Mengenal Patrimonialisme: Racun Demokrasi, Teman Dekat Dinasti Politik

patrimonialisme demokrasi

Ilustrasi budaya patrimonialisme dalam politik (Mojok.co)

MOJOK.CO – Patrimonialisme merupakan racun dalam politik. Ia seringkali dianggap wajar, lumrah, sehingga tidak sedikit politisi yang melanggengkannya. Padahal, ia bisa mengikis demokrasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “patrimonial” diartikan sebagai “segala sesuatu mengenai warisan bapak”. Dengan demikian, istilah ini menekankan kultus bapak sebagai corak utama dalam melihat status sosial seseorang.

Dalam ilmu politik, patrimonialisme dianggap sebagai bentuk kepemimpinan otoritarian, diktator, di mana negara dijalankan sesuai kehendak pribadi pemimpin negara.

Seperti ditulis Robert Michels dalam bukunya Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis Dalam Birokrasi (1984), dalam politik patrimonialisme, “pemimpin negara memosisikan diri di atas hukum dan hanya mendistribusikan kekuasaan kepada kerabat dan kroni dekatnya”.

Lebih lanjut, para pemimpin politik patrimonialisme seringkali menggunakan kekerasan guna mempertahankan posisi kepemimpinannya.

Secara umum, di dua babak awal republik ini, Indonesia pernah tergelincir pada politik patrimonial yang berujung pada kediktatoran. Pertama, Soekarno yang menjadi diktator sipil melalui jabatan presiden seumur hidupnya, dan kedua, Soeharto yang menjadi diktator militer selama 32 tahun. Di akhir masing-masing babak, kita berkubang darah karena konflik horizontal.

Lebih jauh, Michels juga menjelaskan bahwa pemerintahan patrimonial bersandarkan diri pada tiga unsur yang membuatnya jadi pemerintahan tradisional dan belum mencapai tahap birokratis dan modern.

Adapun, unsur-unsur budaya patrimonialisme antara lain:

#1 Klientisme

Istilah ini merujuk pada hubungan kekuasaan yang dibangun oleh penguasa dan lingkungan sekitarnya. Dalam birokrasi modern, pusat loyalitas terletak ada pada impersonal order (hukum). Namun, dalam klientisme, loyalitas ada pada pribadi penguasa.

#2 Kaburnya wilayah publik

Dalam birokrasi modern, wilayah publik (res publica) dan pribadi (res privata) sangat terpisah. Segala urusan sang pemimpin, di luar urusan rumah tangga pribadi, ada dalam wilayah publik. Karena berada di wilayah publik, urusan itu harus melalui prosedur yang sudah ditetapkan, dan pertanggungjawabannya pun mesti transparan.

Sementara dalam pemerintah patrimonial, batas wilayah publik dan pribadi dibuat kabur. Bantuan uang, misalnya, yang seharusnya berada dalam wilayah publik, dimasukkan ke wilayah pribadi, tanpa keterbukaan dan tanpa pertanggungjawaban. Praktik ini sering terjadi di masa Orde Baru.

#3 Kultural-Nonrasional

Birokrasi modern berkembang dalam kultur yang rasional, yang sumber informasi dan validitasnya dapat diverifikasi dalam dunia nyata. Sedangkan corak pemerintahan patrimonial mengembangkan kultur nonrasional, dalam segala bentuk mistisisme ataupun kultus individual.

Dalam birokrasi modern, sang penguasa ditampilkan sebagai politisi biasa yang menang pemilu. Sedangkan dalam corak patrimonial, penguasa diberi bobot mistik yang lebih kuat. Ia digambarkan memiliki kekuatan supernatural tertentu, atau keturunan sebuah dinasti atau moyang yang mahasakti.

Dengan mistisisme itu, loyalitas kepada pemimpin menjadi lebih dalam. Bahkan, informasi yang menjadi landasan kebijakan publiknya sebagian dianggap turun dari kahyangan, yang tak dapat diverifikasi di dunia nyata.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Jokowi Adalah Simbol Paradoks Demokrasi

Exit mobile version