungguh-sungguh. Mereka sepakat untuk “sama-sama belajar” dalam menjalani hubungan tersebut.

Ketika saya tanya, apa alasan RW mau menjalin hubungan dengan DA, kata dia, “Semua kriteriaku ada di dia, centang semua, kecuali ‘yang satu itu’.”

Teman saya yang lain, EA (26) juga sama, menjalin cinta beda agama dengan laki-laki—sebut saja HR yang kini sudah jadi suaminya—di kantor. Mereka tidak berpacaran. Sejak awal dekat, EA dan HR memang sudah memutuskan untuk menikah.

EA seorang Katolik yang taat dan HR adalah seorang muslim yang sama taatnya. Begitu juga keluarga mereka. Maka, pekerjaan rumah pertama EA dan HR untuk bisa bersatu adalah memenangkan hati keluarga.

EA sebenarnya sempat hampir menyerah waktu itu, tapi kata dia, HR berhasil menenangkan hatinya dengan kalimat, “Mau seperti apapun keadaannya, aku akan tetap menikahimu karena kamu adalah jalan hidupku.” Bucin banget emang, kata EA. Tapi, bagaimanapun, kalimat itulah yang membuatnya bertahan.

Sementara itu, teman saya yang satunya lagi, DN (25) justru menemukan laki-laki yang kini sudah 2,5 tahun berpacaran dengannya, NF, melalui aplikasi kencan online. Harapan DN pada aplikasi itu sebenarnya tidak muluk-muluk. Kalau ketemu yang bisa jadi teman, ya berteman. Kalau bisa sampai serius, ya serius.

Penyebabnya, kata dia, skena pencarian jodoh lewat aplikasi Tinder itu sudah jauh berbeda dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. “Banyak yang aneh-aneh, gitu,” ucap DN melalui panggilan telepon.

Ia bahkan baru berani bertemu dengan sosok ‘swipe right’-nya itu sebulan setelah match. Berbulan-bulan setelahnya, meski tak pernah ada kata jadian atau pacaran, mereka tahu kalau hubungan itu sudah bukan sekadar pertemanan lagi.

Berjalan, pupus, dan sampai tujuan

RW mengaku ia selalu serius dalam hubungannya, begitupun DA, kekasihnya. Dalam hubungan yang berumur 1,5 tahun itu, RW dan DA sudah sempat punya tabungan bersama. RW terbahak ketika menceritakan ini. “Habis putus, aku kaya. Hahahaha,” kata dia.

Photo by Maria Teneva on Unsplash
                       Tantangan terbesar dari cinta beda agama adalalah keluarga besar. Foto ilustrasi oleh Maria Teneva on Unsplash

Uang hasil tabungan ia gunakan untuk traveling ke luar negeri beberapa kali. Sungguh bermanfaat. Pelajaran buat yang lagi pacaran, tidak apa-apa membuat tabungan bersama. Kalau putus, uangnya bisa dimanfaatkan untuk self pampering.

Seperti RW ini, patah hatinya dibawa pergi, literally, ke luar negeri. Jelas lebih asyik dibandingkan dengan mengurung diri di kamar sambil mendengarkan lagu, “Tuhan memang satu, kita yang tak sama,” bukan?

EA dan HR punya jalan cerita berbeda. Mereka sejak awal sudah fokus untuk membangun bahtera rumah tangga, sedahsyat apapun badai menerpa. Karena itulah, ketika ada penolakan dari keluarga, mereka tetap bertahan dan yakin bisa melaluinya. Sekarang, EA dan HR sudah menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan. Keduanya menikah tanpa mengubah kolom agama di KTP dan setelahnya juga tetap berpegang pada agama masing-masing.

EA dan HR adalah bukti bahwa cinta beda agama bukan hal yang sia-sia, juga bahwa semua yang diinginkan memang harus diperjuangkan habis-habisan.

Sementara itu, DN dan NF jauh berbeda. Mereka tidak punya tujuan untuk cepat-cepat menikah. DN dan NF sebelumnya sama-sama punya pengalaman menjalin hubungan beda agama. DN menjalani hubungan tanpa status (HTS) selama dua tahun. NF berpacaran beda agama selama dua tahun.

Kondisi NF lebih rumit karena ia sudah sempat mengenalkan si pacar (sebelum DN) ke orang tua dan keluarganya yang muslim taat. Alhasil, ia disidang di depan keluarga besar dan bahkan sampai dipanggilkan guru mengaji selama satu bulan untuk membuatnya ‘bertaubat’—tidak berpacaran dengan perempuan yang beda agama.

Tapi, apa mau dikata, cinta ya cinta, selama bisa dijalani kenapa tidak?

DN dan NF tetap menjalani hubungan ini dengan tujuan bisa menemani bertumbuh satu sama lain. Tidak ada visi foya misi foya menikah, setidaknya sampai 10 tahun ke depan. “Yang penting jalan dulu, sama-sama bisa jadi lebih baik dalam banyak hal, ke depannya dilihat seiring waktu. Masih banyak yang perlu dikejar, misalnya karier. Kerjaan aja belum beres, ya, bun,” kata DN.

Backstreet, Jumatan, dan petugas kelurahan

Menjalani cinta beda agama bukan hal yang mudah. Bagi DN dan NF, misalnya, mereka harus kucing-kucingan dengan keluarga masing-masing alias backstreet. “Aku kayak anak SMA, backstreet, padahal udah umur 25 tahun,” kata DN. Meski sama-sama tinggal di Jakarta, mereka hanya bertemu 1-2 minggu sekali.

“Kadang-kadang aku bilangnya mau pergi sama teman yang lain, padahal di luar ketemu sama NF.” 

Bahkan, saat saya hubungi pada Sabtu (12/6) lalu, DN yang sedang libur harus menerima panggilan telepon sambil jalan-jalan keliling komplek agar pembicaraan kami tak terdengar oleh keluarganya.

DN sebenarnya merasa bahwa keluarganya sudah tahu bahwa ia punya pacar, tapi belum bisa menebak sosoknya—dan juga tak bertanya langsung kepadanya. Ia dan NF sama-sama menyadari bahwa kelak, kedua keluarga bisa saja akan mulai bertanya perihal pasangan dan keseriusan.

“Ya, nanti kalau waktunya datang, tinggal jawab aja. Selagi belum ditanya, nikmati dulu,” kata DN. Sungguh Namaste, kata saya.

DN dan NF menerima backstreet sebagai konsekuensi hubungan mereka. Untuk apa memicu keributan sekarang, padahal belum ada arahan untuk hubungan yang lebih serius? Biar itu untuk masa depan saja. Biarkan DN dan NF di masa depan yang menghadapinya.

Kalau DN dan NF begitu rapi menyimpan jalinan asmara, berbeda halnya dengan RW dan DA. Karena keduanya sudah saling berkomitmen untuk menikah, perkenalan dengan masing-masing keluarga pun dirasa perlu kala itu.

RW bertemu ibu DA di Yogya karena keluarga DA memang asli kota yang istimewa dengan UMR rendahnya itu. Meski awalnya lancar, di akhir pertemuan ibu DA berbisik, “Mbak, benar Mbak RW mau sama anak saya? Ya, jujur saya nggak ikhlas kalau anak saya ‘ikut’ Mbak RW.”

Itu adalah kerikil pertama bagi hubungan RW dan DA, meskipun sebenarnya baik RW maupun DA tidak mau memaksa satu sama lain untuk pindah agama.

Di lain waktu, pernah juga si DA mengucapkan, “Seandainya saja kamu Katolik, kita bisa kencan dengan diawali misa Sabtu sore.” Ucapan-ucapan seperti ini menurut RW terdengar ringan, tapi mengiris hati juga kalau sering diucapkan. Dan memang bukan hanya sekali dua kali ia mendengar hal serupa keluar dari bibir DA.

                          Menikah itu bukan hanya menyatukan dua hati, tapi juga menyatukan keluarga besar. Foto oleh Tyler Nix on Unsplash.

Cerita lucu terjadi pada saat RW berniat memperkenalkan DA ke ibunya di Ponorogo, Jawa Timur. Mereka berangkat dari Yogyakarta dan sampai di Ponorogo pada pukul 10 pagi, hari Jumat. Sampai di rumah RW, perkenalan berjalan lancar. DA kemudian bermain-main dengan keponakan RW.

Hari beranjak siang dan azan mulai terdengar bersahut-sahutan. DA masih santai, bermain PS dengan keponakan RW. Ibu RW kemudian muncul dari belakang, menyuruh DA Jumatan dan menunjukkan arah ke masjid terdekat.

“Saya nggak Jumatan, Bu. Saya Katolik,” ujar DA.

Hening. Hening yang panjang.

Pada suatu kesempatan lain, saat RW pulang kampung sendirian, sang ibu bilang, “Sudah tahu ada kerikil, bukannya disingkirkan, kok malah disandung.”

Aduhai, nasihat yang penuh metafora. RW paham, ucapan itu bermaksud menyindir hubungannya dan DA. Tapi, bagi RW dan DA, justru ucapan itulah yang jadi kerikil kedua dalam hubungan mereka.

Lain lagi ceritanya dengan EA dan HR. Sejak memutuskan akan menikah, EA dan HR sudah berhadapan dengan penolakan demi penolakan. Keluarga EA mempertanyakan keyakinannya untuk dipersunting seorang muslim. Keluarga HR juga sempat bertanya, “Mbak EA, beneran nggak mau mengucap syahadat?”

Bahkan sampai mereka sudah menikah pun, masih ada keluarga HR yang bertanya, “Mbak kapan dapat hidayah?” Untunglah EA sudah bisa bersikap santai dan menanggapinya dengan guyonan.

Mereka akhirnya berhasil menikah setelah proses alot meyakinkan kedua keluarga terlewati. Salah satu kerabat HR yang dituakan, menyatukan semua kepala dengan mengatakan, “Biar saja menikah dengan tetap memeluk agama masing-masing. Daripada EA mualaf hanya untuk menikah, lalu besoknya tidak sholat—atau malah kembali ke Kristen (Katolik).”

Tapi keluarga hanya salah satu dari sekian rintangan yang dihadapi EA dan HR. Yang tak kalah menguras hati adalah urusan administrasi. EA begitu kesal berhadapan dengan petugas di kelurahan tempatnya mengurus pernikahan.

Seperti biasa, sebelum menikah, ada surat pengantar yang harus diminta dari kelurahan. Sayang seribu sayang, kelurahan tempatnya menikah belum memahami bahwa dua orang beda agama bisa menikah secara sah di negeri ini.

Tak terhitung berapa kali EA harus bolak-balik kantor kelurahan dalam seminggu hanya untuk meminta surat pengantar.

Apa? 4.0? Makanan apa itu?

Beruntung, salah satu kerabat EA memiliki kenalan yang bekerja di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Kerabatnya ini menghubungi pegawai Disdukcapil dan menjelaskan duduk perkara. Pegawai Disdukcapil menghubungi petugas kelurahan dan baru setelah itu, surat bisa dikeluarkan.

EA dan HR menikah dengan pemberkatan di gereja Katolik tanpa mengubah kolom agama di KTP baik sebelum maupun sesudah menikah. Pernikahan mereka tercatat secara sah di Catatan Sipil.

Akhir cerita

RW menceritakan kisahnya dengan nada getir. Sebenarnya, setelah momen Jumatan yang awkward itu, ibunya sempat luluh karena DA membantu mengurusi pemakaman saat ayah RW meninggal. Tapi, pada akhirnya suasana terasa kurang nyaman karena hubungannya dipertanyakan oleh keluarga besar RW. Menikah ternyata bukan cuma soal individu dan keluarga inti.

Untuk RW, hal itu tampak nyata ketika sang ibu mengatakan, “Apa nggak akan aneh atau bagaimana (jika kalian menikah)? Ibu sudah haji, tapi dapatnya menantu yang begitu. Nanti orang-orang (termasuk keluarga besar) bilang apa?”

Meski begitu, kisah cinta RW dan DA sebenarnya berakhir bukan karena tidak ada restu dari keluarga, melainkan karena kepulangan mantan pacar DA ke Yogya. Mantan pacar ini pulang setelah lulus kuliah di luar kota. 

Bisa ditebak, si mantan DA ini juga seorang Katolik dan juga sudah kenal dekat dengan keluarga DA. Jalan menuju pernikahan pun jauh lebih landai jika dibandingkan perjuangan RW dan DA.

“Ya, awalnya kami (aku dan DA) berpikir, kalau sudah sama-sama oke (tetap dengan agama masing-masing) dan keluarga sudah setuju, bisa lanjut (ke pernikahan). Tapi, kenyataannya nggak sesimpel itu,” pungkas RW.

EA yang sudah menikah, beda lagi ceritanya. Ia dan HR dikaruniai seorang anak perempuan yang kini berusia 2 tahun. Baik EA maupun HR tak berniat memaksakan anak mereka memeluk agama tertentu. Biar ia memilih saat sudah besar nanti.

Alhasil, si anak terkadang dibawa ke masjid dan ke gereja, supaya bisa dan biasa melihat perbedaan sejak dini. Suatu hari di bulan Ramadan, si anak ikut ayahnya tarawih di masjid. Melihat EA tidak bersiap-siap, ia pun mengajak sang ibu. “Ayo, Ma, ikut tarawih. Lho, Mama nggak ikut ke masjid?” kata anak itu.

Batin EA juga ternyata sempat merasa pedih ketika melihat gempita Ramadan. Ia bertanya kepada HR, “Yah, kamu pernah ada perasaan sakit hati nggak sih, ketika sholat nggak sama istrinya, nggak ada yang cium tangan setelah salam?”

Kata HR, “Ya, kadang-kadang gitu. Tapi ini kan pilihanku, pilihan kita, jadi ya sudah, lupakan saja.”

Sementara itu, Bagi DN, kisah cinta beda agama bukan hal yang istimewa. Ketika saya tanya, apa yang ingin dia katakan kepada teman-teman di luar yang juga berpacaran beda agama? 

“Jangan dititikberatkan ke agamanya. Lihat aspek lain, misalnya seberapa jauh masing-masing individu berkembang dalam hubungan yang dijalani. Toh, tujuan orang berpasangan itu ya punya partner yang seimbang. Fokus sama tujuan jangka panjang. Nggak perlu dibikin ribet sejak awal. Jalanin dulu, ke depannya gimana bisa dilihat seiring waktu,” jawab DN.

BACA JUGA Anak Muda yang Mencoba Melewati Belenggu Quarter Life Crisis dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version