Meragukan Kenetralan Aparat dalam Aksi Gerakan #2019GantiPresiden

Diawali dengan pelarangan diskusi Ratna Sarumpaet di Bangka Belitung, kemudian berlanjut denga pemulangan Neno Warisman dari Riau, dan dipungkasi dengan pembubaran acara deklarasi #2019GantiPresiden di Surabaya, rentetan tiga insiden penolakan tersebut semakin menguatkan kesan ketidaknetraan aparat dalam isu dan aksi #2019GantiPresiden.

Penolakan dan pelarangan sejumlah tokoh penggerak aksi #2019GantiPresiden tentu saja membuat banyak pendukung gerakan meradang. Maklum saja, gerakan #2019GantiPresiden secara hukum memang sejatinya adalah gerakan yang sah. Tidak melanggar hukum.

“Gerakan #2019GantiPresiden adalah gerakan yang sah, legal & konstitusional,” kata Mardani Ali Sera, politisi PKS yang merupakan salah satu tokoh yang mempopulerkan gerakan ganti presiden.

Pelarangan demi pelarangan ini terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan lancarnya beberapa aksi deklarasi dukungan untuk presiden Jokowi. Mulai dari aksi skala nasional seperti acara Rembuk Nasional Aktivis 98, sampai deklarasi skala kelompok seperti yang dilakukan oleh Ahokers beberapa waktu yang lewat.

Hal itulah yang kemudian membuat banyak pihak meragukan kenetralan aparat perihal aksi-aksi berbasis gerakan politis. Gerakan yang arahnya condong mendukung Jokowi seolah dibiarkan, sedangkan gerakan yang arahnya ingin mengganti Jokowi (walaupun secara sah dan konstitusional) cenderung dipersulit.

Banyak tokoh yang kemudian secara blak-blakan mempertanyakan netralitas aparat terkait hal ini. Politisi Gerindra Fadli Zon, misalnya. Sosok yang menjabat sebagai wakil ketua DPR tersebut ikut menyesalkan langkah aparat penegak hukum yang turut menghalangi gerakan #2019GantiPresiden yang diperjuangkan oleh Neno Warisman.

Menurut Fadli, gerakan yang diperjuangkan oleh Neno merupakan salah satu bagian dari demokrasi, sehingga aparat seharusnya ikut mengawal.

“Saya ingin mengatakan kepada Pak Jokowi bahwa pola Riau ini berbahaya sekali kalau dibiarkan,” kata Fadli Zon. “Saya khawatir kalau tidak dikomentari ini akan menjadi gejala atau tren umum, bahwa aparatur kita menganggap peristiwa gerakan masyarakat sipil untuk menolak terpilihnya incumbent sebagai suatu gerakan yang ilegal padahal itu adalah opini.”

Fadli Zon juga mengatakan bahwa gerakan ganti presiden seharusnya dilawan dengan gerakan juga, misal gerakan #2019TetapJokowi, atau #JokowiDuaPeriode, bukannya malah dengan intervensi aparat yang terlalu jauh.

“Jadi opini kontra opini, demonstrasi kontra demonstrasi, secara damai. sebab secara itulah seharusnya, demokrasi memfasilitasi konflik dan perbedaan,” kata Fahri. “Lebih penting dari itu, aparat harusnya bisa menempatkan diri ketika ada dua kelompok yang berbeda pendapat. Bagaimana caranya agar aspirasi keduanya terfasilitasi.”

Sementara itu, Humas Deklarasi #2019GantiPresiden, Tjetjep M. Yasien juga ikut menyayangkan langkah pihak aparat yang dianggap tidak adil.

“Dalam undang-undang tidak diamanatkan polisi untuk menolak, tetapi menjaga kamtibmas, melindungi siapa pun yang melakukan aksi. Saya melihat perbuatan polisi sangat sewenang-wenang,” kata Tjetjep.

Nah lho… Gimana ini Pak Polisi? Kenetralan kalian dipertanyakan lho.

Please, jangan jawab “Hari gini, yang masih netral cuma Bagus, Eno, sama Coki”, sebab mereka pun sekarang juga sudah tidak netral, tapi NTRL. (A/M)

ganti presiden

Exit mobile version