Mengenal Istilah ‘Pencabutan Hak Politik’, Hukuman yang Diberikan pada Anas Urbaningrum

pencabutan hak politik anas urbaningrummojok.co

Ilustrasi mantan tahanan korupsi (Mojok.co)

MOJOK.COAnas Urbaningrum telah bebas dari penjara. Namun hak politiknya dicabut selama 5 tahun. Lantas apa sih yang dimaksud dengan pencabutan hak politik ini? 

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, akhirnya menghirup udara segar. Ia bebas dari penjara Sukamiskin, Jawa Barat pada Selasa (11/4/2023) lalu, setelah menjalani hukuman delapan tahun penjara atas kasus korupsi.

Anas sendiri divonis bersalah dalam kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang 2010-2012.

Meski bebas, Anas masih harus menerima hukuman pidana lain berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik. Hukuman itu ia terima selama lima tahun, terhitung sejak selesai menjalani pidana pokok.

Pencabutan hak untuk dipilih dari jabatan publik selama lima itu merupakan hukuman pidana tambahan bagi Anas usai Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Anas pada 2020 lalu.

Di tingkat PK, Anas dijatuhi hukuman selama delapan tahun penjara ditambah denda dan hak politiknya dicabut.

Dasar hukum

Pencabutan hak tertentu, seperti mencabut hak politik, bukan tanpa dasar. Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)—yang menjadi dasar hukum penitensier Indonesia—telah menentukan dua jenis hukuman dalam pidana: hukuman pokok dan hukuman tambahan.

Hukuman pokok, bisa berupa hukuman mati, penjara, kurungan, dan denda. Sementara hukuman tambahan, dapat berupa pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Menurut R. Soesilo dalam buku KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (1994) yang dikutip Hukumonline, menulis bahwa hukuman tambahan berguna untuk menambah hukuman pokok. Jadi, hukuman tambahan tidak mungkin dijatuhkan sendirian atau terpisah dari hukuman pokok.

Sementara hukuman tambahan pencabutan hak politik sendiri diatur dalam Pasal 35 ayat 1 KUHP. Dalam pasal ini disebutkan bahwa “hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum”.

Dengan demikian, basis hukum bagi hakim dalam memutuskan pencabutan hak politik telah sah karena ada dasar hukum setara dengan undang-undang, yaitu KUHP.

Bagaimana kalau sudah dicabut?

Kepada CNN Indonesia, pakar hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menjelaskan bahwa dalam konteks Anas Urbaningrum, mantan ketum Partai Demokrat itu bisa menjadi pengurus partai politik meski dicabut hak politiknya selama lima tahun.

Menurut Huda, hukuman pidana tambahan itu, sekadar mencabut hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Ia pun menilai tak ada persoalan ketika narapidana bergabung sebagai pengurus parpol, meski hak memilih dan dipilihnya telah dicabut.

“Pencabutan hak politik itu hanya pencabutan hak memilih dan dipilih. Kalau jadi pengurus parpol tak masalah. Tapi bukan halangan dia jadi pengurus partai,” kata Huda, dikutip Jumat (14/4/2023).

Hal senada juga disampaikan peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Ia menilai, diktum putusan MA hanya tak memperbolehkan Anas untuk mengisi jabatan publik yang dipilih langsung oleh rakyat selama lima tahun.

“Jadi secara normatif, hak politik dimaknai sebagai jabatan-jabatan publik yang dipilih langsung oleh rakyat (official elected),” ujarnya.

Herdiansyah menganggap norma dalam putusan MA soal pencabutan hak politik Anas tidak eksplisit melarang aktivitas dalam partai politik. Meski demikian, ia menilai mantan terpidana yang hak politiknya dicabut tidak diberikan posisi strategis dalam partai lantaran terkait secara etika politik.

“Cukup sebagai simpatisan. Ini untuk menjaga moralitas publik,” pungkas Herdiansyah.

Politisi yang dicabut hak politiknya

Di Indonesia terdapat daftar panjang terpidana kasus korupsi yang dicabut hak politiknya. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 lalu merinci hak politik 26 koruptor sudah dicabut demi mencegah praktek korupsi selanjutnya.

Mereka antara lain mantan Ketua DPR Setya Novanto selama lima tahun, Bupati nonaktif Kutai Kartanegara Rita Widyasari selama lima tahun, Wali Kota nonaktif Kendari Adriatma Dwi Putra dan mantan Wali Kota Kendari Asrun selama dua tahun.

Kemudian mantan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Fayakhun Andriadi selama lima tahun, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam selama lima tahun, hingga mantan Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif selama tiga tahun.

Terbaru, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dijatuhi vonis tambahan pencabutan hak politik selama dua tahun. Kemudian, terdapat nama mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang dicabut hak politiknya selama 4 tahun. Nama mantan Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin juga dicabut hak politiknya selama lima tahun.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Anas Urbaningrum Bebas: Masih Dielu-elukan, Ancaman Demokrat, dan Bisa Ubah Peta Pencapresan

Exit mobile version