Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen. Bagi Perludem, langkah ini dapat membuka ruang kompetisi politik yang lebih adil dan inklusif.
***
Awal 2025, MK membuat gebrakan. Lembaga peradilan ini resmi menghapus ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen. Hal tersebut berdasarkan pembacaan keputusan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024, Kamis (2/1/2024).
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, seperti Mojok kutip dari channel Youtube resmi Mahkamah Konstitusi RI.
Presidential threshold sendiri merupakan syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau raihan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik (koalisi) untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Dengan penghapusan ini, bakal calon presiden atau wakil presiden yang akan maju dalam Pilpres 2029 mendatang, tak perlu diusung oleh partai atau koalisi yang punya representasi 20 persen kursi di parlemen.
Memperluas alternatif pilihan bagi rakyat
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyambut baik penghapusan ketentuan presidential threshold ini.
Peneliti Perludem, Annisa Alfath, menilai penghapusan ambang batas dapat memperluas alternatif pilihan bagi rakyat. Ia juga dapat mencegah polarisasi, dan memperkuat prinsip kesetaraan dalam politik.
“Langkah ini diharapkan tidak hanya memperkuat prinsip kesetaraan. Tetapi juga membuka ruang kompetisi politik yang lebih adil dan inklusif, menghindarkan masyarakat dari polarisasi. Serta memperluas alternatif pilihan bagi rakyat Indonesia,” kata Alfath, dalam keterangan tertulisnya kepada Mojok, Jumat (3/1/2024).
Selain itu, alumnus UGM ini menegaskan bahwa pihaknya juga mendorong pembentuk undang-undang untuk memasukkan ketentuan penghapusan presidential threshold ke dalam revisi UU Pemilu.
Proses revisi tersebut harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat luas untuk memastikan implementasi yang adil dan efektif.
“Penyusunan revisi UU Pemilu harus melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu. Termasuk partai-partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR,” imbuhnya.
Wujudkan pemilu yang lebih adil dan inklusif
Selain memastikan hak politik warga negara untuk memilih dan dipilih, penghapusan presidential threshold juga mampu mengurangi dominasi partai besar dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.
Menurut Alfath, langkah tersebut merupakan wujud nyata dari semangat demokrasi yang inklusif. Yang mana, setiap partai politik memiliki hak setara dalam proses pencalonan.
“Keputusan MK ini adalah awal dari perjuangan untuk menciptakan sistem politik yang lebih sehat, kompetitif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat,” ujar peneliti Perludem ini.
Meski demikian, upaya baik ini tak boleh berhenti di sini. Melalui Perludem, Alfath mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal implementasi putusan MK ini.
Dia juga mendorong pemerintah dan partai politik untuk berkomitmen menciptakan sistem politik yang menjunjung tinggi hak memilih dan dipilih sebagai wujud kedaulatan rakyat.
Alasan MK menghapus presidential threshold
Mahkamah Konstitusi sendiri memiliki beberapa pertimbangan mengapa pada akhirnya menghapus presidential threshold. Padahal, selama sedekade terakhir, kebijakan tersebut sudah 36 kali diuji materikan ke MK dan selalu mentok.
MK sendiri menyebut, presidential threshold dihapus karena bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Hakim MK Saldi Isra, yang membacakan pertimbangan, mengatakan pasal 222 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 telah melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan intolerable secara nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945.
“Sehingga terdapat alasan yang kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya,” ucap Saldi Isra.
Dalam hal ini, menurut Saldi Isra, dalil para pemohon terkait threshold pengusulan calon presiden dan wakil presiden, pada pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 juga tidak memiliki kekuatan hukum secara mengikat.
Selain itu, MK juga beralasan presidential threshold dihapus karena Indonesia merupakan negara yang menganut sistem presidensiil dalam bentuk multipartai. Baginya, berapapun besar angka persentase threshold, bertentangan dengan pasal 6A ayat 2 UUD NRI tahun 1945.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Keluarga Berkuasa: Betapa Ngerinya Warisan Dinasti Politik Jokowi di Tingkat Daerah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan