Represi militer Myanmar kepada orang-orang Rohingnya sudah menjadi pembantaian. Sebagai penduduk negara yang menjunjung kemanusiaan, wajar jika warga Indonesia turut memperhatikan setiap eskalasi di Rakhine, negara bagian Myanmar tempat orang-orang Rohingya berdomisili. Apalagi kita memiliki kedekatan geografis dan orang Rohingya mayoritas beragama Islam (sebagian kecilnya beragama Hindu).
Berikut sejumlah status bisa menjadi wawasan untuk memahami krisis Rohingya.
***
Dr. Mahmoud Syaltout: Tragedi kemanusiaan Rohingya itu terparah di ASEAN saat ini. Akarnya dari konflik geopolitik, khususnya geopolitik migas. Konflik geopolitik migas ini sengaja ditutupi dengan konflik antaretnis, antaragama, dan antarkelompok masyarakat. Menjadi semakin parah saat mayoritas moderat memilih diam, termasuk Aung San Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian itu.
Karena itu, mari kita semua mendesak agar Pemerintah Indonesia lebih proaktif, ambil inisiatif, dan pimpin aliansi strategis mitra dialog dan diplomasi hak asasi manusia (human rights diplomacy) mengingat: 1) posisi Indonesia yang cenderung netral dari kepentingan geopolitik di wilayah tersebut; 2) Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan; dan 3) Indonesia secara tegas dalam konstitusi menghendaki agar penindasan di muka bumi harus dihapuskan.
Mari kita menyatukan hati, tekad, semangat, dan usaha bahwa #KitaIniSama, satu tujuan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta tentu saja tidak memilih diam terhadap setiap ujaran kebencian, permusuhan dan persekusi terhadap minoritas.
Akhirnya, sebagai gambaran silakan lihat saksama peta blok dan pipa migas di daerah tempat saudara-saudara kita etnis Rohingya dibantai secara mengerikan seperti setidaknya dalam laporan OHCHR (United Nations High Commissioner for Human Rights).
Airlangga Pribadi: Salah satu kebebalan persepsi yang saya lihat dalam perkara pembantaian muslim Rohingya adalah ketika saya menyodorkan sumber tentang akar-akar ekonomi politik dari penindasan komunitas muslim Rohingya, saya dianggap tidak peduli terhadap nasib kaum muslim Rohingya.
Saya tegaskan kali ini, analisis ekonomi politik justru menguak persoalan eksploitasi, hubungan kuasa dan penindasan terhadap korban oleh penguasa. Kita menjadi paham konteks sosial dari penindasan dan pembantaian tersebut. Dan dengan metodologi yang terang seperti ini, maka upaya-upaya merelatifkan persoalan tersebut, bahkan sampai menyalahkan subjek korban, seperti “kasus ini terjadi akibat umat Islam tidak bisa beradaptasi dengan masyarakat di Myanmar” menjadi kehilangan logikanya.
Melawan penindasan dibutuhkan lebih dari semangat dan yang lebih penting dari itu adalah nalar dan akal sehat!
Endah Raharjo: Dalam lokakarya bulan Desember 2015 di Universitas Lingnan, Hong Kong, saya tak menjumpai pakar dari Indonesia. Satu-satunya orang Indonesia adalah saya, tapi saya sama sekali jauh dari ahli, hanya observer yang diam dan sesekali bertanya. Ketika saya bertanya kepada beberapa peserta mengapa tidak ada pakar dari Indonesia, mereka ganti bertanya, “Menurutmu mengapa?” dan saya tak punya jawaban.
Pagi ini saya bertanya kepada seorang teman di Myanmar. Ia muda, ia Bamar (etnis mayoritas Buddha), ia agnostik, dan ia mengecam kekerasan yang diderita etnis Rohingya. Dulu pemuda yang kini 31 tahun itu pernah sangat antusias menyambut perubahan politik ketika dunia mulai memerhatikan negerinya. Namun, ketika ternyata tak ada pihak yang mampu menjinakkan militer dan mereka masih terus berkuasa memainkan konflik rasial, ia mengubah haluan. Kini ia jarang membaca berita, ia memilih menjadi penjual buku online agar kawula muda di sana bisa membaca lebih banyak buku dan agar buku-buku karya penulis Myanmar lebih mudah dijangkau orang luar.
Pernah kuhadiahkan padanya sebuah buku karya Pram, terjemahan bahasa Inggris terbitan Penguin, agar ia sedikit mengenal Indonesia bukan sekadar dari berita.
“Apa yang terjadi di sana, sobat?” tanyaku.
“Entahlah, aku tidak mengikuti berita politik lagi.”
“Ibumu (Suu Kyi) dihujat oleh dunia, apa pendapatmu?”
“Oh … entahlah … tampaknya ini terjadi bersamaan dengan diterbitkannya laporan Kofi Annan. Aku yakin militer di balik semua ini, ingin memperpanjang konflik rasial. Kamu sudah baca laporan itu?”
“Belum,” jawabku. “Mengapa Sang Ibu diam atas serangan brutal kepada Rohingya?”
“Aku yakin dia sedang berusaha keras membangun kepercayaan dengan pihak militer dan secara pribadi aku tidak tertarik dengan hadiah Nobel itu. Tanpa Nobel, dia masih tetap seorang dewi bagi kami.”
Salah satu pakar Myanmar yang saya temui di Washington, D.C. berkata bahwa satu-satunya kesempatan Suu Kyi bisa menegakkan keadilan di negerinya adalah dengan “menjinakkan militer” lebih dulu dan langkah awalnya adalah menjalin kepercayaan dengan mereka. Namun, rupanya jalan menuju ke sana berlumur darah.
“Suu Kyi akan kehilangan semua yang sudah dia capai selama ini jika dia bicara secara khusus soal Rohingya. Dan apa kamu pikir kalau Suu Kyi mengundurkan diri, atau dipaksa menyerahkan Nobel-nya, negara itu jadi lebih baik dan kekejian pada semua etnis minoritas di sana akan berhenti? Apa kamu kira dia peduli pada Nobel itu? Lalu bagaimana dengan Korea Utara? lalu Sudan Selatan? lalu ….”
Dia nyaris membara. Dia salah paham, pertanyaan saya dianggap hanya suara seorang pemeluk Islam yang saudara seimannya dibantai, bukan pertanyaan yang muncul murni atas dasar kemanusiaan.
Saya menulis ini sambil bertanya, apakah orang-orang yang mungkin hanya melihat foto atau membaca kabar hoax itu tiba-tiba menjadi ahli atau orang suci, lalu berhak berteriak melecehkan Suu Kyi? Dan apakah teriakan itu membantu meredakan konflik? Atau itu semacam bukti bahwa ada orang yang mudah menghakimi meskipun tak cukup paham persoalannya? Entahlah ….
Dan berikut ini saya cuplik sedikit saja laporan komisi yang dipimpin Kofi Annan itu.
DRUGS
Drug trafficking through Rakhine – typically following the route from eastern Myanmar, via Maungdaw and Buthidaung, to Cox’s Bazar in Bangladesh – seems to have increased significantly in recent years. In 2016, enormous quantities of drugs (mainly methamphetamine, or “yaba”) were confiscated by Myanmar officials along the border with Bangladesh. During the Commission’s visits to Rakhine State, people from all communities expressed serious concern about the growing problem – which significantly increases their vulnerability. Poverty and poor social services may serve as important drivers encouraging people to engage in drugs-related crime, or to use drugs themselves.
Drugs production and trafficking have fuelled violent conflict in Myanmar for many years. Also in Rakhine, drug smuggling is reportedly funding the activities of non-state armed groups, such as the Arakan Army (AA) and the Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Even government officials are accused of facilitating drug trade, which further contributes to the sense of lawlessness along the border with Bangladesh.
Tidakkah ini mirip dengan banyak konflik kemanusiaan di muka bumi ini? Tidakkah yang terjadi di Aceh dengan GAM dan Papua dengan OPM juga karena hal serupa?
Jon Ali: Ringkasan kronologi penghilangan kewarganegaraan etnis Rohingya. Disusun oleh Human Rights Working Group (HRWG), September 2017.