Jangankan satu miliar sholawat, satu sholawat saja sudah bikin saya pening. Sungguh hari Minggu yang berat.
Biasa, perkara mengedit naskah di Mojok. Penulis memakai sholawat, saya cek di KBBI daring, perkakas andalan saya itu, dan menemukan …
“Entri tidak ditemukan.” Hurufnya merah semua.
Saya ketik kata lain di bilah pencarian, kali ini salawat. Hasilnya, diarahkan ke kata selawat. Saya klik. Keluar: pencarian benar. Ada tambahan informasi pula,
“bentuk tidak baku: salawat, salwat, solawat.”
Kali ini hurufnya hitam, tapi justru ini yang bikin pusing.
Kalau salawat saja tidak baku, sholawat lebih tidak baku lagi karena bahkan masuk daftar kata tidak baku pun nggak. Hanya saja, kalau percaya vox Google vox populi; suara Google, suara rakyat, masyarakat lebih terbiasa memakai sholawat karena ada 19,8 juta entri di Google yang mengandung kata itu.
Kalau salawat? Cuma 1,9 juta.
Kalau selawat? 36 juta, dengan catatan sebagian besar hasil datang dari situs web Malaysia.
Jarum jam bergerak terus, naskah harus segera tayang sementara saya masih galau mau pakai kata yang mana.
Habis, kalau mau pakai sholawat, kayaknya bahasa Indonesia tidak punya cara menulis bunyi [sh]. Pada masyhur, misalnya, huruf h bunyi sendiri. Masy-hur. Tapi, ini juga bukan jenis [sh] yang dipakai para abdi insha Allah. ini [sh] yang lain ….
Oke, tenangkan pikiran … buka pedoman transliterasi Arab-Latin Indonesia dulu. Huruf ص [Șad] apabila diindonesiakan menjadi Ș. Huruf [es] besar dengan titik di bawah.
Masalah bukannya selesai, malah semakin ribet. Nggak lucu kan kalau Mojok dikira situs web Kazakhstan hanya karena memakai Șalawat.
Ribet amat sih, Tong. Langsung pakai selawat aja kenapa? Batin saya yang memang tabiatnya suka gampang menganjurkan.
Njir, aneh. Kapan saya dengar orang menyebut selawat? Nggak pernah. Dan rasanya meleset jauh dari kata Arabnya. Lah kok nggak pakai salawat aja sebagaimana kamu memakai salat, bukannya shalat? (FYI, salawat [apa pun cara nulisnya deh] adalah bentuk jamak dari salat.)
Ya KBBI sih bilangnya itu tidak baku, jawab saya kepada diri sendiri. Tapi, baiklah, saya pakai salawat aja daripada banyak cingcong. Kalau kelak saya mendapati itu pilihan salah, saya terima. Cuma Wiro Sableng yang pendekar kebenaran dan pembasmi kejahatan, saya bukan.
Setelah naskah (akhirnya!) tayang, saya jadi ingat kata seorang editor, “Jangan perlakukan tanda baca di tulisan sebagai terjemahan dari intonasi ucapan.” Misal, kamu memakai koma, koma itu harus diletakkan sebagai pembatas makna antara komponen makna satu dan komponen makna lain, bukan untuk mengatur bagaimana ritme kamu mengucapkannya.
Saya renungi perkataan itu lebih dalam lagi dan mengambil kesimpulan, bahasa tulis punya logika sendiri sebagaimana bahasa lisan juga demikian. Jangan karena orang mengucapkan bunyi sho-lat, bahasa tulis pun harus disesuaikan demikian. Dan memangnya saya yakin, semua orang menyebut sholat? Bagaimana dengan lidah Banyumasan? Jangan-jangan yang diucap adalah sho-lad. Bahasa lisan ada konteks, orang bisa paham karena itu, dan kalau tidak paham bisa langsung tanya. Bahasa tulis tidak.
Baik, saya rasa saya sudah di jalur yang benar ketika mengganti milyar, fiqih, kyai, dan mushola menjadi miliar, fikih, kiai, dan musala. Hanya saja untuk ustaz, saya masih manut sama Arlian Buana yang alumni pesantren.
KBBI memang menyatakan yang baku adalah ustaz, tapi dalam pedoman transliterasi, ذ itu ditulis dengan z yang dikasih titik di kepalanya (ż), sedangkan z yang polos adalah transliterasi ز.
Kalian yang pernah ngaji tahu kan beda ucapan dua huruf Arab itu: sekilas sama-sama terdengar berbunyi [za], tapi yang satu lidah di dalam, yang satu lidah di gigi. Gara-gara transliterasi nggak harmonis dengan KBBI itu, Bana menyatakan ia akan pakai ustadz. Di hadapan mantan santri yang kalau nonton Liga Arab nggak pakai subtitle ini saya cuma manggut-manggut menyadari betapa daif hamba ini.
Ribet ya? Tapi, sejauh ini asyik.
Menghadapi problem-problem seperti itu sehari-hari sedikit banyak membuat saya tidak saklek apa-apa harus sesuai KBBI. KBBI memang melabeli satu kata baku atau tidak, tetapi pembaca KBBI kerap menjadikannya sebagai alat pentung. Kalau tidak baku, salah. Jumawa salah, yang benar jemawa. Praktek salah, yang benar praktik. Dan seterusnya berlaku untuk sekedar, apotik, supir, dll. Menerjemahkan baku sebagai benar dan tidak baku sebagai salah kok rasa-rasanya perbuatan fasis bahasa ya? Terlebih kenyataannya, pendapat tidak satu, dan pendapat-pendapat yang lain punya landasan rasionalnya sendiri.
Misal begini, cobalah Anda buka Bumi Manusia, novel pertama Kuartet Buru itu. Pramoedya Ananta Toer, si pengarang yang usianya lebih tua daripada KBBI itu, memakai perduli dan silahkan. Wajar kita jadi bertanya-tanya, kalau ada suatu masa orang biasa memakai perduli dan silahkan, dan sebenarnya itu masih berlanjut sampai hari ini, mengapa kemudian yang baku (atau yang benar, kata pejuang KBBI) adalah peduli dan silakan?
Sementara ini sih saya memutuskan meyakini, baku dan tidak baku adalah variasi saja, dan kata baru apa pun bisa saja masuk ke dalam teks berbahasa Indonesia. Nggak usah marah dulu, ini pendapat seorang milenial yang merasa kids jaman now itu sudah enak dan nggak perlu direvisi jadi kids zaman now atau jomblo itu memang b-nya bunyi sehingga jomlo ala KBBI diabaikan sajalah. KBBI, atau kamus lain dan lebih bagus kalau online, sepertinya bakal lebih asyik kalau mencatat terus semua variasi kata yang muncul dan berhenti melabeli baku atau tidak baku.
Sepakat nga?