Sosiolog UGM: Tidak Turun ke Jalan Bukan Berarti Mahasiswa Apolitis 

Mahasiswa Mojok.co

Ilustrasi

MOJOK.CO Gerakan mahasiswa dihadapkan berbagai tantangan di tengah era disrupsi dan kebebasan mendapatkan akses informasi. Salah satunya, mahasiswa dituntut menemukan cara baru dalam menyampaikan aspirasi politiknya. 

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito menjelaskan, gerakan mahasiswa di era 90-an berbeda dengan kemunculan gerakan mahasiswa di era demokratisasi yang terjadi sekarang ini. Aktivis mahasiswa sekarang ini dihadapkan pada kondisi untuk memikirkan banyak hal dan ragam pilihan dalam menyampaikan ekspresi dan aktivitasnya. 

Saat Orde Baru, gerakan mahasiswa muncul karena proses demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tindakan represif negara cukup keras terhadap gerakan mahasiswa di kala itu. Namun saat ini, Arie melihat liberalisasi politik sudah berjalan dengan baik, berbeda ketika Orde Baru. Ditandai dengan adanya kebebasan pers, desentralisasi, dan demiliterisasi. 

“Karenanya saat ini gerakan sosial mahasiswa tidak lagi identik memobilisasi massa secara fisik. Sekarang tersedia instrumen untuk mendistribusi informasi. Setiap sejarah punya cara sendiri,” katanya dalam Diskusi Buku Aldera Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 yang digelar di Auditorium Mandiri Fisipol UGM, Jumat (18/11/2022). 

Tidak banyaknya aksi  turun ke jalan bukan berarti aktiviis mahasiswa tidak sedang tidak berpolitik atau apolitis.  Mereka hanya punya cara pandang  yang berbeda.

Oleh karena itu, Arie melihat diperlukan ruang lintas generasi agar mahasiswa tidak mengalami gap soal sejarah gerakan di masa lalu. Jangan sampai ada patahan membaca sejarah. 

“Jangan sampai seorang aktivis menyampaikan mengatakan enak (kebebasan dan kesejahteraan) zaman Orde Baru. Padahal, banyak orang diculik dan diangkut,” jelas dia seperti dikutip dari laman resmi UGM, Senin (21/11/2022). 

Saat Order Baru, tindakan represif dari berbagai aspek terjadi, upaya penjinakan aktivis mahasiswa lewat senat mahasiswa  dan kebijakan NKK-BKK. Oleh karenanya, banyak mahasiswa tidak berani berorganisasi di kampus, banyak yang keluar. Turun ke jalan adalah salah satu cara bersiasat. 

Membaca kondisi saat ini, penulis buku dan mantan aktivis Aldera Teddy Wibisana mengungkapkan, aktivis mahasiswa tidak boleh gentar dalam menyampaikan aspirasi dan pandangannya di sosial media sepanjang pandangannya ia anggap benar. Bahkan, jangan sampai takut menyampaikan pandangan atau kritik yang berisiko berhadapan dengan hukum.  

“Selalu yakin dengan apa yang diperjuangkan. Jika merasa benar, semua tidak akan menjadi masalah. Kegalakan di sosial media memang sering berisiko berhadapan di depan hukum. Jangan sampai langsung membuat kita kendor,” ungkap dia dalam kesempatan yang sama. 

Sementara mantan aktivis 98 Nezar Patria menilai, berjalannya proses demokratisasi di Indonesia adalah buah reformasi menjadikan partai politik sekarang ini terlihat lebih dominan. Bahkan, keberadaannya lebih kuat dibandingkan dengan peran lembaga nonpemerintah (NGO) seperti di era tahun 90-an. 

“Kita bisa hitung sendiri, hanya NGO yang bergerak dalam gerakan HAM saja yang nampak sekarang ini, YLBHI dan Kontras. Dulu banyak sekali. Sekarang NGO banyak bergerak ke isu lingkungan,” katanya.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Yang Anarko Bisa Lakukan ketika Job Demo Sepi

Exit mobile version