MOJOK.CO – Apakah saya masih ditemani Noni Belanda? Kayaknya masih. Dari Cepu, semuanya berasal. Kapan berakhir? Entah.
Sebenarnya, ini draf tulisan kedua yang mau saya kirim ke Mojok. Bahkan jujur, awalnya saya tidak berniat untuk mengirimkannya. Tapi entah kenapa, rasanya cerita ini yang membuat saya lebih semangat untuk menulis. Apakah pengaruh mistis? Hiii… amit-amit.
Perkenalkan, saya pria dewasa, sudah cukup umur untuk mengucapkan kata-kata kasar dan tidak punya kemampuan gaib. Hanya kadang, saya bisa “berkenalan” dengan lelembut atau setan melalui mimpi, khususnya di tempat-tempat baru yang saya datangi, dengan catatan lelembut di tempat itu usil. Kalau mereka friendly, nggak bakalan terjadi apa-apa selama saya tidur.
Kisah mistis dan paling membekas bagi saya selama hidup ini terjadi di pertengahan 2007. Waktu itu, saya dan beberapa teman di komunitas motor berangkat ke Cepu, Jawa Tengah, untuk menghadiri acara pernikahan teman satu komunitas.
Di rombongan kondangan kami, ada duo Pemalang yang kebetulan cukup ahli dalam hal gaib. Namanya Edi dan Deni yang akrab dipanggil Gondrong. Karena masih libur Lebaran, kami tidak berangkat bersamaan dari Jogja menuju Cepu. Rombongan dari Jogja menentukan titik kumpul di Semarang untuk bertemu Edi dan Gondrong dan beberapa teman dari Jakarta, untuk kemudian berangkat ke Cepu.
Sampai Cepu, semua berjalan lancar sesuai rencana. Mulai dari urusan penginapan, kuliner, daftar tempat menarik di Cepu dan kedai-kedai arak yang perlu kami datangi selama di sana.
Minum alkohol sembarangan di Cepu beresiko diangkut Satpol PP. Saran dari pemandu kami di sana adalah mencari tempat-tempat seperti teras rumah, tanah kosong yang jauh dari jalan raya, atau bangunan yang tidak digunakan malam hari. Bangunan bisa apa saja. Mau rumah sakit, sekolah, atau kantor kepala desa selama bisa dan diizinkan. Agak nggak masuk akal, tapi ya emang gitu.
Kami berencana menginap di Cepu selama tiga malam. Kebetulan lagi libur dan itu pertama kali bagi kami datang ke Cepu. Malam pertama hanya kami habiskan untuk minum satu liter arak khas Cepu dan nongkrong di warung kopi lelet di pusat Kota.
Baru di malam kedua kami berencana untuk mabuk berat. Tujuan awal kami adalah kafe dangdut yang terkenal, lalu mau ke lokalisasi untuk melihat “kearifan lokal”. Menggairahkan sekali pikir saya.
Kami membeli empat liter arak, lengkap dengan tambul atau camilan khas Cepu saat minum arak; bengkoang dan timun. Karena berpikir akan mabuk berat dan pasti berisik, kami mencari tempat yang pas. Area lapangan sekolah dasar di salah satu wilayah jadi pilihan pemandu kami. Tidak ada yang jaga di sana dan pemandu kami terkenal sebagai akamsi. Tempatnya luas. Asri, karena banyak pohon dan taman sekolah itu terawat dengan baik.
Kami memilih duduk di lapangan kecil yang ada ayunan dan perosotan untuk anak kecil. Iya, ini ternyata bangunan sekolah dasar dan taman kanak-kanak.
Malam itu, dua botol pertama kami lewati dengan lancar dan sempurna. Bekas kulit bengkoang dan timun mulai berserakan. Obrolan kami mulai liar, makian, kenangan, candaan dan tawa sudah menyebar tidak keruan. Masuk botol ketiga, saya yang bertugas sebagai bandar minuman menawarkan gelas pertama kepada Edi.
Saat menyodorkan gelas kepada Edi, saya sedikit terganggu dengan dahinya yang berkerut dan matanya melihat tajam ke taman di belakang saya. FYI, karena Edi gagal menyelesaikan proses belajar ilmu kebatinan, dia jadi setengah-setengah untuk urusan gaib. Kemampuannya melihat hal gaib hanya muncul saat mabuk. Menyebalkan. Dan teman-teman di komunitas kami tahu betul soal itu.
Saya lalu bertanya kepadanya; “Ono opo, Ndes? Ojo ngomong nek kowe weruh sesuatu.” Dia hanya diam.
Gelas kembali saya putar ke peserta yang lain. Tiba-tiba, Edi menepuk pundak kanan saya dan berkata, “Ono cah wedok. Uayuu, pengen kenal karo kowe.”
Pikir saya saat itu ada yang mengirimkan pesan ke hapenya dan bertanya soal saya. Entah siapa dan bagaimana saya tidak ambil pusing. Pokoknya saya harus besar kepala dulu.
Dia lalu melanjutkan kalimatnya tadi. “Wong Belanda. Uuaayuu pol! Artis paling ayu saat ini aja kalah!”
Saya bingung. Orang Belanda? Sejak kapan dia berteman dengan orang Belanda? Di Cepu lagi. Saya paham sekarang. Ini demit yang dimaksud Edi. Bukan manusia. Bajingan.
“Stop! Rasah dilanjut! Mabuk mau senang-senang malah jadi urusan demit. Bajingan!” Sahut saya.
Edi tertawa, lalu melihat ke arah Gondrong yang duduk di sebelah kiri saya. Sial betul. Malam itu, saya duduk diapit duo Pemalang itu. Begitu saya memalingkan muka dan melihat Gondrong, dia sudah nyengir dengan muka memerah karena mabuk. Gondrong lalu berkata “Wis toh, ora popo, kan nggak nyusahin. Aman. Aman.”
Setelah Gondrong berkata seperti itu, saya lalu bertanya. Sebenarnya ini dulunya tempat apa? Kenapa kok “ada” Belanda di sini. Menurut cerita duo Pemalang dan salah satu teman kami yang asli Cepu, sekolah ini dulunya rumah sakit kecil di zaman Belanda.
Tidak ada hal tragis terjadi di sini. Cuma karena di Cepu masih banyak bangunan peninggalan Belanda, jadi banyak lelembut senior yang sudah eksis sejak zaman itu dan menempati bangunan-bangunan lawas di sekitar sini.
Sekolah ini juga sempat dijadikan rumah tahanan sementara bagi musuh-musuh Belanda saat itu. Jadi ada ruangan di dalam rumah sakit ini yang fungsinya sebagai ruang tahanan. Sekolah ini juga tidak jauh dari kota, berada di pinggir jalan besar, ada penerangan jalan dan di sekitarnya ada rumah-rumah penduduk.
Botol keempat dibuka, sementara dua orang teman lagi pergi untuk membeli tambahan arak. Malam ini memang kami niatkan untuk mabuk sampai muntah.
Edi tiba-tiba berdiri lalu kencing di sebuah pohon besar sambil mengucapkan permisi. Beres kencing, dia berjalan menuju teras sekolah. Sementara itu, Gondrong masih duduk di sebelah saya dan memperhatikan Edi yang mulai mengarahkan telapak tangannya ke beberapa sudut sekolah.
Perasaan saya semakin tidak enak melihatnya seperti itu. Ditambah Gondrong yang tiba-tiba berkata, “Mbak e masih nunggu jawabanmu, lho. Dia tadi nanya, apa boleh ikut sama kamu?”
Setengah berteriak saya bilang ke Gondrong “Bangsat. Jembut! Nggak usah dibahas, Cuk! Uwis!” Teman-teman yang lain mendadak tertawa melihat saya setengah panik.
Gondrong menjelaskan. Noni Belanda ini dulunya adalah staf rumah sakit. Saat kami masuk ke area sekolahan, dia sudah berdiri di teras memerhatikan kami masuk dan memarkir motor. Biasanya dia tidak akan mengganggu yang masuk, kecuali kalau niatnya jahat.
Nah, begitu kami duduk lesehan di dekat ayunan, dia tiba-tiba datang dan duduk di ayunan yang ada di belakang saya sejak gelas pertama kami mulai. Gondrong yang tidak begitu pintar berkomunikasi dengan lelembut, memberi kode kepada Edi untuk bertanya kepada Noni, kenapa dia datang dan duduk di dekat kami. Ternyata tebakan Gondrong benar. Dia suka dengan salah satu di antara kami, dan ternyata yang disukai itu saya!
Saya mungkin sedikit flamboyan, tapi nggak ngegombal sama demit juga. Beberapa menit kemudian, Edi yang beberapa saat sibuk mendeteksi area sekolah kembali duduk bersama kami.
Katanya, dia baru saja bertemu komandan si Noni Belanda. Menurut komandan, Noni tidak boleh keluar dari Cepu. Kalau memang suka sama saya, hanya boleh dekat selama di Cepu saja. Saya sedikit lega, karena kalau diikuti, hanya sebatas di Cepu saja. Tidak perlu saya bawa ke Jogja, apalagi sampai dikenalkan ke orang tua. Emangnya mau nikah!
Selain Noni, ada warga lelembut juga yang ikut nongkrong bersama kami malam itu atas seizin komandan. Dari penuturan Edi dan Gondrong, ada dua orang laki-laki yang mengenakan pakaian tahanan berwarna hitam-putih dengan mata melotot dan tangan diborgol. Ada sekelompok anak kecil yang lari-lari mengelilingi kami. Ada wanita paruh baya yang sibuk tertawa sambil berjalan ke arah kami, menjauh, lalu mendekat lagi berulang kali. Ada beberapa lelembut dengan ilustrasi wajah dan fisik yang tidak indah diceritakan.
Namun, karena Noni duduk terus di dekat kami, mereka-mereka tadi tidak berani masuk ke lingkaran lesehan tempat kami mabuk. Sementara si komandan sesekali keluar-masuk gedung sekolah dan berdiri di teras mengawasi kami dan Noni.
Setelah tujuh botol arak, kami memutuskan pindah ke kafe kecil di tengah kota. Baru saja masuk, kafe itu tiba-tiba tutup setengah jam kemudian. Bukan karena saya bawa lelembut, tapi sudah terlalu larut dan memang waktunya tutup. Kami pindah lagi menuju lokalisasi di Cepu. Lokasinya di pinggiran kota, dikelilingi pohon jati, dan banyak gubuk-gubuk kayu sebagai tempat memadu kasih.
Diam-diam, saya masih penasaran soal Noni tadi. Di tengah area lokalisasi, saya kembali bertanya kepada Edi, apakah dia masih mengikuti saya? Menurut Edi, Noni tidak ikut masuk. Dia hanya menunggu di gerbang parkiran lokalisasi dan dia kesal. Saya kaget, lelembut bisa cemburu dan kesal juga lihat laki-laki datang ke lokalisasi?
Edi menjelaskan kalau Noni benar-benar suka kepada saya dan bahkan mau nekat untuk merasuki pacar saya saat itu supaya bisa berkomunikasi dengan saya. Gila! saat itu juga saya bilang ke Edi untuk menyampaikan kepada Noni bahwa itu tidak boleh. Saya akan marah kepadanya. Dan kalian tahu? Noni mengiyakan permintaan saya. Bangke! Udah kayak orang pacaran.
Seminggu setelah acara di Cepu, saya kembali ke Jogja. Bayangan saya tentang kejadian Noni masih sangat membekas. Sempat beberapa hari saya mandi dan keramas tidak menutup mata. Parno kalau buka mata tiba-tiba ada dia di depan saya.
Bahkan dua hari setelah dari Cepu saya sempat bermimpi soal Noni. Dia berdiri di kamar saya melihat saya tidur. Seingat saya, saat itu wajahnya cantik, paras wajahnya sekilas mirip Keira Knightley dengan gaya rambut diurai seperti Nicole Kidman.
Dia mengenakan pakaian bersih berwarna krem seperti Noni Belanda zaman dulu. Make up tipis menghias parasnya yang cantik dan dia tidak berwajah pucat seperti di film horor. Tapi mimpi itu tidak saya hiraukan, karena saat di Cepu, Edi dan Gondrong bilang dia tidak akan ikut saya ke Jogja.
Rasa penasaran itu berlanjut beberapa minggu. Sampai saya punya kesempatan bertemu dengan teman kuliah saya, namanya Nien. Kebetulan, saat itu kami dan beberapa teman kuliah janjian ngopi di Kedai Kopi di daerah Selokan Mataram. Nien termasuk salah satu orang yang cukup mahir dalam urusan mistis dan penerawangan alam gaib.
Di tengah obrolan, saya bertanya soal Noni kepada Nien. Dia diam sejenak, lalu melihat lama ke arah saya.
Nien lalu bilang, “Dia masih ikut kok. Nih, ada di depanku. Dan dia kesal, lho. Kamu cerita-cerita soal Cepu ke beberapa orang selain aku.”
Ya gimana saya nggak cerita. Saya itu bukan pemberani. Dengan bercerita, kadar ketakutan saya bisa berkurang. Masih menurut Nien lagi, saat itu saya tidak hanya ditemani oleh Noni saja. Ada seorang kakek tua dan mbak kunti yang menemani selama ini. Mereka tidak berwujud seram karena beberapa alasan jagat lelembut. Apalagi, saya ini, menurut Nien adalah orang yang bertipe magnet bagi lelembut. Charming gitu. Sialan.
Menurut Nien, tiap orang itu punya semacam “Guardian Angel” yang akan selalu menemani. Bisa punya efek positif, atau sebaliknya. “Guardian Angel” itu bisa muncul dan didapatkan dari mana saja, bisa random dari yang kecantol di pinggir jalan seperti saya, ada orang yang didampingi oleh leluhur sejak lahir, atau yang didapatkan karena belajar ilmu kebatinan tertentu.
Ada juga manusia yang bertipe magnet seperti saya, yang kalau misal lewat di Ring Road dan kebetulan ada lelembut lagi nongkrong terus naksir, si lelembut akan otomatis mengikuti. Jadi bisa saja kalian yang bertipe magnet berangkat dari rumah niatnya ngopi ke tempat fancy, tiba-tiba pulang sudah mboncengi puluhan bahkan ratusan lelembut. Makanya, kalau habis nongkrong dan sampai rumah pegel-pegel dan capek, itu perlu dipertanyakan.
Ternyata tidak hanya Nien, saya sudah bertanya soal kasus magnet dan Noni kepada beberapa orang yang peka terhadap hal gaib. Jawaban mereka hampir sama; hati-hati, tetap berdoa setiap keluar dan masuk rumah, rajin salat, dan tenang saja. Noni itu baik, pun sang kakek dan mbak kunti.
Tahukah kamu, Noni sampai pernah ikut ke Banjarmasin saat saya kerja di sana. Sekitar 2010, saya pernah update informasi dengan salah satu paranormal di sana soal keberadaan “Guardian Angels”. Jadi, mitos soal hal gaib yang tidak bisa nyebrang lautan itu sudah dipatahkan oleh Noni.
Sampai sekarang, saya kadang masih penasaran dan masih mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepada orang yang punya kelebihan soal hal gaib. Apakah saya masih ditemani? Kalau masih, apakah sama dengan yang dulu atau sudah ada teman baru?
Tapi kayaknya banyak yang baru. Banyak banget. Tiap malam ngintip saya tidur. Kadang duduk di tepi ranjang nemenin saya tidur. Dari Cepu, semuanya berasal. Kapan berakhir? Entah.
BACA JUGA Dokter yang Indigo: Diganggu Hantu Usil hingga Melihat yang Mati karena Pesugihan dan pengalaman mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.