Harus Banget, ya, Hakim Dipanggil “Yang Mulia”?

MOJOK.CO Mendengar hakim dipanggil “Yang Mulia” ternyata bukan barang baru. Praktik ini berlangsung sejak kamu bahkan belum jadi zigot.

Pelajaran PKn alias Pendidikan Kewarganegaraan di kelas 9 SMP cukup berkesan bagi saya. Waktu itu, Ibu Guru meminta kami melakukan simulasi jalannya persidangan atas suatu kasus di setiap kelompok. Semacam drama, singkatnya—hanya saja terjadi dalam sebuah persidangan.

Saya, yang saat itu masih terngiang-ngiang betapa anggunnya Elle Woods dalam Legally Blonde (walaupun film pertama ini sudah berlalu bertahun-tahun sebelumnya), langsung bersemangat membuat skrip untuk kelompok saya. Sungguh, rasanya tak sabar berada dalam sebuah persidangan yang—bagi saya kala itu—seru seperti dalam film.

Sayangnya, di hari H drama kelompok kami, kakek saya meninggal. Alih-alih ikut berperan sebagai saksi yang harus menjelaskan bukti-bukti dan melihat betapa hakim dipanggil “Yang Mulia”, saya malah menghabiskan hari itu sambil menangis habis-habisan.

Tapi, teman saya bilang, simulasi persidangan kami berjalan lancar dan itu cukup melegakan.

Saya bukan pengacara seperti Elle Woods walaupun sempat bercita-cita menjadi pengacara sebelum akhirnya malah memutuskan masuk ke Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Namun yang jelas, sebuah jalannya persidangan memang menarik perhatian saya mengingat di sana semua orang tampak begitu serius, berbicara formal, sekaligus bersenjatakan argumen-argumen kuat yang menarik didengar.

Kamu tahu—rasanya seperti mendengar orang yang “marah”, tapi santun.

Tapi, selain itu—mungkin karena saya orang bahasa—saya jadi tertarik pada suatu hal yang lain: Kenapa, ya, kok hakim dipanggil “Yang Mulia” dalam persidangan? Bukankah itu julukan yang diberikan pada raja dan ratu?

Mari kita kupas bersama~

*JENG JENG JENG*

Penyebutan “Yang Mulia” merupakan panggilan resmi yang berasal dari praktik feodal kuno. Ia ditujukan pada orang-orang yang memiliki gelar, termasuk para ksatria, sebelum akhirnya digunakan juga pada para hakim. Kebiasaan ini berlangsung terus hingga memasuki pertengahan tahun 1600—tahun di mana kamu bahkan belum muncul dalam bentuk zigot.

Dalam perkembangannya, gelar “Yang Terhormat” memang digunakan untuk merujuk pada banyak posisi berbeda: anggota DPR, Senat, Sekretaris Kabinet, hingga walikota di beberapa negara. Hal ini dilakukan dengan maksud yang sama sebagaimana hakim dipanggil “Yang Mulia”: untuk menunjukkan rasa hormat.

Apakah hakim menjadi satu-satunya orang yang harus dihormati dalam persidangan?

Pada dasarnya, ruang sidang adalah tempat yang sangat formal—inilah yang saya anggap menarik karena kita harus berpakaian dan berbicara formal pula. Lebih lengkapnya lagi, kita pun harus bersikap formal, alias menunjukkan etiket yang baik.

Nyatanya, selain hakim dipanggil “Yang Mulia”, telah menjadi “aturan umum” bahwa posisi yang lain juga harus diberi sapaan yang sesuai. Misalnya, para saksi, terdakwa, penggugat, atau pengacara disapa dengan sapaan Mr atau Mrs dalam bahasa Inggris—atau “Saudara” dalam bahasa Indonesia.

Di Indonesia sendiri, aturan yang menyebutkan hakim dipanggil “Yang Mulia” memang tidak secara terang-terangan tertulis. Namun begitu, aturan untuk bersikap hormat telah diatur dalam Undang-Undang.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan—seperti dikutip dari Hukumonline.commenyebutkan bahwa menjadi kewajiban seluruh pihak, saksi, ahli, dan pengunjung sidang untuk menghormati hakim, yang dinyatakan sebagai berikut:

a. Menempati tempat duduk yang telah disediakan serta duduk tertib dan sopan selama persidangan;

b. Menunjukkan sikap hormat kepada Majelis Hakim dengan sikap berdiri ketika Majelis Hakim memasuki dan meninggalkan ruangan sidang;

c. Memberi hormat kepada Majelis Hakim dengan membungkukkan badan setiap memasuki dan meninggalkan ruang persidangan.

See? Tidak ada aturan untuk menyebut hakim sebagai “Yang Mulia”, bukan? Tapi yang jelas, semua pihak harus menunjukkan rasa hormat kepada Majelis Hakim Konstitusi.

Artinya, adanya hakim dipanggil “Yang Mulia” sesungguhnya merupakan cara untuk menunjukkan sikap hormat tersebut.

Meski dipandang berlebihan bagi beberapa orang, banyak pihak percaya bahwa penyebutan ini bisia bermakna sebagai sebuah doa. Dianggap berkedudukan mulia, tentu para hakim ini diharapkan bisa memutus persidangan dengan bijaksana, adil, dan tidak berpihak.

Tapi—ingat—hakim dipanggil “Yang Mulia” saja sudah cukup. Jangan mentang-mentang ia disebut “Yang Mulia” seperti dalam kisah dongeng para raja, kita jadi bisa memanggilnya juga sebagai “Baginda”.

Hadeeeeh, emangnya hakim itu yang nyanyi lagu C-I-N-T-A, hah???

Exit mobile version