MOJOK.COÂ – Krisis pangan global jadi ancaman banyak negara, termasuk Indonesia saat ini. Persoalan ini menambah panjang masalah pertanian di negara ini. Salah satu yang bisa jadi solusi adalah pengembangang padi apung yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian UMY.Â
Kementerian Pertanian mencatat, lahan pertanian semakin menyusut akibat alih fungsi lahan yang dimanfaatkan untuk bangunan, SPBU, kawasan wisata dan lainnya yang mencapai lebih dari 100 ribu hektar (ha) per tahunnya. Sedangkan sekitar 1.400 hektar (ha) lahan subur atau produktif di Pulau Jawa menghilang.
Melihat persoalan ini, tim peneliti Fakultas Pertanian UMY mengembangkan budidaya padi apung di lahan gambut atau marjinal. Berbasis kearifan lokal, sistem padi apung ini bisa menambah produksi padi di Indonesia dengan memanfaatkan lahan-lahan gambut yang selama ini banyak ditinggalkan karena dianggap tak produktif.
Budidaya yang awalnya dikembangkan di Kalimantan Timur ini berhasil menghasilkan panen sekitar 4 ton per hektar. Karenanya apabila dikembangkan secara optimal maka bisa menjadi salah satu cara mengatasi krisis pangan di negara ini.
“Berawal dari lahan gambut di Kaltim, kami kembangkan prototipe sistem padi apung yang di Jawa,” papar tenaga ahli pertanian UMY, Mulyono usai panen padi apung di Yogyakarta, Rabu (04/01/2023).
Sistem padi apung berbeda dibandingkan penanaman padi biasanya. Namun dipastikan memiliki kualitas yang sama.
Padi apung ditanam di media tanam berupa botol bekas. Botol diisi 50 persen bulu ayam dan 50 persen sisanya kompos yang digunakan sebagai nutrisi.
“Kompos kami buat dari campuran gergaji kayu dengan kotoran ternak dan diformulasikan dengan tetes tebu,” jelasnya.
Menurut Mulyono, benih padi berumur satu bulan dimasukkan dalam media tanam dan dimasukkan dalam rakit sederhana dari bahan bambu agar mengapung di rawa dengan alas berupa karet spon ati. Satu botol bekas ditanam satu bibit padi agar berkembang dengan baik.
Dengan sistem ini maka petani tidak perlu lagi menambah pupuk selama empat bulan masa tanam. Hal ini penting agar petani bisa menghemat pengeluaran mereka.
Namun saat ini belum semua varietas padi bisa dikembangkan menggunakan teknologi padi apung ini. Baru varietas Rojo Lele bisa dipanen empat bulan dan IR 64 yang berhasil dipanen dalam waktu tiga bulan.
“Hasilnya memang belum seperti tanaman padi di lahan biasa, namun setidaknya bisa menjadi solusi di lahan marjinal,” jelasnya.
Mulyono menambahkan, sistem ini juga tidak menyebabkan pendangkalan di rawa. Penanaman padi apung ini justru membuat air semakin bersih.
“Akar padi mengikat lumpur dan membuat air menjadi jernih,” jelasnya.
Sementara Rektor UMY, Gunawan Budiyanto mengungkapkan pengembangan teknologi padi apung di lahan gambut bukan tanpa masalah sehingga harus menggunakan cara khusus. Untuk itu beberapa peneliti agroteknologi UMY melakukan penelitian di kawasan rawa-rawa selama dua tahun.
“Kalau menanam padi dengan cara biasa di lahan gambut tenggelam sebelum dipanen. Jadi kalau menanam padi di lahan gambut posisi padi harus terapung ke atas,” tandasnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi