MOJOK.CO – Di tengah masa pandemi, kaum pe-“tingwe” yang tinggal di rumah mulai belajar melinting kreteknya sendiri. Merayakan Hari Kretek Nasional.
Di keramaian pasar malam di alun-alun Kota Kudus hampir seabad lampau, lampu-lampu jaringan Aniem berpendar bagai bintang jatuh. Kerlap-kerlip lampion dalam sangkar berbalut kertas minyak asturo yang dipasang di turus jalan turut membakar suasana malam.
Pesta yang menggemparkan. Warga dari seluruh penjuru datang. Berderak bagai suara ladam memukul bebatuan, ditingkahi kendang ludruk dan lengking biola grup keroncong yang didatangkan khusus dari Bandung.
Martono naik ke atas panggung, disusul Sarioen dan Salikoen. Ketiganya memenangkan masing-masing juara pertama, kedua, dan ketiga lomba melinting rokok kretek yang digelar Pemerintah Kolonial Belanda. Martono dalam waktu 30 menit berhasil menggulung banyak batang kretek, jauh meninggalkan 110 pesaingnya.
Di atas panggung Bupati Kudus Hadinoto menyambut dengan pidato. Sebentar kemudian menyerahkan hadiah didampingi beberapa meneer Belanda yang sibuk mengatur acara. Tempik sorak bergemuruh mengelu-elukan sang juara. Malam penuh kenangan.
Pesta pasar malam yang disponsori perusahaan Tjay Tjhwan dari Semarang itu ditulis dalam berita koran De Locomotief Dinsdag, yang terbit di Semarang, Senin Pon, 9 Juli 1929. “Een Wedstrijd Op den Pasar-Malem” (Pertandingan di Pasar Malam), demikian judul berita itu seperti dikutip sejarawan Edy Supratno, Kepala Sekolah PKBM Omah Dongeng Marwah, dalam naskah disertasinya.
Asap kretek nan harum itu, tidak saja pernah menjadi pendapatan penting Pemerintah Hindia Belanda sejak diberlakukan ordonansi cukai tembakau (Tabaksaccijns Ordonnantie Stbl. 1932 No. 517) mulai 1932, tapi juga mengharumkan kota ini. Buruh-buruh bersuka cita. Semua orang bekerja dan hampir tak ada satu pun penganggur di kota ini.
Tumbuh generasi baru pekerja perempuan seiring pesatnya kesukaan masyarakat pada kretek. Tetapi, oleh sebab pelinting lelaki tak cukup, maka “abonne”, dari kata “abonnement” (Perancis), yang artinya langganan—yakni pekerjaan melinting yang dibawa ke rumah-rumah—mulai diberlakukan. Saatnya perempuan di rumah belajar dan menunjukkan ketrampilan. Hasil dari itu diserahkan kepada para mandor pabrik (Amen Budiman & Onghokham. 1987. Hlm: 113).
Sejak itu lelaki pelinting berganti perempuan. Jumlahnya terus meningkat. Dan kretek mulai menggeser pelan-pelan rokok putih yang diperkenalkan Barat. Diawali “strotjes” alias klobot yang berbalut daun kawung dan jagung, disusul kretek tangan sejak kertas “ambree” dan “papier” didatangkan dari negeri seberang.
Impor rokok putih yang besar-besaran dilakukan di awal abad ke-20, bergeser peminatnya ke kretek sebelum kemerdekaan dan terutama setelah 1970-an. Menggulung pasar dan menyisakan hanya 6 persen saja market share rokok putih sekarang.
Seiring keharuman itu, kretek melesat dan hinggap di taman Istana Buckingham yang membeku. Di London dalam sebuah perjamuan diplomatik 67 tahun lalu, seorang lelaki bertubuh pendek dan kurus untuk ukuran Eropa, mengenakan fez hitam di atas kepalanya dengan jenggot panjang yang melampir, memantik rokok dan mengepulkan asap dari mulutnya.
Aroma kretek merebak seisi ruangan. Mengingatkan tetamu pada bebauan khas rempah dari negeri Timur. Pangeran Philip, suami Ratu Elizabet II, yang pemalu, itu terperanjat.
“Apakah gerangan yang sedang Tuan hisap itu?” tanya Pangeran.
“Inilah Yang Mulia,” jawab lelaki itu, “yang bikin Barat menjajah dunia.”
Pramoedya Ananta Toer dalam buku Mark Hanusz, Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette (2000), menceritakan kembali kisah H. Agus Salim, lelaki berjenggot di kisah itu, dalam peringatan 100 tahun Haji Agus Salim pada 1984.
Jauh sebelum kretek ditemukan, para sejarawan menelusuri jejaknya dan hanya menemukan kisah Raja Mataram Sultan Agung (1613-1645) sebagai chain smoker. Baik Raffless dan Condolle, juga Amen Budiman dan Onghokam, tak pernah menemukan apa jenis rokok yang diisap kaum bangsawan kala itu. Sampai kretek datang memecah kesunyian.
Tetapi, tak satu pun tahu, tak juga van der Reijden, sejarawan yang mencatat pertama kali penemunya, mengenali bahkan sekedar foto H. Djamhari, sang penemu kretek itu, kecuali sejarawan Edy Supratno dan tim kecil perisetnya. Dan saya—yang ikut terlibat dalam team itu, di batas tubir keputusasaan perburuan. Dipimpin Edy Supratno, kami berhasil mengungkap misteri penemu kretek pada sebuah kuburan bertuliskan namanya di pengujung 2016 yang dingin di Tasikmalaya.
Hampir satu setengah abad dari jejak yang ditandai Reijden sang penemu berada dalam gelap. Dia tak lebih seorang aktor dalam kisah fiksi yang selalu ditulis dengan kata “konon”. Tetapi, sejak kunjungan ke Tasik itu semua menjadi terang. Tak ada lagi kata konon di setiap kisah H. Djamhari.
Di rumah 20 km dari kuburan itu, Kardini, salah satu anak lelakinya yang masih hidup, didampingi Suaedah, adiknya, menyambut hangat. Mereka tak berlogat Jawa Kudus. Hampir kosa kata dan perilakunya sudah sangat Sunda. Keduanya lahir di Tasik. Kardini lahir dua tahun setelah H. Djamhari menghindar dari stigma politik Serikat Islam (SI), menyusul kerusuhan SARA di Kudus tahun 1918.
Tak semua terlibat, tetapi SI telanjur dituduh sebagai gembong pemicu. Sebagai bendahara SI di wilayah Prawoto, kini masuk Kabupaten Pati, H. Djamhari tak lepas dari sasaran politik itu. Tetapi, dia tak mau hidupnya berhenti karena itu dan memutuskan gerilya. H. Djamhari hidup di kota baru Tasik hingga reda suasana traumatik itu, sampai kemudian sukses menjadi pengusaha konstruksi.
Bagi Kardini dan Suaedah, bertemu orang dari Kudus seperti menemukan saudara dari kampung halamannya yang kedua. Sedang, bagi para pencari data, pertemuan itu adalah hadiah yang sangat besar.
Dengan hadiah itu, Edy kembali dan berharap akan menemukan data baru, sekaligus akan mendapat sambutan hangat dari sumber-sumber penting kerabat H. Djamhari di Kudus. Tetapi, kehangatan itu tak pernah ada, termasuk ketika menemui Richanah. Sumber penting yang kenal H. Djamhari dan bisa menceritakan suasana historik ketika kretek tumbuh.
Saat H. Djamhari disebut, dia menyambut penuh syak. Pada usianya yang lebih dari 90 tahun, Richanah merasakan langsung fase pergolakan itu dengan traumatik. Baru setelah membawa bukti kisah pertemuannya dengan keluarga H. Djamhari di Singaparna, Tasik, sikapnya pelan-pelan luluh.
Gambaran ini menunjukkan betapa penangkapan para aktivis SI yang terjadi bersamaan dengan saat kretek berkembang, telah menimbulkan trauma bagi setiap orang yang mengalaminya. Richanah meninggal beberapa tahun setelah wawancara.
Tetapi, keraguan lain segera menyergap. Benarkah H. Djamhari penemu kretek dan Reijden tidak sedang berbohong? Berdasar jejak penelusuran usia anak-anaknya, jika benar Reijden menyebut kretek ditemukan pada 1890, rasanya tak mungkin. H. Djamhari waktu itu baru berusia sekitar 7 tahun.
Beruntung ada “zou“, kata dalam Bahasa Belanda yang artinya “kira-kira”. Zou jadi jawaban atas keraguan itu. Reijden menulis dengan detail laporan penelitian industri di Jawa saat pendudukan kolonial Belanda, akhir abad ke-19.
Dalam liputan berjudul “Rapport betreffende eene gehonden enquete naar de arbeidstoestanden in de industrie van strootjes en inheemsche sigaretten op Java…” (1936), Reijden menulis “zou 1890“. Tak pasti di tahun itu dan bisa jadi sesudahnya.
Tetapi, memang tak ada yang pasti dalam peperangan di industri tembakau ini. Amerika yang dulu dihina Jerman, musuh bebuyutannya dalam perang Dunia Kedua, sebagai bangsa “bermuka merah dengan asap membumbung di atas kepalanya”, justru berbalik memusuhi tembakau.
Semua tahu satire Adolf Hitler ditujukan untuk suku Indian Amerika. Bahkan Hitler harus berhenti merokok gegara ini dan melarang semua tentaranya mengisap tembakau. Jika sampai ada tentara Jerman yang ketahuan mengisap tembakau, sanksi berat sudah menanti.
Pada 22 Juni 2009 di Amerika, 64 tahun setelah Perang Dunia II berhenti pada 1945, terbit UU “Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act“, yang melarang kretek diedarkan di seluruh wilayah Amerika. Ditandatangani oleh presiden yang masa kecilnya tinggal di Menteng, Jakarta.
Presiden Obama berpidato lantang di depan parlemen, sementara para buruh dan “abonne” kretek di Indonesia meradang. Dalam waktu tiga bulan, FDA, lembaga pengendali kesehatan di AS, akan mengeluarkan larangan rokok beraneka rasa untuk menghindari ketertarikan dan kecanduan.
Rokok dengan segala varian rasa, apalagi kretek yang penuh rempah, diisap oleh banyak orang karena habit, dan para pengendali kesehatan menyebutnya candu. Candu bukan saja bagi penikmatnya, melainkan bagi tenaga kerja, petani, saudagar rokok, juga negara. Dan, kita (juga saya) seperti kata Fromberg dalam Opium to Java (James R Rush, 2000) adalah pengisap candu sekaligus terisap habis oleh negara. Itulah kenapa rokok selalu berada dalam ironi: dicaci sekaligus didamba.
Karena itu, ketika negara secara tegas memberlakukan pengendalian, sesungguhnya ia tidak sedang mencaci rokok, karena ia juga mendambakannya. Negara hanya sedang kompromi malu-malu dengan Barat yang dahulu menjajahnya untuk sebuah kepentingan bernama paru-paru manusia.
Dalam kecemasan yang terus dikampanyekan itu, sebagian perokok berhenti. Tetapi, sebaliknya tumbuh lebih besar lagi para “pelinting dewe” alias “tingwe“, sebagai lambang perlawanan atas tarif cukai yang dikerek tinggi oleh negara hingga 23 persen setahun ini.
Di tengah masa pandemi Covid-19 yang mengunci kantung-kantung rejeki, kaum pe-“tingwe” yang tinggal di rumah-rumah mulai belajar menjadi abonne untuk dirinya sendiri.
Seperti para pe-tingwe itu, di teras rumah ini tadi malam saya membayangkan tiba-tiba keramaian malam penuh kenangan seperti diberitakan koran de Locomotief di awal tulisan ini. Jarum jam segera beralih, sedetik lagi memasuki 3 Oktober dan saya ingat itu adalah tanggal Hari Kretek Nasional.
Tetapi, ada satu yang ganjil. Bintang-bintang tak jatuh di pelataran seperti dulu berpendar menerangi pertandingan di pasar malam. Lampu-lampu lampion tak tampak digantung dan dinyalakan dan jangan-jangan sudah membakar sangkarnya. Tak ada lagi perhelatan untuk sekedar ritus. Semua yang terlibat sudah sangat sibuk dengan kegiatan bisnis daripada budaya. Sejarah sedang berubah.
Sambil membuat catatan ini, setelah satu isapan tingwe yang sesak, saya ingin segera mengucapkan selamat Hari Kretek Nasional kepada sahabat saya Edy Supratno dan Iksaka Banu, penulis novel sejarah de Kretek Koning, Nitesmito, juragan kretek yang konon pernah bikin Ratu Wilhelmina terperanjat oleh tingkahnya yang berjalan merunduk di depan pejabat pemerintah. Meski semua tahu, ia orang yang lebih kaya dan bermartabat waktu itu daripada golongan ambtenar yang “mengesot” pada kolonial.
Selamat Hari Kretek Nasional, pada 3 Oktober kemarin, untuk kalian semua.
Salam dongeng!
BACA JUGA Pelajaran Cinta dari Sebatang Rokok Kretek.