18 Pertanyaan untuk Silampukau

18 Pertanyaan untuk Silampukau puthut ea mojok.co

Saya bukanlah orang yang terbiasa hidup dengan musik. Selera musik saya boleh dibilang biasa saja. Dengan begitu, wajar jika saya tidak begitu mengikuti perkembangan musik di Indonesia apalagi dunia. Tapi, posisi seperti itu bisa dibaca dengan cara terbalik. Misalnya, jika tidak ada lagu yang benar-benar menarik hati, saya tidak akan berusaha mendengarkannya.

Kalau kebetulan ada lagu bagus yang secara tidak sengaja saya dengar di radio waktu sedang menyetir mobil di saat santai sendirian, lalu ada lagu yang menarik hati dan saya tidak tahu, saya biasanya bertanya kepada salah satu orang yang saya anggap mengerti dan mengikuti dunia musik. 

Namanya Nuran Wibisono. Terkenal banget orang itu sebagai penulis dan jurnalis musik. Saya memberi penekanan pada “menyetir mobil di saat santai sendirian” karena kalau sedang naik mobil rame-rame, entah dengan keluarga atau teman, saya tidak terbiasa mendengarkan lagu. Saya tipikal orang yang lebih senang ngobrol di perjalanan dibanding mendengarkan lagu. Bahkan, dalam ritual menulis pun, saya termasuk kategori penulis yang tidak terbiasa menulis sambil mendengarkan lagu.

Saya mendengar kali pertama ada grup musik bernama Silampukau ketika beberapa tahun lalu ada acara di komunitas saya, dan hampir semua anggota komunitas meminta untuk mengundang Silampukau di penutupan acara tersebut. Saya mengiyakan saja. Toh, suara terbanyak berhak mendapatkan tempat.

Ketika pertunjukan berlangsung, di sebuah daerah dingin di Pasuruan, Jawa Timur, saya benar-benar terkesima dengan penampilan mereka. Alat musik mereka sederhana tapi memikat. Lagunya langsung enak dinikmati. Syairnya kuat sekali. 

Bahkan mertua laki-laki saya yang saat itu ikut, yang kebetulan selera musiknya memang bagus, berbisik kepada saya: “Mas, grup ini hebat banget. Bisa jadi grup musik besar ini. Mereka punya semua modal yang dimiliki untuk menjadi besar.” Ya, kira-kira begitulah yang saya ingat. Maklum itu sekira tujuh tahun lalu. Kalaupun toh ada yang saya tambah-tambahi, tentu dengan maksud yang baik. 

Di malam itu pula saya membeli CD dan kaos Silampukau. Kaosnya saya bawa pergi, karena setelah acara itu saya mesti menyelesaikan pekerjaan di kota lain, sementara CD-nya saya titipkan ke istri saya untuk dibawa pulang. Dua minggu kemudian ketika saya pulang, Kali, anak saya yang saat itu hampir berusia 3 tahun, sudah hafal hampir semua lagu Silampukau. Saya membatin, kalau Kali saja bisa menikmati, berarti memang lagu-lagu Silampukau mudah dinikmati banyak jenis telinga.

Saya akhirnya akrab dengan lagu-lagu Silampukau itu, dari album Dosa, Kota, & Kenangan yang dirilis pada 2015. Di kemudian hari saya berkesempatan makin mengenal duo musisi Silampukau, Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening, saat melakukan semacam ekspedisi kecil susur Pantura, ditambah pergi ke Madura bersama. Hampir sebulan bersama mereka, membuat saya makin mengenal mereka bukan sebagai musisi saja, melainkan sebagai manusia. 

Beberapa hari lalu, Kharis memberi kabar via WhatsApp bahwa Silampukau akan merilis single baru. Dia bilang di akhir pesannya, “Tapi saya penasaran banget sama pendapat Mas Puthut. Kalau mau, saya kirimin preview-nya.”

Kharis Junandharu, musisi Silampukau, penggemar karya-karya sastra Afrizal Malna. Foto oleh Puthut EA/Mojok.co
 Kharis Junandharu, musisi Silampukau, penggemar karya-karya sastra Afrizal Malna. Foto oleh Puthut EA untuk Mojok.co.

Busyet. Saya, yang berselera musik pas-pasan, dipercaya mendengarkan preview single Silampukau? Saya yakin Kharis cuma bercanda. Tapi dia memang betulan mengirimkan preview single Silampukau berjudul Dendang Sangsi. Dan lagi-lagi, saya terentak dengan lagu mereka. Saya sangat menikmati lagu itu. Asyik banget. Kalau tidak percaya, dengarkan saja Spotify maupun YouTube.

Akhirnya, saya mengajukan wawancara resmi. Untung Kharis dan Eki bersedia. Bisa saja mereka menolak. Sayang sekali, karena pandemi, saya tidak bisa pergi ke Surabaya. Wawancara terpaksa saya ajukan dengan format tanya-jawab model jarak-jauh, lewat teks. Format wawancara yang paling tidak saya sukai. Tapi mau bagaimana lagi? Ini sedang pandemi!

Berikut antologi tanya-jawab saya lewat teks kepada Kharis dan Eki….

Di saat pandemi seperti ini, kegiatan apa yang paling sering kalian lakukan?

Kharis: Cuci tangan.

Eki: Cuci tangan.

Saya membatin, jancuuuk, kalau itu sih juga paling sering dilakukan semua orang!

Apa yang paling menyiksa kalian di saat pandemi?

Kharis: Melihat saldo.

Eki: Tagihan.

Kesimpulan saya: Mungkin Kharis belum punya cicilan yang harus dibayar.

Jika pandemi ini berakhir, hal pertama apa yang ingin kalian lakukan?

Kharis: Potong rambut.

Eki: Pijat refleksi.

Kesimpulan saya: Berarti mereka berdua sangat patuh protokol kesehatan, karena bahkan potong rambut dan pijat refleksi saja belum berani. Saya sendiri sudah beberapa kali potong rambut dan memakai jasa pijat.

Kita pernah bersama menyusuri secuil Pantura dan Madura, lebih dari dua tahun lalu. Kota mana yang paling menarik buat kalian, dan kenapa?

Kharis: Sumenep, saat mendengarkan Kiai Faizi main Metallica setelah makan malam.

Eki: Sumenep, merasa menjadi santri sesaat.

Catatan saya: Saat kami ke Madura memang menginap semalam di Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Di sana kami dijamu oleh seorang kiai nyentrik bernama M. Faizi. Saya pernah menuliskan wawancara saya dengan beliau di sini.

Ini pertanyaan agak lazim, tapi nggak apa-apa sesekali aku bertanya yang lazim: band atau siapa musisi yang kalian inginkan main sepanggung dengan Silampukau?

Kharis: Meggy Z.

Eki: Rhoma Irama.

Ini sungguh di luar dugaan saya….

Menurut kalian, kesebelasan negara mana yg bakal menjuarai Piala Eropa yang sedang dihelat?

Kharis: Belgia.

Eki: Italia.

Dari jawaban tersebut, saya tahu bahwa kesebelasan jagoan saya sama dengan jagoan Eki. Saya menduga, Kharis akan menjawab Prancis. Ternyata tidak.

Menurut kalian, arak paling enak diminum tanpa campuran atau dengan campuran. Kalau dengan campuran, apa campurannya?

Kharis: Polosan asyik, dibikin mojito juga asyik.

Eki: Polosan lebih syahdu….

Saya mau bilang, “Kharis, arak jika dibikin mojito punya potensi mbendhel mburi, alias pusingnya nggak ketulungan.”

Menurut kalian, pengalaman manggung yang paling asyik di acara apa, kapan, dan kenapa?

Kharis: Taipei, 2019 kalau tidak salah, karena itu kota terjauh dan paling tidak disangka.

Eki: Di Taiwan, tahun 2018, bermain dengan visual background terjemahan lirik Silampukau ke bahasa Mandarin.

Komentar saya dalam hati, dua orang ini kemungkinan menyebut konser yang sama tapi dengan ingatan tahun yang berbeda. Oke.

Kharis dan Eki Menatap laut dan langit lepas di Madura. Mereka menggemari jalan-jalan menikmati udara segar. Foto milik Puthut EA untuk Mojok.co, diambil sebelum pandemi.

Lagu-lagu Silampukau berkisah banyak tentang Surabaya. Menurut kalian, apa sih Surabaya itu? Apa maknanya buat kalian?

Kharis: Rumah untuk pulang (numpang promosi).

Eki: Kota niaga.

Catatan: Salah satu lagu Silampukau berjudul “Lagu Rantau (Sambat Omah) memuat frasa “rumah untuk pulang”. Di lagu itu pula, ada satu kalimat yang membuat saya sebagai seorang penulis merasa cemburu dengan kemampuan Kharis dalam menulis lirik lagu karena ada kalimat: “Rindu menciptakan kampung halaman tanpa alasan.”

Kalau terpaksa pindah dari Surabaya, kalian memilih mukim di kota mana?

Kharis: Di mana saja di Pasifik.

Eki: Bebas, asal yang dingin.

Catatan: Kharis dan Eki, menurut amatan saya yang, mohon maaf, bukan kategori ahli musik, punya dua karakter vokal yang berbeda dan saling melengkapi. Bahkan kadang saya melihat, Eki sering seperti bapak bagi sosok Kharis. 

Kharis cenderung agak meledak-ledak, seperti halnya para seniman yang selalu bunting oleh kreativitas. Dalam situasi yang seolah seperti dalam-proses-akan-melahirkan. Sedangkan Eki lebih kalem, terkontrol. Dari pilihan di atas, jelas keduanya berbeda. Kharis lebih suka cuaca panas, tropis, pantai. Sedangkan Eki seperti seorang pendekar yang membaca kitab spiritual dan latihan jurus-jurus lembut, maka dia memilih daerah dingin, mungkin lebih tepatnya di lereng sebuah gunung.

Dalam pernyataan bermusik Silampukau, bahwa di sana dinyatakan kalian berkreasi dengan “instrumen akustik seadanya”? Kenapa “seadanya”? Kenapa tidak yang proper dan “diada-adakan”?

Kharis: Sebetulnya biar tidak membatasi eksplorasi saja. Siapa tahu pas mau menyanyi nggak ada gitar, bisa klothekan. Siapa tahu ada gergaji, bisa digesek.

Eki: Nerimo ing pandum, arek-e. (Terjemahan bebasnya dalam konteks ini kira-kira: Kami tipikal orang yang menerima apa pun keadaan kami.)

Dalam soal ini, saya tidak berkomentar. Bingung juga mau mengomentari apa. Tidak semua hal bisa dikomentari. Tapi bisa jadi tidak berkomentar adalah komentar itu sendiri. Modar, koen….

Di single terbaru, Silampukau memilih memainkan musik dangdut. Kenapa pilihannya dangdut?

Kharis: Saya cuma manut Eki.

Eki: Sambat sambil joget lebih enak kayaknya….

Saya agak berpikir dalam hal ini, tumben Kharis ngikut Eki? Benarkah ini ide Eki? Tapi saya tidak mau menggali jawaban ini. Sebab sudah terlalu banyak galian persoalan dalam hidup saya.

Sebagaimana lagu-lagu lain, lirik Silampukau menjadi magnet. Dan di single terbaru ini, kayaknya kalian kesal sekali dengan penyelenggara negara. Kenapa?

Kharis: Karena mem-follow akun Twitternya Mas Puthut.

Eki: Maaf kalau terkesan kesal, kami nggak sengaja.

Komentar saya lagi-lagi dalam hati: Saya juga menyesal mengajukan pertanyaan ini, jenis pertanyaan yang saya tahu tidak akan dapat jawaban memadai….

Kalau kalian jadi wali kota Surabaya, apa yang akan kalian lakukan untuk membuat warganya lebih bahagia?

Kharis: Mundur, pasti warga lebih bahagia.

Eki: Wah, angel….

Saya bukan warga Surabaya, jadi tidak pas mengomentari hal ini. Nanti ditanya: Kamu KTP mana?

(Ini khusus untuk Kharis) Setahuku kamu suka karya-karya Afrizal Malna. Kenapa?

Kharis: Bagi saya pribadi, karya Afrizal unik, meruntuhkan pakem lama, secara radikal mempertanyakan bahasa, dan selalu menolak untuk menjadi pakem baru.

Catatan: Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Kharis ini sarjana Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Saya pernah membaca esai-esai sastranya, dari sana saya tahu pengetahuan sastranya luar biasa. Dia juga pernah menulis beberapa cerita pendek. Saya termasuk ingin sekali menerbitkan cerita-cerita Kharis, tapi dia tidak mau. Entah kenapa.

Mungkin baginya, karya sastranya lebih baik tertimbun di lipatan kecil otak segelintir kawannya. O ya, Kharis juga pernah menjadi sutradara teater. Hal yang sungguh tidak pernah saya duga. Mungkin sebentar lagi, kalau terus diasah, dia bisa jadi kandidat kuat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Eki Tresnowening, seorang penggemar mobil tua. Foto oleh Puthut EA untuk Mojok.co.

(Ini khusus untuk Eki) Kamu suka mobil tua, apa mobil tua impianmu? Kenapa?

Eki: Sekarang saya nggak suka, Mas. Mending dilempit.

Catatan: Eki seorang pebisnis. Setahu saya dia punya bisnis dengan istrinya di bidang kerajinan tangan. Mungkin dalam situasi seperti ini, baik dunia musik maupun industri kerajinan tangan sedang tidak baik-baik saja. Dilempit alias lebih baik dijadikan uang saja adalah strategi keuangan yang jitu dalam menghadapi pandemi.

Jika suatu sore kamu sedang asyik menyendiri di sebuah kafe di pinggir Kali Mas, tiba-tiba Ahmad Dhani duduk di sampingmu, apa hal pertama yang kalian lakukan?

Kharis: Meminta maaf, memohon untuk jangan pulang dulu, lari ke rumah, dan buru-buru balik secepatnya ke tempat semula untuk meminta tanda tangan di kaset Ideologi Sikap Otak milik saya, dan kemudian kecewa karena rumah saya jauh, dan pasti beliau sudah pergi dari sana waktu saya kembali.

Eki: Disapa dong….

Catatan: Ideologi Sikap Otak adalah album Ahmad Band. Di situ tentu saja ada Ahmad Dhani. Album tersebut dirilis pada tahun Reformasi 1998. Di album itu setidaknya ada satu lagu yang sangat tenar: “Aku Cinta Kau dan Dia”. Lagu lain, “Distorsi”, masuk dalam daftar 150 Lagu Indonesia Terbaik versi majalah Rolling Stone.  

Jika suatu hari, saat berkunjung ke Surabaya, Presiden Jokowi mengundang Silampukau untuk memainkan dua lagu, lagu apa yang kalian mainkan?

Kharis: Lho, ya manut request-nya saja.

Eki: Manut Kharis.

Saya no comment. Nanti diserbu buzzer.

Begitulah wawancara saya dengan Kharis dan Eki. Sebetulnya, ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada mereka, tapi urung saya sampaikan. Sebaiknya saya sampaikan di sini. Bahwa sebetulnya saya ingin sekali menjadi produser album Silampukau selanjutnya. Cuma masalahnya: Pertama, saya tidak tahu apa tugas produser. Kedua, saya tidak punya uang banyak. Ketiga, saya sudah cukup sibuk, sehingga kalau misalnya jadi produser, saya takut makin tidak punya waktu untuk keluarga. Keempat, ini yang paling penting, sebetulnya mereka tidak mau, tapi karena tidak enak, jadinya tidak dijawab. Hahaha!

BACA JUGA Backstreet, Jumatan, dan Petugas Kelurahan: 3 Kisah Cinta Beda Agama dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version