Ulama Juga Manusia, Jangan Berhalakan Mereka

Saat kematian Nabi, banyak anggota fans club Ali bin Abu Thalib yang kecewa ketika Abu Bakar ditunjuk sebagai penerus kepemimpinan Islam. Terlebih kepemimpinan ini disetujui Umar bin Khattab, pria paling ditakuti di seantero Mekkah-Madinah, bukan cuma oleh manusia, konon juga oleh setan.

Sayangnya, ini keinginan fans Ali saja. Ali sendiri ogah betul jadi pemimpin. Menjadi sepupu sekaligus menantu Nabi saja sudah kehormatan, ditambah jadi pemimpin, ini ia anggap berlebihan. Oleh karena ribut-ribut pendukungnya itu, Ali lebih memilih menyingkir daripada jadi masalah—meskipun saat pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah, Umar meminta Ali untuk tetap hadir.

Dalam dua periode kepemimpinan Islam sepeninggal Rasulullah SAW, ada cetak sejarah yang bisa dibaca. Pertama, Abu Bakar yang anti bidah. Beliau takut betul sama hal-hal yang tak pernah ditetapkan oleh Nabi sekaligus paling setia kepada tuntunan Nabi.  Makanya, beliau adalah orang yang paling geregetan terhadap para nabi-nabi palsu. Di era ini pula stabilitas politik di internal masyarakat Mekkah-Madinah diupayakan.

Baru di era Umar bin Khattab, yang dijuluki ahli bidah, semua pembaharuan dimulai. Ide pembukuan mushaf, misalnya, muncul di masa ini. Walau kemudian baru selesai di masa Khalifah Utsman bin Affan.

Pembiasaan salat Tarawih berjamaah juga terjadi di masa Umar. Menurut riwayat Abdurrahman bin Abdul Qariy, suatu malam ia dan sang Khalifah mendatangi masjid dan melihat para sahabat salat Tarawih dengan imam yang berbeda-beda. Umar kemudian berinisiatif mengumpulkan para sahabat untuk salat dengan satu imam bersama. Ketika di malam selanjutnya ia melihat para sahabat salat masih dengan satu imam, ia berkomentar.

“Sebaik-baiknya bidah adalah ini.”

Di dua pemimpin awal inilah fans club Ali nggak berani macam-macam. Situ mau melawan orang yang sendalnya saja bikin setan ngacir? Muke gile.

Baru di era Utsman gerakan ini mulai muncul dan mulai macam-macam. Mereka “memaksa” Ali untuk menjadi pemimpin atas alasan yang sangat politis.

Bulan lalu, seminggu sebelum Ramadan dimulai, Ustadz Felix Siauw nge-tweet begini:

“Ulama adalah pewaris para Nabi, kita tentu mendukung ulama, menolak dagelan yang mengkriminalisasi ulama, dan meyakini ulama sepenuhnya :)”

Sehebat-hebatnya ulama, ia hanya berada di urutan di belakang para sahabat, setelah para tabiin atau orang yang menjadi saksi kehidupan para sahabat, dan setelah tabiit-tabiin atau saksi dari orang yang pernah melihat.

Sahabat saja sempat ada yang keliru. Yah, paling tidak punya fans yang cintanya kelewat buta sampai membuat mereka pusing sendiri dan membuat periode akhir Khulafaur Rasyidin jadi tercerai-berai.

Ini semacam yang terjadi pada imam satu itu. Bisa jadi Habib (‘kekasih’, dan ya, saya masih mencintainya meskipun belio begitu) Rizieq di sana sebenarnya malu betul melihat kelakuan para pengikutnya, para pembelanya.

Sebab, seperti yang pernah disampaikan oleh Mbah buyutnya sendiri, Ali bin Abi Thalib, “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.”

Dan ulama tak lebih dari manusia. Mempercayai mereka sepenuhnya itu cukup berbahaya karena sama saja dengan menghidupkan nalar berhala.

Kecuali kalau situ merasa Habib Rizieq bukan manusia. Itu beda perkara.

Catatan redaksi: Dalam tweet Ustadz Felix disebut bahwa “Ulama adalah pewaris para Nabi …”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pewaris berarti ‘orang yang mewariskan’. Jadi, kami nebak mungkin maksudnya Pak Ustadz, ulama adalah waris/ahli waris (yang menerima warisan dari) para Nabi. Mungkin lo ya. Persisnya sih, tanyakan blio sendiri sajalah.

Exit mobile version