Mempelajari Hidup dari Nama-nama Jalan Sepanjang Sumbu Filosofi Jogja

Sumbu Filosofi Jogja MOJOK

Sumbu Filosofi Jogja (keratonjogja.id)

MOJOK.COBelum lama ini UNESCO menetapkan Sumbu Filosofi Jogja menjadi warisan dunia. Segala sesuatu yang ada dalam garis imajiner itu ternyata memiliki makna filosofis, termasuk jalan-jalan yang menghubungkannya.

Sumbu Filosofi adalah konsep tata ruang yang dibuat Raja Pertama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono I, sekitar abad ke-18. Konsep tata ruang ini berupa struktur jalan lurus yang membentang antara antara Panggung Krapyak di sebelah selatan, Kraton Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta di sebelah utara. Pembentukan tata ruang ini berdasar konsepsi Jawa.

Jalan lurus menggambarkan perjalanan hidup manusia berdasar konsepsi Sangkan Paraning Dumadi. Perjalanan dari Panggung Krapyak ke Keraton mewakili filosofi sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia. Sementara perjalanan dari Tugu Golong Gilig menuju ke keraton mewakili filosofi paran (tujuan). Perjalanan manusia menuju penciptanya.

Nama jalan sepanjang Sumbu Filosofi

Nah, di antara Tugu Golong Gilig ke Keraton ada beberapa jalan yang saling terhubung. Dari sisi paling utara ke selatan ada Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, Jalan Margo Mulyo, dan Jalan Pangurakan.

Beberapa jalan dalam sumbu filosofi itu sebelumnya pernah menyandang nama lain. Jalan Margo Utomo pernah bernama Jalan Pangeran Mangkubumi. Sementara, Jalan Marga Mulyo pernah bernama Jalan Ahmad Yani. Paling ujung, Jalan Pangurakan pernah bernama Jalan Trikora A. Di antara jalan-jalan yang membentang di Sumbu Filosofi Jogja, hanya Jalan Malioboro yang sejak dahulu hingga sekarang bertahan.

Pada 2013, Sri Sultan HB X mengembalikan nama-nama jalan itu sesuai dengan aslinya. Sri Sultan HB X mengungkapkan, perubahan nama itu bukan berarti tidak menghargai pahlawan-pahlawan yang dijadikan nama jalan. Pengembalian ke nama asli untuk kembali mengingat bahwa Jogja merupakan Kota Cagar Budaya.

Menilik sejarahnya, jalan yang membentang antara Tugu Golong Gilig ke Keraton Jogja tidak lepas dari nilai-nilai penting kehidupan. Nilai filosofis itu berkaitan dengan Sumbu Filosofi Jogja antara Tugu Golong Gilig hingga Keraton Jogja yang menggambarkan tujuan atau paran.

Nama dan maknanya

Filosofi tujuan atau paran berawal dari Tugu Golong Gilig. Tugu ini berarti golongan cipta, rasa, lan karsa untuk menghadap Sang Khalik. Artinya, tugu ini hendak mengingatkan untuk menyatukan seluruh kehendak untuk menghadap Sang Pencipta. Demi mencapai itu, manusia perlu meninggalkan hal-hal buruk.

Dari Tugu Golong Gilig ke arah selatan ada Jalan Marga Utomo. Jalan ini bermakna menuju keutamaan. Setelahnya ada Jalan Malioboro yang berarti penggunaan obor sebagai penerang. Maksud penerang di sini  adalah para wali, manusia diharapkan mengikuti ajaran wali dan menjadi penerang kehidupan bagi lainnya.

Setelah Jalan Malioboro, ada Jalan Margo Mulyo yang berarti jalan menuju kemuliaan. Demi menuju ke sana, manusia harus mengusir nafsu-nafsu (ngurak) yang ada dalam hidup. Oleh karena itu terbentuklah Jalan Pangurakan yang berada paling dekat dengan alun-alun. Godaan-godaan duniawi  dalam Sumbu Filosofi Jogja digambarkan dengan Kompleks Kepatihan dan Pasar Beringharjo

Di zaman dahulu, pohon asam (asem) dan pohon gayam di sepanjang Jalan Margo Utomo hingga Jalan Margo Mulyo. Pohon asam melambangkan sengsem (ketertarikan). Pohon Gayam melambangkan ayom (ketenangan). Harapannya, orang yang melewati jalan itu akan merasa senang atau tertaik dan tenang atau nyaman.

Sebenarnya konsepsi paran berlanjut terus ke selatan melewati Alun-alun Utara dan bagian-bagian dalam kompleks Keraton. Ujungnya atau akhirnya berada di halaman Kedhaton yang ditanami jambu klampok arum (Syzygium jambos), dan kantil (Magnolia champaca). Tumbuh-tumbuhan itu berarti bahwa manusia harus selalu ingat berbuat baik.

Konsepsi paran berakhir di situ. Namun poros antara Tugu Golong Gilig, Keraton, dan Panggung Krapyak tidak hanya memiliki makna tunggal. Bagi Raja Keraton Jogja, poros ini memiliki makna berbeda. Arahnya bukan dari Tugu ke Keraton, tetapi sebaliknya. Begitu juga pada garis imajiner antara keraton menuju Panggung Krapyak.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Agung purwandono

BACA JUGA Di Balik Status Warisan Dunia: Mereka yang Tergusur karena Sumbu Filosofi
Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version