Indeks Ketimpangan Gender di Indonesia Tinggi, Khususnya dalam Politik, Apa Faktornya?

indeks ketimpangan gender mojok.co

Ilustrasi ketimpangan gender (Mojok.co)

MOJOK.CO – Indeks Ketimpangan Gender di Indonesia masih cenderung tinggi, terutama yang paling buruk adalah di bidang politik. Lantas, apa saja yang menjadi faktor penyebabnya?

Pertengahan tahun lalu, World Economic Forum (WEF) merilis Global Gender Gap Report 2022. Laporan ini mengkaji ketimpangan gender di empat bidang, yakni pemberdayaan politik, partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, serta kesehatan dan kelangsungan hidup.

Indeks ketimpangan gender WEF sendiri memiliki sistem skor dengan rentang skala 0-1. Skor “0” berarti menunjukkan ketimpangan gender yang sangat lebar, dan skor “1” menunjukkan tercapainya kesetaraan penuh.

Dalam laporan WEF tahun 2022, secara umum Indonesia mendapat skor indeks ketimpangan gender 0,697 dan berada di peringkat ke-92 dari 146 negara. Kendati meningkat sebanyak 0,009 dari 0,688 pada 2021, angka ini masih sangat rendah.

Laporan tersebut juga memaparkan, jika merinci elemen pembentuk indeksnya, skor Indonesia terbebani oleh indeks pemberdayaan perempuan di bidang politik yang sangat rendah, yakni 0,169 atau di bawah rata-rata global.

Hal ini pun menunjukkan bahwa dalam dunia politik, masih ada gap yang lebar antara laki-laki dan perempuan di dalamnya. Lantas, faktor apa yang menjadi penyebabnya?

Tidak serius dalam pengarusutamaan gender

Salah satu faktor yang bikin ketimpangan gender tinggi di Indonesia adalah tidak seriusnya agenda pengarusutamaan gender. Sebenarnya, sejak tahun 2013 pemerintah telah meluncurkan strategi untuk mengadopsi penganggaran responsif gender.

Namun, temuan peneliti Woman and Children Research Center, Antik Bintari menunjukkan bahwa implementasinya kacau balau. Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa selain tidak adanya angka yang jelas mengenai pembiayaan program, implementasinya pun juga tidak serius.

Ia mencontohkan Filipina, sebagai negara tetangga yang sukses dengan program ini. Di sana anggaran jelas, dengan mewajibkan semua lembaga nasional menyisihkan 5 persen dari alokasi dana mereka untuk program pengarusutamaan gender dan pembangunan. Ini yang tidak ditemui di Indonesia.

Alhasil, pada 2022 Filipina menempati posisi puncak sebagai negara dengan kesetaraan gender terbaik di Asia Tenggara dengan indeks 0,783. Selama bertahun-tahun, Filipina konsisten di angka ini.

Lebih lanjut, dalam implementasinya, program pengarusutamaan gender di Indonesia juga masih dinilai “kurang relevan”. Hal ini mengingat sebagian besar program hanya diselaraskan dengan pemerintah atau lembaga yang berfokus pada urusan pemberdayaan perempuan saja, bukan semua instansi.

“Hal ini hanya memperkuat pemahaman yang sudah ketinggalan zaman bahwa isu-isu gender bukanlah arus utama (mainstream) dan tidak melintasi semua sektor [terutama politik],” papar dosen Universitas Padjadjaran tersebut.

Perempuan masih diobjektivikasi dalam politik

Masalah lain yang tak kalah penting, khususnya di bidang politik, adalah menempatkan perempuan sekadar objek. Hasilnya, banyak politisi perempuan pada akhirnya mendapat serangan-serangan seperti seksisme atau diskriminasi politik hanya karena identitasnya sebagai perempuan.

Menurut peneliti UIN Sunan Kalijaga, Siti Nurul Hidayah, hal tersebut menjadi preseden buruk bagi hak-hak perempuan dalam dunia politik. Ini diperparah dengan fakta bahwa budaya patriarki juga masih kental di dunia perpolitikan Indonesia.

“Pelecehan terhadap perempuan di ranah politik praktis, merupakan ekses dari kuatnya kultur patriarki yang melanggengkan ketimpangan gender di masyarakat,” tulis Siti dalam kolomnya di Detik, dikutip Rabu (4/1/2023)

“Kultur patriarki juga memiliki tendensi untuk menjadikan perempuan sebagai objek kekuasaan laki-laki dan tidak memberikan hak otonom bagi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan publik,” sambungnya.

Lebih lanjut, Siti juga memaparkan bahwa pelabelan negatif sebagai makhluk lemah (dependen), irasional, dan lebih mengedepankan perasaan ketika mengambil keputusan, telah menjadi senjata utama untuk membatasi keterlibatan perempuan dalam ranah politik praktis.

Sialnya, anggapan-anggapan yang demikian tumbuh subur di parpol-parpol, yang pada gilirannya menghambat keterlibatan perempuan dalam politik. Alih-alih dilihat kompetensinya, keterlibatan perempuan dalam politik seringkali dipandang sekadar sebagai pemanis saja.

“Dari sini, kita belajar bagaimana demokrasi elektoral kita belum beranjak dari strategi politik kotor, yang tidak jauh dari nalar kebencian dan perendahan terhadap lawan politik [utamanya perempuan],” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Sistem Proporsional Tertutup Coblos Partai Rugikan Politisi Perempuan

Exit mobile version