Seorang difabel tanpa tangan menjadi tersangka kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi di Mataram, NTB. Hanya tuduhan di luar nalar atau memang benar adanya?
***
*Trigger warning: tulisan ini mengandung konten sensitif yang bisa memicu trauma dan rasa tidak nyaman lainnya. Disarankan tidak melanjutkan membaca jika sedang dalam kondisi rentan.
“Karena keadaan saya begini. Makan disuapin orang tua. Mandi dibukain baju sama orang tua. Kencing, buang air besar, dibukain celana sama orang tua. Terus terang saya nggak bisa apa-apa. Masa saya dituduh melakukan pelecehan seksual. Bagaimana cara saya memaksa?.”
Kira-kira begitulah pengakuan IWAS (21), pemuda difabel tunadaksa tanpa dua tangan yang ditetapkan sebagai tersangka pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam sebuah video.
Lihat postingan ini di Instagram
Video itu mendapat banyak komentar dari warganet. Mayoritas berpihak pada IWAS. Mengamini pengakuan IWAS: rasanya tidak masuk akal jika seseorang tanpa kedua tangan bisa melakukan pelecehan seksual.
Mari melihatnya secara lebih utuh.
Tuduhan lecehkan mahasiswi Mataram di luar nalar?
Ibu IWAS, GAA, menyebut tuduhan terhadap anaknya adalah tuduhan di luar nalar. Tentu menimbang kondisi IWAS yang difabel tanpa kedua tangan.
Menurut versi GAA, korban (mahasiswi di Mataram berinisial MA) awalnya menjemput IWAS. MA meminta ditemani IWAS ke kampus. Namun, MA justru mengajak IWAS ke sebuah homestay di Mataram.
“Anak saya dibonceng oleh wanita itu ke homestay, dibuka bajunya dan celananya. Malah kebalik, harusnya anak saya yang diperkosa, jadi korban,” terang GAA seperti Mojok kutip dari Detik Bali, Selasa (3/12/2024).
Bahkan, GAA juga menyebut MA lah yang membayar homestay di Mataram tersebut. Sehingga, baginya, sudah jelas bahwa MA lah yang melakukan pelecehan seksual pada IWAS, bukan sebaliknya.
Oleh karena itu, GAA yakin betul putra bungsunya tidak bersalah. Dia berharap anaknya dibebeaskan dari jeratan hukum.
Keterangan berbeda tentang pelecehan seksual mahasiswi Mataram
Keterangan berbeda diberikan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat.
Hasil penyidikannya, yang terjadi justru IWAS lah yang mengajak MA ke sebuah homestay di Mataram. Hasil visum pun menunjukkan terjadinya tindak kekerasan seksual pada MA.
“Berdasarkan fakta-fakta yang telah didapatkan dari proses penyidikan, IWAS merupakan penyandang disabilitas secara fisik (tidak mempunyai kedua tangan). Tapi tidak ada hambatan untuk melakukan pelecehan seksual fisik terhadap korban,” ujar Syarif dalam keterangan tertulisnya.
Hasil penyidikan juga menemukan keterangan kalau IWAS melakukan aksi pelecehan seksual dengan cara membuka kedua kaki korban menggunakan kedua kaki IWAS.
Manipulasi, intimidasi, dan korban yang tidak cuma satu
Kepada awak media, Andre Safutra selaku kuasa hukum MA menjelaskan, pertemuan IWAS dan MA terjadi tanpa sengaja pada Oktober 2024 lalu di Taman Udayana, Mataram.
IWAS lalu mengajak MA berkenalan dan lanjut berbincang di sisi utara taman. Hingga ada satu momen yang membuat MA menangis. Yakni ketika melihat sejoli tengah berciuman. Trauma masa lalu MA dengan mantan kekasihnya terusik keluar.
Pada momen itu lah IWAS lantas mencoba memanipulasi MA dengan mengorek-orek masa lalu mahasiswi di Mataram tersebut. Dari situ pula IWAS melancarkan intimidasi jika tidak menurut padanya, maka masa lalu MA akan dibongkar kepada orang tua MA.
Situasi tersebut membuat MA tidak punya pilihan. IWAS lantas mengajak MA ke sebuah homestay. Pelecehan seksual itu pun terjadi.
Yang cukup mengejutkan, MA ternyata bukan satu-satunya korban IWAS. Ade Latifa Fitri selaku pendamping korban mengonfirmasi, per Selasa (3/12/2024), korban IWAS tercatat ada 13 orang. Ditambah juga pengakuan sejumlah saksi, termasuk dari pemilik homestay.
“Korban-korban lain (selain MA) akhirnya berani memberi keterangan karena pintunya sudah dibuka oleh korban (MA) yang mulai melapor. Sehingga terkumpul keberanian untuk melapor, karena mereka merasa tidak sendiri,” ujar Ade dalam wawancara yang tayang di kanal YouTube Official iNews.
“Mereka ingin pelaku mendapat hukuman seadil-adilnya. Karena bagaimana pun situasi ini membuat aktivitas para korban terganggu. Mereka takut keluar rumah,” sambungnya.
Difabel punya potensi jadi pelaku pelecehan seksual
Mojok lantas menghubungi Nur Syarif Ramadhan (31), Eksekutif Nasional organisasi Formasi Disabilitas Indonesia, yang santer menyuarakan hak-hak difabel.
Sejauh pengalaman Syarif mengawal isu-isu difabel, teman-teman difabel menjadi kelompok yang sangat rentan menjadi korban pelecehan seksual. Namun, di sisi lain, dia tidak menampik bahwa ada juga difabel yang punya potensi menjadi pelaku.
“Kami juga sering mendapati (difabel jadi pelaku pelecehan seksual). Jadi misalnya tidak punya tangan, itu tidak lantas mengindikasikan tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkap Syarif, Selasa (3/12/2024).
Sebab, misalnya dalam kasus difabel tunadaksa tanpa tangan, si difabel masih bisa melakukan aktivitas dengan bagian tubuh yang lain.
Dalam video-vidoe yang kini banyak beredar pun, tampak IWAS masih bisa mengendarai motor menggunakan dua kakinya. Memainkan alat musik pun bisa.
“Dalam kasus pelecehan mahasiswi di Mataram, saya lebih mengedapankan posisi korban. Saya memang tidak menjamin apakah pemuda difabel itu beneran pelaku atau tidak, tapi potensi itu tetap ada. Karena memang ada juga difabel yang memanfaatkan kondisinya untuk hal-hal tidak bertanggung jawab,” sambungnya.
Hambatan tak halangi berbuat pidana
Sarli Zulhendra, advokat dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab) Indonesia memberikan pandangan serupa.
Baginya, difabel tetap punya potensi menjadi pelaku pelecehan seksual. Sebab, dia sendiri sudah beberapa kali mendampingi kasus-kasus difabel yang bahkan menjadi terdakwa dalam kasus pidana. Meski jumlahnya tak lebih banyak dari difabel yang menjadi korban.
“Sigab pernah dampingi difabel tunanetra. Dia didakwa mengonsumsi dan jual beli obat psikoterapika. Bagi sebagian orang, mikirnya kayak nggak mungkin. Orang berpikir, gimana caranya mengidentifikasi (obat-obatan), sementara dia tak bisa melihat,” beber Sarli.
Akan tetapi, hasil penyidikan membuktikan bahwa difabel tunanetra tersebut memang sudah berinteraksi dengan obat-obatan terlarang sejak lama.
“Difabel fisik pun ada, didakwa karena konsumsi narkoba. Kalau yang pelecehan seksual kami pernah dampingi difabel intelektual sebagai terdakwa,” imbuh Sarli.
Polisi harus ekstra hati-hati
Secara umum, difabel terbagi menjadi empat kategori: (1) Difabel fisik (daksa) dengan hambatan mobilitas. (2) Difabel sensorik (tunanetra, tunawicara) dengan hambatan penglihatan dan pendengaran. (3) Difabel intelektual dengan hambatan konsentrasi, adaptasi, dan kognitif. Dan (4) Difabel mental dengan hambatan kejiwaan.
Namun, setiap difabel dengan hambatan yang beragam itu, tetap saja memiliki celah untuk melakukan tindak pidana jika bisa mengatasi keterhambatannya.
Misalnya dalam kasus IWAS yang jadi tersangka pelecehan seksual mahasiswi Mataram. Ruang mobilitasnya memang terbatas karena tidak memiliki dua tangan. Hanya saja, dia masih bisa melakukan aktivitas normal dengan organ-organ tubuh yang lain.
Oleh karena itu, menurut Sarli, Kepolisian harus ekstra hati-hati dalam memproses kasus yang menjerat IWAS (khususunya).
“Karena selain korban yang punya hak untuk dilindungi, orang yang disangkakan juga memiliki hak untuk dilindungi, terlebih difabel,” papar Sarli.
“Saya pikir kita juga perlu memberikan informasi atau edukasi yang luas kepada publik bahwa seorang difabel itu tetap ada kemungkinan dia melakukan suatu tindak pidana, apa pun bentuknya,” lanjutnya.
Tinggal dianlisis dan dipertajam, bagaimana difabel fisik bisa melakukan pelecehan seksual. Itu menjadi PR Kepolisian untuk membuktikan sekaligus menjelaskan kepada publik kalau kasus tak biasa semacam yang menjerat IWAS nyatanya memang benar-benar terjadi.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Beratnya Perempuan Muda Aceh Jadi Saksi KDRT di Rumahnya Sendiri
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News