MOJOK.CO – Pernah mewakili Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Mengapa pelukis Affandi bisa selamat saat pembersihkan kader dan simpatisan PKI pada tahun 1965?
Mendengar kata “Jalan Gejayan” yang terlintas di kepala saya adalah tempat kampus saya berada, kemacetan, dan revolusi. Sejak menjadi mahasiswa baru pada 2017 lalu, saya akrab dengan Jalan Gejayan karena tiga hal tadi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ruas Jalan Gejayan selalu macet setiap pagi dan saat jam pulang kantor. Tak sedikit pula yang sudah tahu kalau jalan ini menyimpan cerita sejarah tentang revolusi; dari meletusnya Reformasi 1998 hingga Gejayan Memanggil.
Namun, yang belakangan mulai saya sadari, Jalan Gejayan ternyata menjadi “legasi” Partai Komunis Indonesia (PKI) di Yogyakarta yang paling awet hingga hari ini.
Hal ini terkait dengan perubahan nama Jalan Gejayan ke Jalan Affandi, dan pembuatan monumen kecil yang terletak di perempatan Ringroad Condongcatur.
Affandi, seniman merah yang berpolitik dari Yogyakarta
Affandi dikenal luas sebagai seorang pelukis terkemuka dengan aliran ekspresionis—yang bikin dia dapat gelar Honoris Causa University of Singapore (1974). Namun, siapa sangka bahwa ia juga seorang aktivis kiri, yang kala itu terafiliasi dengan PKI.
Bahkan, Affandi adalah anggota legislatif PKI yang berhasil melenggang ke parlemen pada Pemilu 1955.
Dalam sejarah, PKI berhasil memenangkan Pemilu 1955 di Kota Yogyakarta. Dari sekian banyak caleg yang PKI usung di Yogyakarta kala itu, nama Affandi menempati nomor urut satu.
Meskipun secara teknis ia bukan merupakan kader, penempatannya di nomor urut teratas mengindikasikan bahwa Affandi adalah sosok yang diperhitungkan dalam skena politik masa itu.
Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku (2008) karya Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M. Dahlan, PKI memang cukup fleksibel mengusung “seniman non-PKI” sebagai caleg mereka, termasuk Affandi.
Meski yang mencalonkan PKI, Affandi bersama beberapa seniman lain masuk dalam golongan seniman yang tidak berpartai.
Pada Pemilu 1955, partai ini bahkan jadi peserta pemilu dengan caleg seniman non-partai terbanyak.
Jadi anggota parlemen wakili Partai Komunis Indonesia
Singkat cerita dalam perebutan kursi Konstituante, Affandi terpilih sebagai anggota parlemen. Ia berada di komisi Perikemanusiaan pimpinan Wikana, salah seorang tokoh yang andil dalam persiapan proklamasi Indonesia sekaligus teman dekatnya.
Sayangnya, masa jabatan Affandi di Konstituante tak berlangsung penuh karena lembaga ini dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 1959.
Selain sebagai anggota parlemen dari fraksi kiri, Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Organisasi kebudayaan yang terafiliasi dengan PKI. Di Lekra, Affandi berada di bagian seni rupa atau Lesrupa (Lembaga Seni Rupa).
Saat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) meletus, PKI ditumpas, begitu juga dengan Lekra yang akhirnya dibubarkan. Namun, berbeda dengan beberapa aktivis kiri lainnya, Affandi mendapat nasib yang lebih beruntung karena ia bebas dari kelamnya “musim menjagal” itu.
Affandi bisa selamat dari pembersihan itu tak lepas dari peran Bagong Kussudiardja, ayahanda budayawan Butet Kartaredjasa ini saat itu dekat dengan militer. Bahkan menjadi anggota dan penasehat Badan Kerjasama Budayawan dan Militer. Kepercayaan itu Bagong gunakan untuk menyelamatkan seniman-seniman yang ditangkap militer agar tidak dibunuh.
Termasuk sosok Affandi yang saat itu mengalami interogasi dan penahanan di tahanan Benteng Vrederburg.
Di Orde Baru, Affandi juga termasuk seniman kiri yang selamat, bahkan mendapat penghargaan Bintang Jasa Utama dari Presiden Republik Indonesia Soeharto pada tahun 1978.
Affandi abadi di Jalan Gejayan
Sejak 20 Mei 2007, Jalan Gejayan resmi mengubah namanya menjadi “Jalan Affandi”. Bahkan, setahun sebelumnya pada 10 Agustus 2006, Bupati Sleman Ibnu Subiyanto, membangun sebuah monumen di perempatan Ringroad Condongcatur.
Menurut laporan Detik (2006), wacana perubahan nama jalan ini untuk mengenang nama Affandi sebagai salah satu pelukis sohor di Yogyakarta.
Namun, sebagaimana pemaparan PJM Nas dan Freek Colombijn dalam penelitiannya berjudul “The Symbols Side of Urbanism” (1993) bahwa “penamaan jalan itu sebenarnya sangat politis”.
Katanya, “penamaan jalan bukan sekadar memberi nama, tetapi juga merepresentasikan sesuatu yang berhubungan dengan sejarah dan kekuasaan”.
Itulah sebabnya mengapa ada banyak jalan menggunakan nama-nama pahlawan—yang sebagian besar adalah tokoh militer. Hal itu pulalah yang menjadi alasan mengapa ada banyak daerah, seperti Jawa Barat sebelum 2022, yang “haram” menamai jalannya dengan unsur Majapahit karena punya noda sejarah, misalnya.
Selain sebagai simbol politik, pengajuan nama jalan pun juga harus melewati mekanisme ruwet dan tak sebentar. Secara umum ada delapan regulasi yang mengatur soal penamaan/pergantian nama jalan. Tapi pada intinya, “penamaan jalan harus punya tujuan memasyarakatkan keteladanan dan menumbuhkan semangat kepahlawanan dan kepatriotan demi kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara”.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Menelusuri Jejak UNRA Mataram, Kampus PKI yang Berada di Lingkungan Keraton Yogyakarta
Cek berita dan artikel lainnya di Google News