MOJOK.CO – Adanya spekulasi tentang pelanggaran hukum dan HAM dalam Aksi 22 Mei membuat KontraS mendesak pemerintah untuk membentuk Tim Pencari Fakta.
Aksi 22 Mei memang sudah berlalu hampir dua minggu yang lalu, namun demikian, aksi tersebut masih menyisakan perkara yang sampai sekarang belum juga selesai.
Salah satu perkara yang paling menjadi perhatian serius tentu saja adalah jatuhnya delapan korban jiwa dalam kerusuhan 22 Mei tersebut. Perkara yang boleh jadi akan terus dipermasalahkan sebab sampai sekarang, belum ada kejelasan tentang penyebab kematian delapan orang dalam aksi tersebut.
Hal tersebut kemudian memunculkan spekulasi tentang adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam peristiwa 22 Mei 2019.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan LBH Pers pun kemudian mendesak pemerintah untuk membentuk Tim Pencari Fakta untuk mengusut dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam peristiwa 22 Mei.
“Kami menyimpulkan bahwa kasus tewasnya delapan orang selama kerusuhan 21-22 Mei ini masih belum bisa dijelaskan dengan terang, baik sisi penyebab kematian, aktor yang menembak korban dan senjata yang digunakan, dan status korban (apakah peserta aksi atau bukan),” kata Koordinator KontraS Yati Andriyani.
Selain menewaskan delapan orang, aksi 22 Mei juga menyebabkan beberapa orang ditangkap oleh pihak kepolisian. Penangkapan tersebut juga menjadi polemik tersendiri, sebab dalam prosesnya, muncul dugaan penganiayaan serta ketidaktaatan prosedur hukum oleh pihak kepolisian.
Seluruh permasalahan yang terjadi terkait dengan Aksi 22 Mei menurut Yati bisa diselesaikan salah satunya dengan membentuk Tim Pencari Fakta. Menurutnya, adanya Tim Pencari Fakta bisa menjadi bukti yang nyata bahwa pemerintah serius untuk menyelesaikan permasalahan penegakan hukum dan HAM dalam kasus 22 Mei.
“Tim ini di antaranya bekerja untuk menemukan fakta-fakta peristiwa dan rekomendasi, melakukan pengawasan atas proses hukum yang berjalan, memberikan perlindungan bagi saksi atau pelapor,” ujar Yati. “Harus tetap diperhatikan dengan sebegitu banyak jumlah yang ditangkap dan ditahan, bagaimana verifikasinya, akan menentukan apakah mereka bersalah atau tidak.”
KontraS sendiri bersama LBH Jakarta dan LBH Pers sejauh ini sudah menerima tujuh aduan terkait pelanggaran HAM aksi 22 Mei. Dari seluruh aduan yang masuk, terdapat pola pelanggaran yang sama.
“Berupa tidak diberikannya akses kepada keluarga untuk bertemu dengan anggota keluarganya yang ditangkap, tidak diberikannya tembusan surat perintah penangkapan dan penahanan, adanya penyiksaan, pelanggaran hak atas bantuan hukum, pelanggaran hak-hak anak hingga dugaan salah tangkap,” terang Yati.
Kematian 8 orang dalam aksi 22 Mei tersebut menjadi penambah beban bagi pemerintah yang sebelumnya harus menghadapi fakta tentang meninggalnya lebih dari 500 petugas KPPS selama penyelenggaraan pemilu 2019 beberapa waktu yang lalu.
Nah, monggo buat Pemerintah, wabil khusus Pak Jokowi. Itu sudah dikasih nasihat buat membentuk Tim Pencari Fakta. Ingat lho, Pak, pada titik tertentu, Indonesia ini tidak hanya butuh “Kerja, kerja, kerja”, tapi juga “Fakta, fakta, fakta”. (A/M)