Bagaimana Agama dan Budaya Memandang Pekerja Rumah Tangga?

sampul buku jalan sunyi PRT

Sampul buku "Jalan Sunyi Pekerja Rumah Tangga" yang terbit pada Desember 2022 lalu (Inez Kriya-Komnas Perempuan).

MOJOK.CO – Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah kelompok yang rentan. Pekerjaan yang didominasi oleh perempuan itu kerap mengalami ketidakadilan gender, diskriminasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan seksual.

Dibanding negara-negara di Asia, Indonesia termasuk ke dalam negara yang paling banyak memiliki PRT. Pada 2015 menunjukkan Indonesia memiliki 4,2 juta PRT yang bekerja di dalam negeri. Dari jumlah tersebut, sebanyak 84 persen adalah perempuan. Angka itu kemungkinan besar bertambah mengingat hantaman pandemi membuat semakin banyak masyarakat yang bekerja di sektor informal.

Sayangnya, jutaan angka itu kerap kali dianggap sepele. PRT belum diakui sebagai pekerjaan atau profesi karena identik dengan kerja-kerja domestik. Pekerjaan semacam itu banyak dianggap sebagai kerja alamiah sehingga tidak perlu diupah layak. Kondisi yang tidak dianggap ini kemudian langgeng di tengah keluarga, masyarakat, dan aturan-aturan sistematis. Akibatnya, banyak muncul kasus pelanggaran pemenuhan hak terhadap PRT.

Tidak seriusnya negara dalam melindungi PRT tercermin dari lambatnya pengesahan RUU Perlindungan PRT (RUU PPRT) yang saat ini sudah mandek selama 19 tahun. Padahal kalau ditilik kembali, peran PRT banyak berkontribusi untuk kesejahteraan keluarga, kehidupan sosial, bahkan ekonomi negara.

Peluncuran Buku

Pentingnya peran PRT dan krusialnya perlindungan terhadap PRT mendorong Komnas Perempuan menerbitkan buku berjudul Jalan Sunyi Pekerja Rumah Tangga: Perspektif Agama dan Sosial Budaya.

Buku setebal 116 halaman yang ditulis oleh tujuh penulis lintas agama, budaya, dan latar belakang itu berupaya memotret situasi sosial budaya masyarakat dalam memperlakukan PRT.

Selain itu, buku yang rilis Desember 2022 itu juga berusaha memotret kentalnya kultur keagamaan dalam memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap PRT. Ini terlihat dari adanya eksplorasi teks-teks suci yang menunjukkan bahwa profesi PRT merupakan pekerjaan yang diakui dan dilindungi.

Dalam tulisan Kristen Yuliana M Benu misalnya, ia berupaya merefleksikan ketertindasan budak perempuan (PRT) melalui cerita Hagar di Kejadian 16:1-16.

Tulisan berjudul Cerita Hagar dan Sara: Perbudakan Perempuan Terjadi dari Zaman ke Zaman itu merefleksikan bagaimana laki-laki bisa mengambil budak perempuan ketika istrinya tidak bisa menghasilkan keturunan. Namun di sisi lain, ada ayat yang menyatakan bahwa manusia adalah citra Allah, artinya manusia perlu diperlakukan dengan baik dan setara.

Agama-agama lain pun juga mengamini nilai serupa. Agama Buddha misalnya, memercayai bahwa mencederai kemanusiaan dan merendahkan PRT tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan Buddha. Islam juga mengajarkan hal serupa, secara jelas dalam ayatnya melindungi hak-hak PRT seperti hak kepuasan, keadilan, kesepadanan, dan perilaku makruf yang sejalan dengan adat-istiadat dan tradisi tempat transaksi terjadi.

Agama Katolik memberikan contoh yang lebih nyata. Keuskupan Agung telah membentuk paguyuban PRT untuk mendorong diterapkannya aturan-aturan yang selaras dengan ILO 189 Pasal 5. Ini menunjukan bahwa umat Katolik menghormati dan mengakui pekerjaan PRT.

Kendati belum memuat catatan refleksi lengkap dari berbagai perspektif agama dan kepercayaan di Indonesia, setidaknya dalam buku tersebut sudah menggambarkan semangat keadilan dan kebebasan yang telah termuat di sejumlah kitab suci maupun kisah bersudut pandang agama. Catatan lain dari buku ini, pemimpin negara dan pembuat kebijakan perlu memastikan terwujudnya perlindungan beserta fasilitasnya bagi PRT.

Praktik Perbudakan di Era Modern

Buku ini juga membahas bagaimana praktik-praktik perbudakan masih terjadi di daerah yang diwarnai dengan kasus kekerasan fisik dan seksual. Mereka juga mengalami kekerasan ekonomi karena tidak dibayar secara layak. Komnas Perempuan menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender dan diskriminasi yang dialami PRT beririsan dengan feodalisme, bias kelas, dan bias gender.

Martha Hebi, aktivis perempuan dari Nusa Tenggara Timur (NTT), secara mikro memotret situasi perbudakan modern dan kelam bagi para “ata” atau hamba di Sumba Timur. Dalam budaya masyarakat di Sumba, perempuan hamba mengerjakan pekerjaan domestik hingga harus menyediakan tubuh dan rahimnya untuk dikuasai majikannya.

Selain itu, dari kacamata sosiologis, Arie Sujito membahas PRT dalam lajur eksploitasi tenaga kerja dan kekerasan kultural. Menurutnya, PRT adalah bagian dari mesin industri yang tak boleh memiliki hati, mata, dan perasaan. Mereka dikontrol melalui standar mekanisme kerja internasional yang cenderung menguntungkan pemberi kerja dan membuat PRT menghadapi beban bertumpuk. Tumpukan beban ini kemudian memicu kerentanan terhadap kekerasan.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Kisah RUU PPRT bagai Anak Tiri: Dijegal, Disalip, hingga Mandek 19 Tahun Lamanya, Bagaimana Bisa?

Exit mobile version