Ketika Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan Dikemas dalam Satu Film 

Salah satu potongan adegan dalam film "Rahmat Untuk Semua" yang jadi bagian dari film ombinus "Tiga Dosa Besar". (Dok. Dapur Film)

MOJOK.COSetidaknya ada tiga isu besar yang masih sering terjadi dalam lingkungan pendidikan, yaitu sexual harassment atau pelecehan seksual, bullying (perundungan), dan intoleransi. Tiga isu dikemas dalam sebuah film omnibus “Tiga Dosa Besar” yang diputar Jumat 15 Juli 2022 di ruang tonton Mamahke Jogj, Jalan Taman, Patehan Yogyakarta. 

Tidak kurang dari 100 orang menyaksikan pemutaran film omnibus yang diproduksi oleh Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta diproduseri oleh Hanung Bramantyo

Film ini juga melibatkan tiga sutradara muda asal Yogyakarta, Ninndi Raras, Jeihan Angga, dan Bambang Ipung KM. Film omnibus sendiri berarti adalah film antologi yang terdiri dari beberapa film pendek yang mempunyai satu irisan tema yang sama. Kali ini tema yang diangkat adalah tiga dosa besar masalah di pendidikan di Indonesia.

Film omnibus yang bertajuk “3 Dosa Besar” ini terdiri dari 3 film, yaitu Sebuah Biru Di Putih Abu Abu, My Name Is Ichsan, dan Rahmat Untuk Semua

Cerita film pertama yang berjudul Ada Biru di Putih Abu Abu tentang Amay, seorang siswi SMA yang mengalami konflik batin dan sekaligus konflik eksternal dengan beberapa pihak di luar dirinya. Ini buntut dari sebuah tindakan pelecehan seksual yang terjadi di sekolahnya. 

Namun, gara-gara sejarah dan tingkah laku bandel tokoh Amay selama ini, maka tak semua orang mudah percaya dengan ceritanya. Film pendek ini menghadirkan beberapa simbol dan metafora visual yang kuat, khas signature dari sutradara Ninndi Raras.

Cerita Film kedua yang berjudul My Name Is Ichsan, bercerita tentang kasus bullying atau perundungan yang terjadi pada Ichsan dan Gito. Ichsan dan Gito adalah siswa lulusan sekolah dasar, yang baru saja masuk ke sebuah sekolah SMP. Banyak sekali adegan kocak yang terdapat dalam film besutan sutradara Jeihan Angga, yang selama ini memang terkenal dengan sebutan sutradara spesialis komedi dari Jogja.

Sementara film ketiga adalah film yang paling serius. Film yang berjudul Rahmat Untuk Semua ini menyajikan tema yang paling sensitif yaitu tentang intoleransi beragama dalam lingkungan sekolah.  Dikisahkan Maria, seorang siswi baru pindahan dari sekolah lain, mencalonkan diri sebagai ketua OSIS di SMA Unggulan. Maria sejak awal dipandang sebelah mata. Faktor pertama, karena dia adalah seorang perempuan, dan kedua dia berasal dari kalangan agama minoritas.

tiga dosa besar
Pemutaran dan diskusi film “Tiga Dosa Besar” menghadirkan tiga sutradara yang terlibat. (Dapur Film?mojok.co)

Maria lantas dengan susah payah berjuang untuk mencapai cita-citanya menjadi ketua OSIS, demi untuk menge-goal-kan program-program agar suara kaum minoritas bisa lebih bersuara. Maklum saja kaum minoritas di sekolah itu selama ini memang tidak pernah dianggap. 

Sementara di pihak lain pihak otoritas di sekolah menginginkan ketua OSIS haruslah dijabat oleh seorang muslim, demi membela kepentingan mayoritas. Di dalam film yang mengharukan ini, secara ledakan emosi para tokoh utama sangat mantap dipoles secara terjaga oleh sutradara Bambang Ipung KM.

Film omnibus ini sendiri konon juga masih belum diputuskan secara final bagaimana proses pendistribusian dan cara eksebisi film ini nantinya. Apakah mau diputar di sekolah-sekolah atau lewat media sosial atau bisa jadi lewat OTT (Over The Top) kanal berbayar. “Semua keputusan tentang distribusi masih menunggu keputusan final dari kementerian pendidikan pusat”, demikian penjelasan dari Jeihan Angga mewakili pihak produser.

Dalam diskusi bersama para penonton yang digelar setelah pemutara film tersebut, Ketiga sutradara dari tiga film tersebut yaitu Ninndi Raras (Ada Biru di Putih Abu Abu), Jeihan Angga (My Name Is Ichsan), dan sutradara Bambang Ipung KM (Rahmat Untuk Semua) menceritakan sedikit kisah dibalik layar dan proses kreatif dibalik produksi ketiga film pendek yang kemudian disatukan dalam satu film omnibus ini.

“Dalam setiap proses produksi film, para filmmaker haruslah berusaha menciptakan tantangan baru. Agar selain merasakan kesenangan saat syuting, kita sebagai filmmaker juga akan menemukan penemuan baru dan pencapaian yang lebih baik dari proses film sebelumnya,” kata Ninndi Raras.

Sementara itu Jeihan Angga, menyatakan bahwa di proses produksi kali ini yang menjadi tantangan terbesar adalah menyutradarai banyak sekali anak-anak. Maklum saja, ia harus mengarahkan aktor anak-anak seusia SD akhir dan anak usia SMP. Itu adalah proses yang menyenangkan sekaligus tantangan baru buat dirinya.

Sementara itu sutradara Bambang Ipung KM menjelaskan bahwa dalam membuat film ini sutradara tidak bisa semena-mena memenuhi ego estetik dan artistiknya sendiri, karena bagaimanapun juga ini adalah film campaign, bukan film idealis. Jadi dalam proses haruslah juga membuka ruang toleransi seluas-luasnya dan harus bersikap akomodatif dengan semua masukan dari klien. 

BACA JUGA: Ari Headbang, Maniak Film dari Solo

Exit mobile version