Asmara dan Hati yang Mulia di Atas Roda

Saya melihat kondektur itu bersandar di pintu bus yang setengah terbuka. Saya taksir usianya belum genap 40 tahun. Keriput sudah terlihat di lipatan dahinya. Namun, keriput tidak memudarkan aura kemudaan yang terlihat dari sosok kondektur itu.

Dia sibuk menata gepokan tiket, spidol warna hitam, dan tiket makan siang di dalam tas pinggangnya yang berwarna hitam itu. Dia memastikan gepokan tiket bus dan makan siang gratis itu aman di dalam tas.

Ekspresinya berubah ketika seorang penumpang mendekat. Mukanya yang terlihat serius berubah cerah. Suara yang terdengar sangat ramah menyapa penumpang. Dia tidak berpikir dua kali ketika mengulurkan tangannya meraih barang si penumpang. Sebuah kardus yang terlihat cukup berat.

“Surabaya? Mari naik. Saya bawakan barangnya, ya,” sapa si kondektur ramah. Si penumpang membalas dengan senyuman dan seutas ucapan terima kasih. Dari kejauhan saya menyadari bahwa kebaikan kecil itu bisa membuat hari-hari brengsek orang lain menjadi lebih berwarna. Ditambah lagi ucapan terima kasih yang memastikan kebaikan itu berbalas manis.

Setelah menghabiskan sebatang kretek, saya naik ke bus antar-provinsi yang termasyhur itu.

“Surabaya? Pakai makan siang?” Tanya kondektur itu ramah.

“Iya, Pak,” jawab saya singkat sambil membalas senyumnya.

Pagi itu, bus berkapasitas 40 tempat duduk hanya terisi delapan orang, sudah termasuk supir dan kondektur. Di dalam bus terasa lengang. Sesuai anjuran pemerintah di masa pandemi, di mana bus dan kendaraan umum lainnya hanya boleh mengangkut 50 persen penumpang dari kapasitas total.

“Sudah lama kayak gini, Pak?” Tanya saya ketika kondektur itu menyobek tiket bus dan satu tiket makan siang untuk saya.

“Iya, Mas. Persis. Tadi dari Magelang malah glondang,” jawabnya ringan. Kata glondang artinya bus dalam kondisi ‘kosong’, hanya ada supir dan kondektur.

“Di Jogja nambah enam penumpang. Lumayan. Biasanya di Solo nanti nambah agak banyak. Tapi ya, selama pandemi kondisinya begini-begini saja. Tapi ya, disyukuri. Lha wong kadang bisa keisi sampai 15 saja sudah bagus. Jadi kalau dipikirkan malah mumet,” jawabnya.

“Wah, ngaruh banget sama pendapatan ya,” sambung saya dengan begitu bodohnya. Kalau jumlah penumpang berkurang ya sudah pasti pemasukan bus ikut susut. Bodoh sekali kamu Yamadipati Seno.

“Ya jelas to, Mas,” jawab si bapak sambil tertawa, “tapi ini kalau saya ya, santai saja. Rezeki ya wis ono sing ngatur to, Mas. Kalau buat saya, ngglinding kayak gini ini saya anggap dolan saja. Biar enteng mikirnya. Sebentar ya, saya ambilkan minum.”

Si kondektur beringsut ke belakang bus untuk mengambilkan saya sebotol air mineral. Saya hitung dia mengambil tujuh botol. Enam untuk penumpang, satu untuk dirinya sendiri.

Setelah mengobrol dengan saya, si kondektur beralih ke depan untuk ngobrol dengan penumpang lainnya. Cuma butuh satu menit saja dia sudah bisa membuat penumpang tertawa. Si bapak ini memang seperti punya kemampuan untuk cepat akrab dengn orang lain.

Kondektur dan hati yang mulia

Beberapa hari yang lalu, saya mengobrol dengan salah satu teman dalam perjalanan menuju daerah Patangpuluhan, Yogyakarta. Teman saya ini pernah bekerja untuk PO bus sebagai kondektur juga.

Saya ceritakan pengalaman saya bertemu dengan kondektur yang begitu ramah dan tidak berpikir dua kali untuk membantu penumpang membawakan barang. Teman saya yang sedang sibuk menyetir mobil itu cuma tersenyum.

Photo by Ash Gerlach on Unsplash.com
Photo by Ash Gerlach on Unsplash.com

“Yang kayak gitu banyak, Sen. Kadang kondektur dipandang galak atau gimana. Sebetulnya banyak yang ramah dan enteng saja kalau menolong. Gimana ya, jalanan itu kayak punya kekuatan untuk menyatukan orang. Mungkin karena tahu bagaimana kerasnya di jalanan, jadi mereka yang terbiasa jadi mudah bergerak untuk membantu sesama,” jawab teman saya.

“Untuk sesama teman seprofesi, mereka kayak punya ikatan yang kuat. Semacam jiwa korsa kalau di militer itu. Bahkan meski berbeda PO, ketika duduk bareng di warung kopi, mereka bisa akrab denga cepat. Mereka tidak perlu mengenal nama untuk menjadi akrab.”

“Jadi karena itu juga mereka bisa mudah akrab sama penumpang?”

“Persis. Lagipula mereka itu kan kerjanya apa ya namanya, mungkin kerja jasa ya tepatnya. Jadi kenyamanan penumpang pasti diutamakan. Kalau bawa barang yang berat pasti dibantu, dimasukkan ke bagasi atau dibawa naik. Kebaikan kayak gitu udah standar.”

“Kerja di jalanan, kadang bisa bikin orang jadi keras. Tapi, sejauh pengalamanku di atas bus, kerja di jalan bikin orang jadi mulia hatinya.”

“Nggak cuma kondektur, tapi ya supir juga. Kelihatannya ugal-ugalan waktu bawa bus, tapi bisa ramah banget ke siapa saja waktu nggak megang setir. Potongan fisik mereka saja yang keras, agak urakan, ngomongnya kasar, tapi hatinya baik. Banyak yang kayak gitu di terminal, pul, sampai di dalam bus.”

Belum sempat saya menimpali, teman saya melanjutkan ceritanya soal kondektur. Kali ini dia bercerita kisah salah satu kondektur legendaris di trayek timur. Namanya Pak Sumasil, usianya sudah 60 tahun.

Pak Sumasil adalah kondektur panutan mereka yang masih muda dan masih belum berpengalaman. Kedisiplinan dan hatinya yang mulia untuk membantu siapa saja menjadi inspirasi.

Pak Sumasil ini sungguh ringan tangan. Ketika ada sebuah armada yang sudah akan berjalan tapi kondektur terjadwal berhalangan hadir, Pak Sumasil akan langsung naik ke bus untuk menggantikan. Tidak perlu menunggu, tidak perlu banyak omong. Ketika sudah berada di atas bus, dia baru bilang untuk menggantikan kondektur yang absen.

Ada kejadian lucu ketika Pak Sumasil “kepancal” bus di mana dia menjadi kondekturnya. Saat itu, Pak Sumasil sedang membantu penumpang memasukkan barang dari pintu belakang. Begitu selesai memasukkan barang, supir bus langsung menjejak pedal gas. Alhasil, Pak Sumasil dan si penumpang tertinggal di pinggir jalan.

Pak Sumasil dan si penumpang, yang kebetulan sama-sama sudah berumur, pontang-panting mengejar bus. Sebuah usaha yang sia-sia. Untung saja, di tengah usaha mereka mengejar bus, ada bus lain yang lewat jalur tersebut. Pak Sumasil dan si penumpang kemudian diangkut untuk mengejar bus yang dikondekturi beliau.

Beberapa waktu kemudian, bus yang pancal tanpa aba-aba itu berhasil terkejar. Pak Sumasil dan si penumpang pun pindah bus dengan perasaan mendongkol. Sesampainya di atas, Pak Sumasil misuh-misuh kepada supir yang cuma bisa nyengir. Rasa kesal Pak Sumasil tidak bertahan lama. Sebentar kemudian dia sudah kembali menjadi kondektur legendaris yang ramah dan penuh senyum.

Di antara mereka yang dibesarkan oleh kerasnya jalanan, tumbuh banyak rasa yang terkadang tidak kita duga. Sisi hati yang mulia, dan terutama kemanusiaan, menjadi satu sisi yang tumbuh subur. Dipupuk oleh kesamaan nasib dan perjuangan menabung nafkah.

Selain hati yang mulia ada satu sisi manusia lagi yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan jalanan, yaitu asmara.

Asmara sopir yang berujung denda

Sebelum sampai di Patangpuluhan, teman saya, si mantan kondentur ini melanjutkan ceritanya. Saya, sih, malah senang menjadi pendengar karena ini jenis cerita yang tidak banyak kamu dapatkan di sembarang tempat.

“Nah, selain kebaikan-kebaikan kecil dari kondektur dan supir, ada juga kasus asmara yang bikin jengkel sekaligus konyol. Terutama para supir yang entah bagaimana, selalu punya jurus memikat para wanita,” terang teman saya sambil ngakak sendiri.

“Baru mencoba mengingat saja aku udah ketawa sendiri,” kata teman saya.

Ilustrasi bus (Foto oleh Antonius Angga on Unsplash.com)

Jadi begini ceritanya….

Persentase supir yang sudah menikah dengan yang masih lajang memang tak sebanding. Lebih banyak yang sudah menikah. Nah, yang masih lajang ini selalu punya “cara” untuk melepas kangen dengan kekasihnya.

Sebut saja namanya supir A yang agak nekat menaikkan pacarnya ke bus ketika bekerja. Kalau si pacar cuma duduk di belakang supir, misalnya, tentu tidak menjadi perkara. Masalahnya, si supir A ini membawa pacarnya ke celah kecil di belakang toilet bus untuk pacaran. Ya cuma untuk ngobrol saja, nggak berani bertindak “lebih jauh dan panas”.

Si kondektur yang ketiban tanggung jawab mengemudikan bus itu. Sambil cemberut, si kondektur menurut saja. Di tengah perjalanan, masalah terjadi.

Jadi, setiap PO itu biasanya punya “pasukan pemantau”, namanya “kontrol”. Mereka yang bertugas sebagai kontrol biasanya berpakaian layaknya penumpang biasa. Namun, bedanya ada di jalur yang mereka tempuh. Biasanya cuma dekat saja, tetapi naik bus antar-provinsi.

Intinya, mereka bekerja undercover, seperti detektif. Si kontrol ini merasa aneh karena cuma ada supir, tidak ada kondektur. Celakanya, si kontrol ini mengenali si kondektur. “Supir e endi?” Si kontrol bertanya keberadaan si supir A yang lagi asyik pacaran di belakang toilet.

Si kondektur tidak mungkin berkilah, apalagi saat itu bus tengah berjalan. Menjalankan bus tanpa kondektur tentu menyalahi anturan kantor. Merasa tidak bisa mengelak, kondektur pun jujur. “Ning mburi, lagi pacaran.” Si kondektur menjelaskan kepada si kontrol kalau si supir lagi pacaran di belakang.

Si kontrol ini tidak menegur secara langsung apalagi keras. Di cuma mencatat nama supir dan kondektur. Ketika namamu “dicatat”, yang menanti adalah denda uang yang tidak kecil. Tak berdaya, si kondektur dan si supir A menerima hukuman dengan ikhlas.

“Besarnya ya lumayan. Kalau “seribu” ya lebih,” terang teman saya.

Yang dia maksud “seribu” adalah Rp1 juta. Biasanya, denda itu sudah tercantum di dalam kontrak. jadi, tidak bisa ditawar lagi. Si kondektur pun kena denda juga karena “membantu” kesalahan itu terjadi. Yah, sekali lagi, jiwa korsa di antara mereka yang bekerja “di atas roda”. Satu kena, yang lain juga.

Membawa kabur bus yang tengah menganggur

Beberapa tahun yang lalu, ada satu kejadian yang lumayan heboh. Jadi, beberapa supir dan kondektur membawa “kabur” armada yang tengah mengaso di garasi. Mereka menggunakan bus yang tengah parkir itu untuk piknik ramai-ramai bersama pacar masing-masing! Gila!

Mereka “membawa kabur” armada itu untuk menuju pantai si selatan Jawa. Mereka bukannya tidak tahu risiko yang akan diterima. Lha wong di garasi terpasang CCTV dan armada yang mereka bawa tertanam GPS. Ketika armada sebesar itu raib, pihak kantor dengan mudah melacaknya.

Alhasil, denda berjamaah diterima. Bahkan salah satu “pengusul piknik dan pacaran” itu menerima denda yang lumayan besar ditambah hukuman tidak boleh tugas selama beberapa waktu. Uang yang tak kecil nominalnya itu dianggap sebagai risiko yang layak “dikorbankan” demi menikmati hidup.

Supir yang “setia”

Kamu pernah mendengar istilah “setia” yang punya kepanjangan “setiap tikungan ada”? Nah, ungkapan ini berlaku juga untuk beberapa supir armada. Mereka ini “setia”, bukan di setiap tikungan, tetapi di setiap trayek ada. Maksudnya, di setiap tempat pasti “punya istri”.

Sebut saja supir B. Jika ditaksir, usianya sudah hampir separuh abad. Tidak lagi muda dengan potongan muka biasa saja. Disebut ganteng itu terlalu berlebihan. Namun, entah bagaimana, supir B bisa dengan mudah memikat wanita dengan karisma dan caranya berbicara.

“Trayek supir B ini, kalau tidak salah ingat, ada tujuh. Dan di setiap kota, dia punya istri,” kata teman saya.

“Di mana saja?” Tanya saya penasaran.

“Ya pokoknya ada. Nggak enak mau nyebut trayek dan namanya,” teman saya agak nggak enak, tapi untungnya mau melanjutkan ceritanya.

Jadi, ketika masih bekerja jadi kondektur, teman saya pernah dipasangkan dengan supir B ini. Suatu kali, ketika akan berhenti di sebuah kota, supir B menawari teman saya jajanan khas kota itu.

“Mau jajanan nggak? Nanti aku mintain bojoku nyusul ke terminal bawakan jajanan.”

“Sebentar, Kang, bojomu asli sini? Kok dulu pernah cerita kalau aslinya (sensor)?”

“Hahaha… ya pokoknya ada. Bojoku ya ada yang dari kota ini,” jawab supir B sambil tertawa renyah. Singkat kata, istri supir B datang ke terminal membawakan satu kresek jajanan. Teman saya makan jajanan itu sambil membatin, “Bojone ono pira iki wong tuwek.”

Peristiwa yang sama terjadi lagi selama beberapa kali. Teman saya cuma bisa geleng-geleng kepala. “Kok bisa, Kang? Bojomu kok bisa banyak gitu?”

“Kalau yang sah ya cuma satu. Nah, status yang lainnya anggap saja juga istri biar gampang. HAHAHA….” Lagi-lagi penjelasannya ditutup dengan tawa lebar.

“Apa karena lama di jalan, supir atau kondektur itu jadi tahu gimana memperlakukan orang, termasuk cewek? Jadinya mereka dianggap sebagai orang yang sangat pengertian?” Tanya saya.

“Bisa jadi, Sen. Cara bicara mereka rata-rata jadi sangat menyenangkan dan bisa mendengarkan orang lain. Atau memang, kalau udah lama di jalan nanti dapat ilmu menaklukkan cewek,” jawab teman saya.

“Lha kok kamu masih jomblo?”

“Kayaknya aku kurang lama kerja kondektur. Coba lebih lama mungkin bojoku ada tiga HAHAHA,” jawab teman saya sambil tertawa.

“Tapi nggak semua kayak supir B itu. Ada juga supir yang bener-bener setia, bahkan taat beragama. Kalau pas ngaso, yang lain tidur, dia tetap salat tepat waktu. Bahkan ketika di atas roda, dia salat sambil duduk. Jalanan itu isinya macam-macam.”

Sebelum sampai di tujuan, saya membatin. Kalau sudah urusan cinta, terkadang logika itu nggak ada gunanya. Risiko diterabas, keanehan jadi barang biasa saja. Satu hal yang pasti, di atas roda, di dalam armada, beragam kehidupan menjadi satu. Itulah yang bikin naik bus menjadi begitu menyenangkan.

BACA JUGA Rekomendasi Mie Ayam di Jogja Versi Info Mie Ayam YK dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno

 

[Sassy_Social_Share]

Exit mobile version