Di Kampus Bukan Cuma Ada Negara, tapi Juga Provinsi dan Kabupaten

negara mojok.co

Ilustrasi pejabat negara (Mojok.co)

MOJOK.CONyaris semua kampus di Indonesia memiliki Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dan, nyaris semuanya menyebut ketua sebagai “presiden”. Kampus dibayangkan sebagai negara.

Tapi ternyata, bukan cuma negara. Di beberapa kampus, ada juga “provinsi”. Bila BEM tingkat universitas adalah negara yang pemimpinnya adalah presiden, maka BEM fakultas adalah provinsinya, pemimpinnya adalah gubernur. Universitas Andalas adalah salah satu contohnya.

Presiden BEM tingkat universitas punya tugas formal untuk mengkoordinasikan gubernur-gubernur di bawahnya. Plus, himpunan mahasiswa daerah (Himada) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diakui rektorat.

Kementerian yang mengurus koordinasi ini adalah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dalam melaksanakan tugasnya, kementerian ini punya program “Ruang Bersua” yang setelah saya pikir-pikir sama saja seperti kunjungan kerja dinas.

Selain “Ruang Bersua”, saya mencari-cari lagi program kerja unggulannya. Berharap bisa menemukan barang-barang seperti Disdukcapil atau rekrutmen CPNS. Buntu. Yang saya temukan malah geger gedhen.

Problem ‘negara’

Di Unand, Kemendagri-nya sedang menghadapi problem disintegrasi nasional. Sebuah gerakan separatisme yang dimulai dari FIB, FH, dan Fisipol. Masalahnya begini: ketiga provinsi tersebut keukeuh menggunakan jabatan presiden untuk ketua BEM-nya meski Peraturan Rektor menggariskan mereka mestinya memakai titel gubernur.

Untuk itu, Kemendagri menerbitkan “ultimatum” dengan postingan Instagram bertajuk “Peraturan Jelas, Unand Berkelas”. Isinya kira-kira begini: hanya ada satu presiden, Presiden BEM Unand. Mungkin, tinggal tunggu waktu bagi BEM Unand untuk menjadikan ketiga fakultas tersebut sebagai Daerah Operasi Militer.

Bergeser ke BEM Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB). Di sana, kita bisa tahu bahwa kreativitas mahasiswa-mahasiswa Indonesia tidak berhenti sampai Provinsi dan Gubernur. Melainkan juga bisa punya kabupaten dan bupati. Kabupaten yang dimaksud adalah organisasi mahasiswa tingkat jurusan yang biasanya disebut himpunan.

Pada suatu ketika, Himpunan Mahasiswa Keperawatan, Kebidanan, dan Administrasi Rumah Sakit UMSB melantik bupati terpilihnya. Tahu siapa yang melantik? Ya, Gubernur BEM Fakultas Kesehatannya! Sayang, situs beritanya tidak merinci kegiatannya. Misal, berapa puluh menit yang dihabiskan untuk sambutan pejabat.

Bila urusan gubernur dan BEM-BEM provinsi ini hanya saya kulik lewat medsos, lain halnya dengan penggunaan bupati di kabupaten-kabupaten jurusan. Saya mencoba mengetahui tetek-bengek per-bupati-an ini mulai dari sejarah hingga pendapatnya. Untuk itu, saya menghubungi Muhammad Arif Rahman, Bupati Kabupaten/Himpunan Mahasiswa Fisika Universitas Riau (Himafi Unri).

Obrolan dengan bupati

Agak susah awalnya mencari jadwal wawancara dengan pak bupati. “Saya masih sibuk hari ini,” katanya yang kemudian menyarankan jadwal wawancara digeser keesokan harinya. Sebelumnya, dia bertanya Mojok (karena saya memperkenalkan diri sebagai reporter Mojok) ini kelembagaan apa, yang saya balas dengan kiriman link profil Instagram.

“Oh sudah centang biru. Boleh juga ini!” serunya sesaat setelah dia memencet link yang saya beri dan setelah itu, dia malah memajukan jadwalnya. “Malam ini bagaimana, Bang?” Saya tidak bisa dan dia bilang, “Kabarkan saya kalau bisa. Saya online 24 jam”. Pejabat paten!

Besoknya, kami berbincang via telepon. Dia bilang, dulu memang himpunannya menggunakan istilah biasa untuk ketua, yakni ketua umum. Lalu, agar menarik minat mahasiswa untuk bergabung, dipoleslah himpunan dengan membikinnya jadi mirip pemerintahan.

Ketua disebut bupati, mengingat di hirarki fakultas ada gubernur dan di universitas ada presiden. Divisi pun diubah jadi dinas. Lengkap sudah!

Menurut pengakuannya, anggota himpunannya merasa bangga menjadi aparatur pemerintahan kabupaten fisika ini di bawah komando Bupati Arif. Temuan yang membatalkan sementara klaim anak muda ogah jadi ASN.

“Kamu sendiri bagaimana? Bangga jadi bupati?”

“Bangga.”

Arif memang sungguh-sungguh untuk menggapai cita-cita menjadi bupati. Waktu, tenaga, dan finansial dikorbankannya. “Sekarang memang bupati di jurusan. Cuma ‘kan harapannya bisa jadi bupati beneran nantinya,” katanya sambil cekikikan dan tidak lama kemudian kami mengakhiri telepon wawancara.

Setelahnya, untuk menghormatinya, saya mengirim pesan: sukses terus, Pak Bup.

Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA 4 Nama Kementerian yang ‘Masuk’ ke BEM, Terobsesi Negara?

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

 

Exit mobile version