Gali Alun-alun Utara, Keraton Yogyakarta Ingin Kembalikan ‘Laut Tak Berpantai’

keraton yogyakarta ganti tanah alun-alun utara

Penggantian tanah pasir di Alun-alun Utara dilakukan Keraton Yogyakarta. (Yvesta Ayu/Mojok.co)

MOJOK.CO – Keraton Yogyakarta menggali Alun-alun Utara untuk dikembalikan seperti semula. Revitalisasi yang rencananya berlangsung empat bulan ini akan menjadikan kawasan tersebut layaknya laut tak berpantai. 

Sejak beberapa hari terakhir, Keraton Yogyakarta punya gawe. Alun-alun Utara yang sejak pertengahan 2021 lalu dipagari tanpa aktivitas saat ini mulai nampak dibenahi.

Dua eskavator melakukan pengerukan tanah yang berada di dekat dua pohon beringin kurung Kiai Dewadaru dan Kiai Wijayadaru. Truk pasir pun keluar masuk kawasan tersebut dengan penjagaan sejumlah pekerja.

Wakil Penghageng II Tepas Panitikisma Keraton Yogyakarta, KRT Suryo Satriyanto, Kamis (14/04/2022) mengungkapkan, aktivitas ini dilakukan Tepas Panitikisma selaku penanggungjawab aset-aset Keraton. Mereka tengah melakukan pemuliaan Alun-alun Utara dengan melakukan penggantian pasir.

Tanah di Alun-alun Utara telah mulai digali secara bertahap sejak Minggu (03/04/2022) silam. Ditargetkan penggantian pasir akan selesai dalam empat bulan ke depan pada Juli 2022.

“Aktivitas itu dilakukan untuk memperbaiki kondisi tanah di Alun-alun Utara. Selama ini, terdapat banyak aktivitas yang menyebabkan kondisi alun-alun kurang ideal. Material asli penyusun alun-alun yakni pasir, telah tercampur dengan banyak material lain karena kegiatan yang dilaksanakan di Alun-alun Utara sering tidak inline dengan kelestarian alun-alun ditambah lagi sistem drainase kurang memadai,” paparnya.

Menurut Suryo, sejak pemuliaan dilakukan, terdapat tumpukan benda-benda yang tidak seharusnya berada di alun-alun. Tak hanya timbunan sampah, spanduk, namun juga pondasi beton untuk kegiatan temporer yang pernah digelar di alun-alun. 

“Oleh karenanya, kami mengembalikan tanah Alun-alun Utara ke material aslinya yakni pasir, sangat penting untuk menjaga kemuliaan serta kelestarian alun-alun sebagaimana mestinya,”  jelasnya. 

Mengutip laman Kratonjogja.id, bentuk awal dari Alun-alun Utara adalah permukaannya ditutup dengan pasir lembut. Ini sebagai penggambaran laut tak berpantai yang merupakan perwujudan kemahatakhinggaan Tuhan. Di tengah-tengah alun-alun ada dua beringin yang menggambarkan konsepsi mangunggaling kawula Gusti, atau bersatunya rakyat dengan raja  dan bertemunya manusia dengan Tuhan. 

Suryo menambahkan, pasir yang digunakan untuk mengganti tanah di alun-alun tersebut merupakan pasir yang berasal dari tanah Kasultanan. Pengambilan pasir telah melalui proses pemilihan dan pertimbangan tim di internal Kasultanan. 

Sebelum melakukan proses penggalian, Tepas sudah melakukan rapat koordinasi dengan berbagai instansi serta dinas terkait maupun masyarakat di sekitar lokasi pengambilan pasir. Prosesnya dilakukan bergantian dengan menukar material yang ada di Alun-alun dengan pasir yang telah dipilih. 

“Material dari Alun-alun Utara tersebut kami gunakan untuk menutup bekas galian pasir di wilayah pengambilan pasir,” paparnya.

Suryo menyebutan, proses pemuliaan ini juga merupakan langkah keraton dalam merawat aset-aset Kagungan Dalem Keraton Yogyakarta. Selain itu sebagai bentuk dukungan dalam mewujudkan Jogja sebagai Kota Warisan Dunia. 

“Hal ini juga termasuk sebagai salah satu pengejawantahan konsep menjaga dan memperindah keindahan dunia, Memayu Hayuning Bawono,” paparnya.

Sebelumnya Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura atau Sekretariat Negara Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono mengungkapkan pengerukan tanah di Alun-alun Utara tersebut bukan tanpa alasan. Keraton Yogyakarta ingin mengembalikan Alun-Alun Utara sesuai fasadnya.

“Iya, fasadnya dikembalikan seperti dulu,” jelas puteri kedua Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X tersebut.

Tanah Keraton seluas 300 x 300 meter persegi tersebut, menurut Condrokirono dibersihkan. Sebab selama puluhan tahun, banyak sampah yang mengendap di Alun-Alun Utara.

Beragam aktivitas masyarakat seperti Pasar Malam dan lainnya seringkali menyisakan sampah. Akhirnya sampah yang tak terbuang masuk ke dalam tanah di kawasan tersebut.

“Alun-alun [utara] dibersihkan, banyak sampah yang puluhan tahun mengendap disitu,” paparnya.

Selain dikeruk dan dibersihkan sampah yang mengendap, Keraton Yogyakarta juga mengganti tanah di Alun-alun tersebut dengan yang baru. Karenanya terlihat truk pasir sering keluar masuk kawasan tersebut. Namun Condrokirono tidak menyebutkan dari mana Keraton Yogyakarta mengambil pasir baru untuk Alun-alun Utara.

Penambahan pasir baru tersebut sesuai fasad Alun-alun Utara. Dalam laman Keraton Yogyakarta, dahulu kala seluruh permukaan Alun-alun Utara ditutup dengan pasir lembut. Hal ini merupakan penggambaran laut tak berpantai yang merupakan perwujudan dari kemahatakhinggaan Tuhan.

Secara keseluruhan, makna alun-alun beserta kedua pohon beringin di tengahnya menggambarkan konsepsi manunggaling kawula Gusti, yakni bersatunya raja rakyat dengan raja dan bertemunya manusia dengan Tuhan.

“Kan yang kemarin [tanah alun-alun utara] itu sudah kotor, jadi diganti baru, dikembalikan seperti dulu,” tandasnya.

Kehadiran Alun-Alun Utara sesuai fasadnya memenuhi berbagai fungsi dan peran keraton sebagai pusat pemerintahan. Ruang terbuka luas ini menjadi perangkai berbagai elemen kawasan di sekitarnya, baik secara tata ruang maupun secara sosial. Misalnya antara keraton dan Masjid Gedhe, atau antara Sultan dan rakyatnya.

Berdasarkan informasi Keraton Yogyakarta, kawasan tengah Alun-alun Utara berdiri dua pohon beringin kurung yang bernama Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru atau saat ini dinamai Kiai Wijayadaru. Menurut Serat Salokapatra, benih Kiai Janadaru berasal dari Keraton Pajajaran, sementara Kiai Dewadaru benihnya berasal dari Keraton Majapahit.

Sedangkan di sisi utara dan sisi selatan juga berdiri sepasang pohon beringin. Beringin di utara bernama Kiai Wok dan Kiai Jenggot dan pohon di sisi selatan bernama Agung dan Binatur.

Sebanyak 62 pohon beringin mengelilingi Alun-Alun Utara. Dengan tambahan dua pohon beringin di tengah alun-alun, maka total terdapat 64 pohon beringin di kawasan tersebut. Jumlah ini menggambarkan usia Nabi Muhammad SAW ketika meninggal dalam perhitungan Jawa.

Reporter: Yvesta Putu

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Sultan Ground Kena Tol, GKR Mangkubumi: Yang Penting Tanah Kami Tidak Hilang  dan kabar terbaru lainnya di KILAS.

Exit mobile version