MOJOK.CO – Pemilihan presiden beberapa tahun lalu masih menyisakan polarisasi di tengah masyarakat. Survei yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) melihat, polarisasi masih terjadi baik di ranah daring maupun di tengah masyarakat.
Laboratorium Psikologi Politik UI menggelar survei berjudul “Polarisasi Politik di Indonesia: Mitos atau Fakta” pada 6 Februari hingga 28 Februari 2023. Survei dilakukan untuk mengetahui sisa-sisa polarisasi Pilpres 2019 di tengah masyarakat saat ini. Setidaknya, 1.190 responden berusia 17 tahun ke atas yang berasal dari 33 provinsi di Indonesia terlibat dalam survei ini.
Hasilnya, polarisasi nyata terjadi di tengah masyarakat, bukan mitos ataupun angin lalu yang bisa dilewatkan begitu saja. Dalam paparannya, Guru Besar Psikologi Politik UI Hamdi Muluk menjelaskan masyarakat terpolarisasi menjadi dua kelompok.
“Hasil survei menunjukkan masyarakat terpolarisasi menjadi 2 kelompok dengan ukuran proporsional yakni kluster 1 sebesar 57% versus kluster 2 sebesar 43%,” kata Hamdi saat pemaparan survei, Minggu (19/3) seperti dikutip dari Media Indonesia, Senin (27/3/2023).
Kubu pro versus anti-pemerintah
Kluster satu merupakan kelompok pro-pemerintah. Kelompok ini pro-Jokowi dan relatif sekuler ke arah moderat. Kluster satu relatif puas terhadap kinerja pemerintah dan tidak berprasangka terhadap kekuatan ekonomi asing. Sementara kluster kedua adalah kelompok yang tidak berpihak pada pemerintah. Kelompok ini berideologi politik dimensi keagamaan. Mereka meyakini pemimpin harus seiman atau seagama, kebijakan publik berlandaskan agama, hingga sanksi punitif terhadap penista agama. Perda syariah juga mendapat endorsement yang tinggi dari kelompok ini. Berkebalikan dengan kluster satu, kluster dua ini merasa tidak puas terhadap kebijakan dan hasil pemerintah.
Lebih lanjut Hamdi menjelaskan, ada indikasi kedua kluster ini cenderung mengembangkan emosi negatif terhadap kelompok-kelompok yang tidak sealiran dengan mereka. Namun, hal itu tidak berujung pada perilaku sosial yang bercorak kekerasan atau perilaku segregasi sosial yang serius.
“Namun tentu kehati-hatian tetap diperlukan supaya implikasi tidak berkembang ke arah yang lebih serius,” imbuh dia.
Peneliti Senior di Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam menjelaskan, walau di tingkat elite sudah terjadi rekonsiliasi, polarisasi memang masih terjadi di tingkat bawah. Oleh karenanya, hasil survei dari Laboratorium Psikologi UI ini bisa menjadi peringatan bagi semua pihak yang terlibat di pemilu mendatang agar tidak menggunakan cara-cara yang memperuncing polarisasi.
Salah satu cara untuk meminimalisir polarisasi adalah program yang ditawarkan ke masyarakat harus lebih banyak dibicarakan. Jangan melulu fokus pada kandidat. Apabila fokusnya pada sosok personal, maka yang timbul kemudian adalah suka dan tidak suka.
“Pemilu ini harus kita dorong untuk menjadi pemilu programatik dan pemilu berintegritas dalam rangka salah satunya untuk mereduksi polarisasi,” imbuh Surokim seperti dikutip dari Liputan6.
“Untuk apa kita menyelenggarakan pemilu mahal-mahal kalau kemudian hasilnya justru memicu konflik dan polarisasi yang kemudian bisa membahayakan keutuhan negara,” imbuhnya.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Amanatia Junda