MOJOK.CO – Festival seni rupa Nandur Srawung hadir lagi di Yogyakarta. Pameran seni ini sudah berjalan selama 10 tahun. Apa yang berbeda di tahun ini?
Sejak pertama kali dihelat pada 2014, Nandur Srawung–salah satu festival seni rupa tahunan di Yogyakarta–berhasil menyelenggarakannya selama sepuluh tahun berturut-turut. Itulah hal dasar yang disampaikan dalam konferensi persnya di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta pada Senin (14/8/2023)
Konferensi pers Nandur Srawung ini dihadiri oleh seluruh kuratornya, antara lain: Rain Rosidi, Irene Agrivina, Bayu Widodo, Sudjud Dartanto, dan Arsita Pinandita.
Selain kabar konsistensi tersebut, di konferensi pers mereka juga menyampaikan perihal yang baru dan yang bikin beda dengan festival seni rupa lainnya. Mereka juga menjelaskan apa saja yang masih dipertahankan setelah satu dekade pameran Nandur Srawung digelar. Pameran Nandur Srawung rencanannya akan hadir pada 15-28 Agustus 2023 di Taman Budaya Yogyakarta.
Yang baru dan yang berbeda
Salah satunya, yang paling kentara adalah perubahan jenama dan logo, NS X, singkatan dari “Nandur Srawung X”. Perubahan ini dilakukan demi menyesuaikan dengan zaman. “Logo dan jenama yang simplistik, selain mudah diaplikasikan ke segala media promosi, juga terasa lebih modern,” jelas Arsita dengan membandingkan logo bertipe handwriting edisi lalu.
Berkenaan dengan tema, “Habitat Lokacarita”, NS X hendak mengedepankan ekspresi berkesenian masing-masing seniman yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya-habitat.
Bukan hanya jadi kerangka kurasi pameran, tema tersebut juga mendasari program residensi atau live-in yang bertajuk “Nandur Gawe”. Total ada empat lokasi residensi yang seluruhnya berstatus Cagar Budaya, yakni: Bulurejo, Kulon Progo; Ketandan, Kota Yogyakarta; Makam Seniman Giri Sapta, Bantul; Pesanggrahan Ambarukmo, Sleman; dan Pohon Resan, Gunung Kidul.
Bagi Sudjud, distribusi lokasi kegiatan yang merata di tiap kabupaten/kota juga jadi pembeda Nandur Srawung dengan festival seni rupa lainnya di Yogyakarta. “Memang, sejak awal kita punya semangat untuk memberdayakan masyarakat seni di level lokal. Bukan hanya tentang nilai melainkan juga stakeholder Yogyakartanya. Ini merupakan amanah dari Taman Budaya Yogyakarta,” ujar Sudjud.
Tentang pembeda dan juga kebaruan, Bayu menjadikan NS X Lab sebagai contohnya. Menurutnya, jarang gelaran seni rupa yang memberikan lokakarya secara teknis tentang pamerannya itu sendiri. Untuk itu, lewat NS X Lab, diadakanlah lokakarya seperti menyusun proposal pameran, art handling, dan exhibition making.
“Saya rasa, hanya Nandur Srawung festival yang memberikan pelajaran dasar dan teknis tentang pameran seni rupa,” ucapnya percaya diri. Bagi Bayu, lokakarya semacam ini perlu agar akses ilmu pengetahuannya tidak hanya berhenti di sekolah resmi.
Yang Bertahan
Tidak hanya berinovasi, NS X juga melanjutkan beberapa komitmen dan konsep yang sudah dimulai pada edisi-edisi sebelumnya. Rain menyampaikan, gelaran tahun ini meneruskan semangat berkesenian yang terbuka. “Sejak NS 5 [2018], kami meyakini bahwa ‘masyarakat seni’ tidak pernah berdiri sendiri. Selalu jadi bagian dari masyarakat yang lebih luas,” ungkapnya.
Konsekuensi teknisnya bukan hanya pada penghilangan sekat disiplin seni rupa dalam merencanakan pameran melainkan juga pada isu dan programnya. “Tahun ini, tata letak karya didasarkan pada isu seperti aktivisme, lingkungan, atau teknologi; bukan disiplin seni,” jelas Rain.
Di luar itu, seperti yang tertulis di situsnya, mulai NS 5 pula digencarkan program-program publik. Semua itu demi mengubah NS bukan lagi perayaan ‘masyarakat seni’ seperti cita-cita awal embrionya, yakni festival “Rupa-Rupa Seni Rupa”. “Lebih luas lagi, yaitu cara masyarakat merayakan seni di ruang publik,” tukas Rain.
Di samping hal mendasar tentang sasaran kegiatan, NS X juga meneruskan semangat internasionalisnya. “Tahun ini ada partisipan dari Mesir, Jerman, Austria, dan India,” papar Arsita tentang kepesertaan yang mencakup mancanegara, terobosan yang dimulai sejak 2019.
Arsita juga menekankan tentang kuratorial NS X yang, “Membicarakan isu-isu universal lewat pengetahuan lokal sebagai titik berangkatnya”. Ini juga, imbuhnya, sesuai dengan visi UU Pemajuan Kebudayaan yang mengedepankan lokalitas.
Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Editor: Purnawan Setyo Adi