Naik Gunung Meski Uang Pas-pasan: Pedoman bagi Para Pendaki Sejati

Tanya

Perkenalkan om Haryo, saya remaja berusia 20++, saya punya masalah berkaitan dengan masalah hobi. Hobi saya adalah naik gunung, dan hobi ini terhitung kelas tinggi karena dilihat dari harga tas keril saja sudah dibilang ngeri.

Harga tas ini sekarang minimal 800 ribu (bahkan saat ini saya ingin membeli sebuah tas yang berharga diatas 2 juta), tenda anti badai dibanderol dengan harga 750 ribu, sepatu plus aksesioris yang lain total ada 900 ribu. Jadi, berkat hobi ini benda yang melekat di badan saya saja total harganya sudah 2,5 juta kurang lebih.

Menurut om itu mahal gak? Kalo saya sih mahal soalnya hanya bergantung terhadap pemberian orang tua setiap bulannya.

Inti dari masalah yang ingin ditanyakan yaitu bagaimana cara berhemat duit yang di hibahkan orang tua setiap bulannya yang sebesar 500 ribu dengan keinginan hobi saya mendaki gunung di luar provinsi JT. Oke biar lebih rinci saya nyalakan lampu phillips supaya penjelasannya terang terus

Misalkan ingin pergi ke gunung Gede Pangrango estimasi biaya tiket kereta PP 200 Ribu, itu saja kereta ekonomi yang memaksa badan tegak grak setiap waktu karena senderan yang sudutnya 90 derajat. Biaya lain adalah pembayaran simaksi yang dihitung berdasarkan per hari sebesar 50 ribu dan minimal pendakian sampai kembali lagi ke basecamp adalah 4 hari berarti 200 ribu. Logistik setiap orang minimal 50 ribu dan uang saku yang harus dipertahankan sebesar 200 ribu, jadi totalnya 650 ribu.

Bagaimana cara menyisihkan sebagian uang hibah orang tua agar bisa menjalankan hobi yang saya cintai dan sayangi ini diluar pengeluaran setiap bulan layaknya beli kuota dan jajan lainnnya. Tolong segera diberi penjelasan om

Jawab

Halo Mas Pendaki yang tidak takut ketinggian tapi merinding saat periksa isi dompet,

Wah ngeri juga Om harus menjawab pertanyaan seorang pendaki begini. Ini salah sedikit saja menjawab bisa mengakibatkan gagal selfie di puncak. Pertanyaan seberat tas keril 150 liter yang terisi penuh seperti ini harusnya yang menjawab Fawaz Al Batawy, pengarang buku Menyublim Itu Bukan Menguap. Oh ya, tas keril itu tas carrier yang biasa dipake para pendaki.

Kak Fawaz yang bentar lagi menerbitkan buku berjudul Dari Gunung Kidul ke Gunung Agung,  tidak saja paham seluk beluk puncak-puncak tertinggi di Indonesia, tetapi juga penganut mahzab walau mepet tetap harus sampai puncak. Serius, dalam satu episode perjalanan pendakian ke gunung-gunung di Sulawesi bertahun lalu, biaya bukanlah satu hambatan dibuktikan benar.  Dalam perjalanan ke Surabaya, uang mereka kecopetan sekian ratus ribu.

Nah, begitu sampe Sulawesi, eh kecopetan lagi. Kali ini mengenaskan sekian juta uang untuk semua keperluan amblas. Uang ludes, keinginaan melihat puncak semakin tipis. Mereka terpaksa menjalani takdir nomaden beberapa bulan seperti moyangnya. Berpindah tempat dari sekretariat pencinta alam satu universitas ke universitas lainnya.

Kalau menyimak penjelasan singkatmu. Pengetahuan akan kebutuhan peralatan dapat disimpulkan sudah mumpuni sekali. Pengalaman cukup, bukan baru satu dua kali menjejakkan kaki di puncak gunung yang berada di wilayah JT. Ini yang dimaksud bukan Jakarta Timur kan, ya? soalnya Om sekarang tinggal di Jakarta Timur dan tidak ada gunung. Sekalinya mendaki pun pagar rumah sendiri karena nggak dibukain pintu. Satu-satunya masalah sepertinya memang biaya.

Hobi ini memang terhitung mahal. Tas keril volume terkecil buatan lokal dengan kualitas lumayan, paling tidak sudah berbandrol 500-700 ribu. Itu pun ngga muat banyak, paling hanya cukup untuk yang hobi minggat sehari dari rumah. Jelas tidak akan mampu menampung pakaian, peralatan dan perbekalan selama beberapa hari. Belum sepatu dan pernik lain, tapi setidaknya kamu sudah memiliki semuanya walaupun belum memenuhi harapan. Upgrade dapat dilakukan di waktu lain.

Nah, sekarang soal biaya. Bagaimana uang kiriman sebesar 500 ribu cukup untuk mendaki Gede Pangrango yang dapat menelan biaya 650 ribu rupiah?

Sebagian mahasiswa yang diberikan keleluasaan lebih oleh orang tua, biasanya tinggal mengajukan proposal tambahan kiriman. Tidak saja untuk keperluan pendakian saja, tetapi seringkali juga mengajukan tambahan untuk peremajaan perlengkapan atau bahkan hanya pingin sekedar beli barang baru saja. Om rasakan kamu mahasiswa yang tidak mendapatkan keleluasaan seperti itu tetapi semangat untuk menyalurkan hobi positif tetap membara. Salut!

Uang saku jelas tidak dapat dikatrol. Sekarang mari kita pikirkan cara untuk mewujudkannya. Batalkan saja pendakian, ganti dengan kegiatan nonton konser? Heh, itu sih bukan solusi tapi sebentuk penghianatan terhadap niat. Niatnya naik gunung kok jadinya nonton konser. Alay banget.

Ada beberapa skenario yang Om usulkan untuk kamu pertimbangkan. Dari yang ekstrim hingga ekstrim sekali. Loh bener kan, masa pendaki maunya usul yang lempeng-lempeng saja? Biasa melintasi jalan setapak dimana kanan kirinya jurang menganga saja anteng kok. Doa jelas sangat penting tetapi tidak akan dimasukkan dalam hal-hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan niat luhur tersebut.

1. Utang

Eh, tolong ingat ya, Om nggak ada niat sama sekali untuk ngajari hal-hal yang bersifat ribawi yang akan membawa dosa dan menyulitkan kehidupan di kemudian hari. Ini namanya doang yang ngeri, utang. Dari sejak republik ini berdiri hingga saat ini, utang di kalangan mahasiswa derajatnya saling pinjam saja. Tanpa embel-embel bunga atau hal-hal lain yang memenuhi unsur riba. Kecuali ada teman kita yang memang berprofesi sudah rentenir sejak dalam pikiran.

Terserah, utang bisa kita ajukan ke teman sependakian, pacar sependakian, atau bahkan pacar teman sependakian. Hahaha ribet.

Kalau skenario ini yang akan dijalankan, uang yang kamu butuhkan bukan 150 ribu sebagai kekurangannya, tetapi 650 ribu. Loh bukannya kita sudah punya 500 ribu? Iya karena 500 ribu merupakan biaya hidupmu sebulan kemudian. Kecuali mau puasa ngebleng sebulan atau emang mau tinggal dan bersemedi di gunung sebagai langkah pengiritan, dan menjalani laku berburu dan meramu.

Pinjam meminjam uang di kalangan mahasiswa sebenarnya praktik yang tidak terstruktur tapi jelas masif dan sistematis. Hal yang acap kali terjadi memang soal tingginya tingkat pengemplangan. Ini erat kaitannya dengan kehendak baik dan cara kita dalam mengelola uang.

Jangan karena pinjamnya ke pacar terus dibayar dengan cinta mati 3, atau janji untuk mencukupinya di kelak kemudian hari. Itu sangat ndeso dan menghina semangat luhur para pendaki. Ingat, dia juga menggantungkan hidupnya dari orang tua. Tetap saja akad pinjamannya harus jelas.

Berapa besaran pinjaman dan tempo pengembalian harus jelas. Dengan penghasilanmu sebesar 500 ribu, berapa rupiah yang dapat kamu sisihkan dari jumlah tersebut? Kemudian waktu pengembalian usahakan jangan lebih dari 3 bulan. Kalau kamu berhasil menyisihkan 200 ribu sebulan berarti target pengembalian selama 3 bulan relatif mudah diwujudkan.

2. Kerja

Tetapi kalau kemampuan menyisihkan dari penghasilan hanya 100 ribu per bulan, berarti perlu langkah revolusioner untuk mencari tambahan pendapatan. Kerja kerja kerja. Loh serius ini.

Sebenarnya banyak hal dapat dilakukan mahasiswa sekarang. Kalau ada kendaraan dapat mencoba profesi ojek online di waktu luangnya. Jika mempunyai hubungan baik dengan dosen dapat mengajukan diri jadi asisten penelitian. Terakhir, beragam tempat usaha memberikan kesempatan pada pekerja paruh waktu.

Eh siapa tau, nasib kita lagi mujur, jumlah uang yang terkumpul tidak saja dapat untuk menambal kekurangan biaya pendakian tetapi juga untuk membeli perlengkapan yang kita impikan.

3. Penjadwalan Ulang

Diskusikan dengan kelompok sependakian, kapan waktu terbaik pelaksanaan. Hal yang harus secara terbuka dibicarakan meliputi waktu, cuaca dan tentu saja biaya. Jika waktu berangkat sesegera mungkin, dan kita memastikan menjadi satu di antaranya, pilihannya hanya pinjam uang untuk biaya.

Sahabat yang baik pasti akan mengusahakan semua dapat berangkat dan mencarikan solusinya bagi yang berkeberatan dengan biaya. Kalau menurut perhitungan, Om. Waktu keberangkatan tunda saja hingga 4 bulan mendatang.

Kalau tidak mempunyai keleluasaan waktu untuk mencari tambahan pendapatan dan pinjaman. Secara disiplin harus menyisihkan uang sebesar 30% per bulan.

4. Bonek

Entah cara ini masih dipakai anak muda jaman sekarang apa tidak. Dengan uang saku seadanya, tempat menginap di masjid, kantor polisi atau menggunakan cara seperti di atas, menumpang di sekretariat pecinta alam yang ikatan kekeluargannya terkadang melebihi saudara. Untuk berpindah tempat dari satu ke kota ke kota lain mengandalkan kemurahan hati supir truk atau angkutan barang dengan sistem putus nyambung.

Untuk catatan, apa yang menimpa Fawaz dkk tidak tepat kalau disebut bonek. Mengingat mereka sudah jauh hari merencanakan dengan baik pendakian-pendakian tersebut. Kemampuan survival yang tinggi serta kemampuan komunikasi yamg baik membuat mereka tetap dapat meneruskan perjalanan.

Om cenderung menyukai skenario pertama dan terutama yang kedua. Itu bukan contoh kosong miskin fakta. Banyak mahasiswa dari masa ke masa sanggup melakukan hal tersebut.  Rupiah mengalir, ilmu terpakai dan hobi tersalurkan. Kalau dirasa sulit, jalan menuju ke puncak gunung lebih terjal dan curam. Sulit sudah pasti dan para pemberani ditakdirkan untuk mengakrabi kesulitan tersebut.

Eh, ini mumpung keingetan. Om berencana camping di Ranu Kumbolo tahun depan. Tapi seorang teman mengatakan para pendaki sekarang banyak eek sembarangan di lokasi tersebut. Di foto tetap indah dan instagramable tapi sejatinya dapat mengakibatkan mak plenyik.

Kembali lagi ke masalah awal, kalau hanya soal biaya pendakian Insya Allah ada jalan keluarnya. Solidaritas para pendaki biasanya sangat kuat. Tapi kalau perilaku, itu bukan soal kurang uang atau berlebih. Untuk orang berperilaku nista seperti itu, buang kotoran tapi tidak nyangkul dulu dan menimbunnya, sebaiknya naik ke gunung yang menggunakan eskalator dan ada toiletnya, Gunung Agung

Exit mobile version