Menelusuri Asal-usul Perploncoan di Ospek yang Sudah Ada Sejak Zaman Belanda

Menelusuri Asal-usul Perploncoan di Ospek yang Sudah Ada Sejak Zaman Belanda

Bendera Plontjo dikibarkan sebagai tanda aksi perploncoan mahasiswa baru dimulai pada 1953. (Sumber foto-Kagama online:Majalah Gadjah Mada Oktober 1953)

MOJOK.CO Ospek atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus menjadi masa transisi bagi mahasiswa baru dari dunia SMA ke kuliah. Ternyata sudah ada sejak zaman Belanda, saat mereka mendirikan perguruan tinggi di Indonesia.

Di berbagai perguruan tinggi di Indonesia tengah berlangsung ospek atau yang kini lebih dikenal dengan istilah Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Kegiatan ini berupaya menyiapkan mahasiswa baru (maba) melewati proses transisi menjadi mahasiswa yang dewasa dan mandiri, mempercepat proses adaptasi mahasiswa dengan lingkungan baru, dan memberikan bekal untuk keberhasilannya menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, kegiatan PKKMB bisa diisi dengan sejarah kampus, lembaga-lembaga yang ada di kampus dan jenis-jenis kegiatan akademik, sistem kurikulum. Serta cara pembelajaran yang efektif di perguruan tinggi, para pimpinan universitas, fakultas dan dosen dan lain-lainnya.

Itu tujuan idealnya. Namun, yang terjadi di lapangan, wadah transisi bagi mahasiswa baru justru identik dengan perpeloncoan yang tidak jarang adanya senioritas dan kekerasan. Bagaimana bisa? Untuk menjawab itu semua, kita harus kembali ke puluhan tahun silam.

Berawal dari STOVIA

Sebenarnya tidak ada sumber yang secara gamblang menjelaskan kapan pertama kali ospek muncul di Indonesia, begitu juga dengan budaya perpeloncoan. Melansir dari riset berjudul “Ospek dan Fenomena Kekerasan” perpeloncoan merebak di kampus-kampus di Indonesia pada 1950-an. Bersamaan dengan itu, protes menentang perpeloncoan menyebar.

Pemerintah pun mulai turun tangan dengan membuat peraturan. Namun, aturan itu ternyata tidak mampu menyelesaikan permasalahan. Kekerasan masih saja terjadi hingga menelan korban jiwa.

Masa lebih jauh lagi, sejarah ospek di Indonesia tidak lepas dari keberadaan Sekolah Kedokteran di Jawa atau yang orang mengenalnya dengan STOVIA. Pada kegiatan orientasi itu sudah muncul kegiatan perpeloncoan senior kepada junior yang memiliki sebutan Ontgroening.

Buku “Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926” memuat salah satu memoar Jacob Samallo. Ia menuliskan beberapa tindakan yang harus murid baru di Stovia lakukan. Seperti memanggil seniornya dengan sebutan tuan, membayarkan makanan yang senior pesan, mengelap sepatu, mengatur dipan, hingga apel tambahan di tengah malam. Masa perpeloncoan memang berat, tapi tidak ada kejadian buruk yang melewati batas.

Saat STOVIA berganti nama menjadi Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) yang militer Jepang lakukan, perpoloncoan dengan unsur kekerasan mulai terlihat. Salah satu budaya perpeloncoan yang terlihat adalah menggunduli kepala. Melansir dari Kompas.com, tradisi ini sempat Soedjatmoko protes dan beberapa tokoh nasional lainnya. Setelah Indonesia Merdeka, tradisi ospek dengan kekerasan itu masih terus berlanjut.

Ospek juga ada di Inggris dan Amerika Serikat

Tidak hanya di Indonesia, melansir riset berjudul “Ospek dan Fenomena Kekerasan“, Nur Kholis Madjid memaparkan, tradisi perpeloncoan juga terjadi di Universitas Cambridge di Inggris. Mahasiswa di kampus ini berasa; dari anak nagsawan Ingggris yang brorjuis. mereka memiliki strata sosial yang tinggi dan terhormat. Namun kelakuannya memang terkenal liar nakal dan tidak mengindahkan segala bentuk peraturan.

Melihat kondisi ini, pihak kampus kemudian membuat perombakan. Caranya, sebelum menjadi mahasiswa mereka harus melewati perpeloncoan terlebih dahulu. Menurut sebagian orang, di sinilah awal mula tradisi kekerasan ketika masuk perguruan tinggi bermula.

Sumber lain menyebut, perpeloncoan tercatat di Amerika Serikat sejak 1600-an ketika mahasiswa Universitas Oxford mengunjungi Harvard. Mahasiswa yang berkunjung itu diperkenalkan dengan budaya fagging. Sebuah budaya ketika murid yang lebih muda harus melayani murid yang lebih tua atau senior. Mereka juga diperkenalkan dengan aksi-aksi perpeloncoan yang lain.

Ternyata budaya perpeloncoan di kampus sudah terjadi sejak lama ya., Tidak heran jika memerlukan waktu panjang untuk menghapuskannya. Kalau kalian, pengalaman apa yang didapat saat mengikuti ospek?

Penulis: Kenia Intan
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Perubahan Nama PPSMB UGM dari Palapa ke Pionir, Apa yang Berbeda?

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version