Dwi Hartanto, Kebohongan, dan Kebutuhan Akan Pengakuan

Dalam kehidupan sosial, manusia secara naluriah selalu membutuhkan pengakuan sebagaimana termaktub dalam teori Hierarki Kebutuhan yang pernah disampaikan Mas Maslow.

Kebutuhan akan pengakuan selalu dicari oleh setiap orang untuk mengaktualisasikan diri. Nah, dalam proses pencarian ini, tak jarang seseorang berani melakukan apa saja demi mendapatkan pengakuan atas dirinya.

Dalam hal ini, Dwi Hartanto agaknya menjadi contoh yang jelas. 

Dwi Hartanto, seorang ilmuwan Indonesia yang saat ini sedang kuliah di Technische Universiteit (TU) Delft, Belanda, baru-baru ini memang membikin geger publik karena ketahuan berbohong atas prestasinya.

Sebelumnya, Dwi Hartanto yang disebut sedang menjalani studi post-doctoral di TU Delft ini ikut menggarap penelitian mengenai keamanan nasional di Kementerian Pertahanan Belanda, European Space Agency (ESA), National Aeronautics and Space Administration (NASA), Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), serta Airbus Defence and Space.

Dwi sempat menyatakan kepada berbagai media bahwa dirinya memiliki 5 hak paten. Bahkan ia juga mengaku bersama timnya berhasil membuat satellite launch vehicle (SLV) dengan didanai oleh Kementerian Pertahanan Belanda dan Laboratorium Antariksa Nasional Belanda.

Kepada media, Dwi juga mengatakan bahwa dirinya merupakan lulusan Tokyo Institute of Technology, Jepang.

Aneka prestasi mentereng ini kemudian mengantarkan Dwi mendapatkan penghargaan dari KBRI Den Haag.

Sayang seribu sayang, aneka prestasi yang disebutkan tadi ternyata bohong belaka. Hal tersebut terkuak setelah dilakukannya investigasi oleh alumni dan PPI Delft mengenai klaim prestasi-prestasi Dwi Hartanto yang selama ini muncul ke permukaan.

Pada kenyataannya, Dwi memang melanjutkan studi di TU Delft, tapi ia mengambil konsentrasi yang tidak berkaitan dengan dunia antariksa maupun teknologi jet tempur sebagaimana klaimnya selama ini.

Soal hak paten yang sempat digembar-gemborkan itu juga ternyata tidak benar-benar ada.

Dwi pun ternyata bukan lulusan Tokyo Institute of Technology seperti yang disebutkan, melainkan lulusan Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, institut yang banner-nya terpampang jelas di bangjo prapatan Palbapang, Tempel itu.

Terbongkarnya kebohongan ini pun mau tak mau memaksa Dwi untuk langsung meminta maaf kepada publik.

“Saya mengakui bahwa kesalahan ini terjadi karena kekhilafan saya dalam memberikan informasi yang tidak benar (tidak akurat, cenderung melebih-lebihkan), serta tidak melakukan koreksi, verifikasi, dan klarifikasi secara segera setelah informasi yang tidak benar tersebut meluas,” begitu tulis Dwi dalam klarifikasinya.

Buntut dari peristiwa ini, Dwi kemudian mendapat banyak cibiran dari banyak pihak. Dwi juga harus menjalani serangkaian sidang etik yang diselenggarakan di kampus Delft. Selain itu, penghargaan dari KBRI juga dicabut.

Tentu sangat disayangkan ketika gara-gara kebutuhan akan sebuah pengakuan, Dwi sampai berani berbohong dan kemudian bikin kecewa banyak pihak, dari mulai kawan-kawannya yang telah mendukungnya, pihak kedutaan yang sudah keluar ongkos untuk bikin penghargaan, orang-orang Indonesia yang sudah kadung berharap, sampai berbagai media yang kemudian jadi punya beban untuk melakukan klarifikasi karena telah ikut menyebarkan informasi palsu.

Yah, semoga hal ini bisa menjadi pembelajaran untuk Mas Dwi. Jangan pernah bohong soal prestasi akademis, sebab kalau ketahuan, dampaknya bakal fatal. Kalau sekadar bohong bilang belum punya pacar padahal sudah, itu sih boleh-boleh saja, sebab itu tidak ada tanggung jawab akademisnya, risikonya mentok cuma digampar sama pacar kalau ketahuan, nggak sampai ditarik penghargaannya.

Dwi hartanto

Exit mobile version