Mudik dan Pulang Kampung Sah-sah Saja Dianggap Beda: Tinjauan Bahasa

mudik atau pulang kampung arti definisi kamus kbbi tesaurus bahasa indonesia semantik sinonim mata najwa shihab mojok.co

mudik atau pulang kampung arti definisi kamus kbbi tesaurus bahasa indonesia semantik sinonim mata najwa shihab mojok.co

MOJOK.COApa yang salah dengan khalayak yang kesal Presiden Jokowi membedakan makna mudik dan pulang kampung? Memilah arti dua kata yang bersinonim adalah gejala lumrah.

Dalam tesaurus bahasa Indonesia, mudik memang sinonim dengan pulang kampung, tetapi nikah dan kawin juga sinonim, sementara kita biasa mengartikan keduanya berbeda. Yakni, nikah sebagai ikatan resmi dua orang atau lebih yang disahkan lewat prosesi agama dan hukum, sedangkan kawin sebagai hubungan seksual.

Pernyataan Pak Jokowi muncul di acara Mata Najwa. Saya telah selesai menontonnya dan menganggap penjelasan Pak Jokowi masuk akal. Ketika pemerintah membedakan mudik dari pulang kampung, memang pengertiannya mewakili kenyataan di “lapangan”—istilah yang bolak-balik dipakai Pak Jokowi dalam wawancara itu. Begini petikan obrolan mereka.

Najwa Shihab              : Mudik itu diperbolehkan atau dilarang oleh pemerintah?

Jokowi                          : Semua kementerian pro dan kontra. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju. Tapi sejak awal sudah saya sampaikan pada menteri bahwa suatu saat pasti akan saya larang. Bisa aja besok pagi, bisa aja minggu depan. Pasti akan saya larang karena kita tahu bahwa mudik, itung-itungan terakhir kita, itu menyangkut… masih yang ingin mudik, itu itungan kita, kajian lapangan kita, masih menyangkut orang yang jutaan. Bukan hanya ribuan tapi jutaan. Ada 34% yang masih ingin mudik, ini angka yang gede sekali, sehingga sejak awal saya sampaikan, angkanya seperti ini, kalau kajian lapangannya seperti itu, ya sudah, dilarang. mudik dilarang.

Najwa                           : Kenapa tidak dilarang sekarang, Bapak? Kenapa harus menunggu melihat situasi, sementara—

Jokowi                          : Ya kita kan kemarin, kita… memakai ada transisinya sehingga jangan sampai menimbulkan syok sehingga memunculkan masalah baru. Rame-rame nanti, begitu di-dadak, nanti rame-rame semua ke stasiun, rame-rame nanti ke terminal, rame-rame ke bandara, yang terjadi ada penumpukan orang di suatu tempat yang itu justru menyebabkan tidak menyelesaikan masalah, (malah) memunculkan masalah baru. Penularan yang akan lebih menyebar.

Najwa                           : Tapi yang dikhawatirkan bahkan masalah itu sudah timbul, Pak. Karena data dari Kemenhub sudah hampir satu juta orang cuti start mudik. Sudah 900 ribu orang yang sudah mudik dan yang sudah tersebar ke berbagai daerah. Apakah berarti ini memang… keputusan melarang itu, yang baru akan dikeluarkan melihat situasi, tapi faktanya, sudah terjadi penyebaran orang di dareah, Bapak.

Jokowi                          : Kalau itu bukan mudik, itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang, karena anak istrinya ada di kampung.

Najwa                           : Apa bedanya, Bapak, pulang kampung dan mudik?

Jokowi                          : Kalau mudik itu di hari Lebarannya. beda—

Najwa                           : Hanya perbedaan masalah waktu….

Jokowi                          : —untuk merayakan Idul Fitri. Untuk merayakan Idul Fitri. Kalau yang namanya pulang kampung itu ya bekerja di Jakarta, tetapi anak istrinya ada di kampung.

Najwa                           : Tetapi itu kan hanya perbedaan timing, Bapak Presiden. Tapi aktivitasnya sama. Mereka pulang, dan kemungkinan membawa virus ke rumah, itu juga sama.

Jokowi                          : Coba dilihat juga di lapangan. Ini lapangan yang kita lihat. Di Jakarta, mereka menyewa ruang 3 x 3, atau 3 x 4. Isinya 8 orang, 9 orang. Mereka di sini tidak bekerja. Lebih berbahaya mana? Di sini, di dalam ruangan, dihuni 9, 8 orang, atau pulang ke kampung, tapi di sana juga sudah disiapkan isolasi dulu, oleh desa, saya kira sekarang semua desa sudah menyiapkan isolasi ini, (untuk) yang pulang dari Jakarta, lebih bahaya mana? Saya kira harus melihat lebih detail lapangannya, harus lebih detail angka-angkanya.

Najwa                           : Tapi yang jelas dalam waktu dekat, keputusan untuk melarang, seperti halnya Bapak sudah melarang ASN, Bapak melarang TNI-Polri, Bapak melarang pegawai BUMN, hal yang sama akan diberlakukan di seluruh masyarakat?

Jokowi                          : Ya, itu tahapan-tahapan. Tahapan pertama, makanya sudah saya sampaikan, ASN dilarang mudik, TNI-Polri dilarang mudik, BUMN juga dilarang mudik, ini kan tinggal nanti pada suatu titik kita juga akan larang masyarakat untuk juga sama, tidak mudik.

Penjelasan Jokowi menyiratkan aktivitas pergi dari Jakarta ke kota lain ia/pemerintah pilah berdasarkan kadar kedaruratan. Bertemu keluarga di hari Idul Fitri karena kangen dan dalam rangka ritual tahunan bukan hal penting karena semata dorongan perasaan, aktivitas ini dinamai mudik. Sedangkan perpindahan orang karena kehilangan pekerjaan di Jakarta sebab satu-satunya tempat untuk lari dan berlindung adalah kampung halaman (meski tak mesti pulang ke desa, bisa juga kota lain) disebut dengan pulang kampung.

Gejala pulang kampung dalam definisi Jokowi memang sudah terjadi sejak PSBB mulai diumumkan. Sudah berbondong-bondong pulang ribuan perantau dari Jakarta ke Tegal, Wonogiri, Yogyakarta, dan kota-kota yang dominan ada di Jawa Tengah karena tak lagi bisa bekerja di Jakarta serta tak kuat membiayai hidup, terutama biaya pangan dan papan. Pada 30 Maret 2020, Gubernur Yogya Sultan HB X juga mengatakan tak akan menutup pintu masuk DIY karena pertimbangan kondisi ekonomi perantau tersebut.

Bahkan jika perantau tak pulang dan pemerintah provinsi setempat bersedia menyediakan kebutuhan pangan dan papan mereka, mereka tetap butuh bantuan keluarga (yang berada di “kampung”) untuk merawat apabila mereka sakit. Protokol kesehatan selama wabah mengatur bahwa pasien Covid-19 dengan gejala ringan atau tanpa gejala cukup dirawat dan dikarantina di rumah. Kita tahu ikatan sosial di Jakarta kurang bagus, jadi memang sudah langkah tepat mereka pulang kampung, mengarantina diri selama 14 hari semenjak kepulangan, dan menjalani hidup di kampung halaman sampai wabah mereda.

Toh, kita sudah biasa membedakan makna antarkata yang bersinonim

Dalam bahasa Jawa, sejumlah kata bersinonim punya makna berbeda karena adanya hierarki bahasa. Semisal orang membaca transkrip dialog berbahasa Jawa tanpa keterangan siapa yang berdialog, mereka dapat mendeteksi siapa yang lebih tua dan siapa yang kedudukan sosialnya lebih tinggi lewat diksi yang dipakai penutur.

Tim Hassal dalam artikel berkesan berjudul “Fungsi dan Status Kata Pinjaman Barat” (dalam Geliat Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-bahasa di Indonesia Pasca-Orde, 2017, hlm. 123-151) pernah menelitinya.

Sebenarnya yang ia cermati adalah penggunaan kata-kata pinjaman dari bahasa Barat oleh penutur bahasa Indonesia. Kata pinjaman Barat adalah kata-kata dari bahasa Barat yang telah diserap ke bahasa Indonesia, seperti aktivitas, retrospektif, dan eksis. Ada dugaan yang umum beredar, pemakaian kata pinjaman Barat dipakai penutur semata untuk menaikkan gengsi. “Kita harus berhati-hati dalam menduga adanya motivasi gengsi di balik penggunaan kata-kata ini,” tulis Hassal, sebab kata pinjaman tersebut “sering kali benar-benar berfungsi semantik” alias memiliki maknanya sendiri, yang berbeda dari makna kata lain di bahasa Indonesia yang bersinonim dengannya. Dua kata yang dicontohkan Hassal adalah polusipencemaran serta keteranganinformasi.

Saya akan mencontohkan kata lain yang bukan hanya pinjaman Barat. Anak muda kadang membedakan sayang dari cinta untuk memilah mana perasaan kuat yang menuntut status hubungan dan mana yang tidak. Sebelum aspirasi Islam menguat sesudah pemerintah Soeharto bubar, seorang muslim lumrah menyebut sembahyang Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya, tetapi semakin ke sini kata sembahyang dianggap kurang spesifik dan terlalu Hindu sehingga sekarang salat lebih disukai. Ada dan eksis juga bersinonim, namun dalam konvensi sehari-hari, eksis punya konotasi narsistik, mencari perhatian, atau menjadi pesohor.

Siapa yang menulis insya Allah dan siapa yang memilih insha Allah juga mengandung konotasi berbeda, yang mana insha Allah lebih lekat dengan muslim kelas menengah dan atas yang sedang meningkatkan religiusitasnya. Sementara itu, berita cenderung merujuk pada hasil kerja jurnalistik dan kabar adalah istilah yang lebih umum untuk segala jenis informasi. Terakhir, sebagai orang yang kurang akrab dengan topik ekonomi, bukan sekali dua kali saya kebingungan atas arti debit dan kredit karena kedua istilah ini seakan bisa kapan saja dipertukarkan.

Setingkat lebih ribet ialah kata langka, yang dalam konvensi bahasa Indonesia berarti ‘jarang’, namun jika penutur bahasa Jawa yang menyebutkannya, bisa berarti ‘tidak ada’.

Dua tingkat lebih ribet, ada kasus lain ketika dua kata (frasa) tidak sinonim tapi ternyata bisa membawa arti yang sama, namun rasa bahasanya berbeda (memang ribet kuadrat). Saya menemukannya ketika belum lama pindah ke Jawa Tengah dari Kalimantan Barat. Nenek yang orang Jawa mengajari saya bahwa jika ditanya dan saya tidak tahu jawabannya, adalah tidak sopan mengatakan, “Saya tidak tahu.” Agar lebih halus, ia mengajari saya memakai, “Saya kurang tahu.”

Demikian tulisan panjang ini saya tujukan kepada para pengkritik Presiden pada umumnya, dan pada akun Twitter @psikologabalabal pada khususnya.

BACA JUGA Mengedit Surat Andi Taufan, Stafsus Milenial yang Gaya Suratnya Masih Bau Orba dan esai Prima Sulistya lainnya di VERSUS.

Exit mobile version