Menemukan Nabi pada Diri Kiai

Maulid nabi

MOJOK.COHanyalah ruhul mudarris, ruh seorang guru, yang bisa mendidik melampaui kata dan akal.

Perayaan Maulid Nabi tahun ini bagi saya begitu jauh dari kesan manis. Bukan hanya karena suasana pandemi Covid-19 yang awet dan miris, atau pandemonium karikatur Nabi di gedung-gedung Perancis, namun secara personal, hantaman terbesar bagi saya justru karena “pandemi” kepergian para pewaris Nabi menjelang hari lahir manusia mulia itu. Lebih sedih lagi, para penerus itu pergi di saat saya baru mulai belajar mencintai Sang Nabi melalui mereka.

Meskipun dikenal sebagai ukhtivis dakwah, sebenarnya ada masa ketika saya begitu kecewa dengan Muhammad bin Abdullah hingga menyangsikan kenabiannya.

Dalam sebuah kajian semasa kuliah, seorang ustaz menyampaikan hadis tentang perempuan sebagai penghuni terbanyak di neraka. Ustaz tersebut semacam menghakimi kami, para perempuan jemaah pengajiannya, sebagai makhluk yang, biar bagaimana pun, merupakan penghuni neraka terbanyak. Beliau bahkan merasa perlu meyakinkan kami dengan mengatakan, “Ini yang bilang Nabi Muhammad lho, bukan saya!”

Selepas kajian penuh penghakiman itu, bukannya muhasabah sebagai perempuan, saya justru kecewa berat. Awalnya saya sedih pada narasi ustaz yang begitu tendensius merendahkan perempuan. Hingga kemudian marah pada Nabi Muhammad, manusia mulia yang dalam banyak catatan sejarah begitu menghormati manusia tanpa melihat jenis kelaminnya.

“Masa sih, Rasulullah berpikiran seperti itu? Masa sih, manusia terbaik mengatakan hal sekejam itu?” pikir saya.

Parahnya, saya tidak berusaha bertanya pada ustaz lain atau mencari penjelasan ulama-ulama otoritatif terdahulu terkait hadis tersebut. Saya justru sibuk dengan kegalauan manusiawi saya hingga berujung pada penolakan atas status kenabian Muhammad, bahkan sampai meragukan adanya peristiwa kenabian yang sangat tidak masuk akal itu.

Tentu saja saya sudah memiliki sejumlah pengetahuan terkait konsep kenabian yang pernah didapat sejak SD. Meskipun jujur saja pemahaman itu baru sampai pada ranah kognitif yang tidak sempurna. Selama ini saya menerima kabar kenabian hanya bermodal baik sangka di atas iman yang tipis. Sangkaan yang ketika dicederai oleh segores ceramah seksis yang didasarkan pada Nabi, niscaya keimanan minimalis saya pun ikut terluka.

Saya sadar belum benar-benar menerima kenabian Muhammad saw. dengan keilmuan rasional. Maka saya mulai berusaha mengilmui keimanan itu. Saya tidak mau berlarut dalam kesangsian tanpa pencarian, terlebih pengakuan atas kenabian merupakan syarat keislaman seseorang. Bagaimana bisa saya berucap “Asyhadu anna Muhammadan rasulullah” di lisan tetapi sejatinya menolak kenabian sejak dalam pikiran?

Belajar mengilmui nabi

Peristiwa kenabian memang sesuatu yang melampaui akal manusia. Tetapi, berdasarkan penjelasan Ustaz Syamsuddin Arif, menolak pengetahuan di luar akal sama naifnya dengan membatasi pengetahuan hanya pada persepsi indera yang terbatas.

Beliau lalu memberi contoh sederhana. Seseorang dengan indera perabanya bisa mengetahui panas, dingin, kering, dan basah tetapi tidak bisa mengetahui warna atau bunyi yang merupakan wilayah pengetahuan indera penglihat dan pendengar. Sehingga, menyandarkan pengetahuan hanya pada pengalaman inderawi tertentu pastilah bakal jauh dari sempurna sebab realitas yang didapat tidak utuh alias terkotak-kotak.

Karena hal itulah, maka dihadirkan akal yang memungkinkan manusia menghimpun pengetahuan parsial tersebut dalam konsep yang lebih utuh. Jadi, misalnya, ketika mata melihat awan mendung dan telinga mendengar gemuruh petir, seseorang akan bersiap membawa payung sebab tidak ingin tubuh menjadi basah dan kedinginan oleh hujan.

Bagi balita yang baru bisa menerima pengetahuan dalam kotak-kotak inderawi, keputusan membawa payung jelas tidak akan muncul dalam benak mereka yang belum memiliki rasio utuh. Pengetahuan alam indera mereka belum mencapai alam akal.

Masalahnya adalah, sebagaimana akal yang tidak bisa ditangkap indera tetapi mampu menghimpun mereka, ada hal-hal yang tidak bisa ditangkap akal tetapi meliputinya. Al-Ghazali menyebut wilayah di mana terbukanya “indera” lain yang mampu menangkap hal di luar akal ini sebagai alam supranatural (gaib).

Jika akal merupakan tingkat di mana manusia bisa melihat alam yang tidak dapat dijangkau indera, kenabian merupakan tingkat lain yang lebih tinggi. Pada tingkatan ini manusia bisa melihat alam supranatural beserta rahasianya yang tersembunyi dari akal.

Awalnya saya merasa cukup dengan penjelasan yang disarikan dari otobiografi fenomenal Al-Ghazali tersebut. Namun kemudian keraguan kembali hadir: Bagaimana bisa kita memastikan kalau alam gaib benar-benar ada?

Faktanya, dalam catatan sejarah, pengetahuan di luar alam akal ini tidak hanya dimiliki para Nabi yang banyak mengajarkan manusia tentang alam akhirat. Kita mungkin pernah mendengar banyak cerita tentang manusia-manusia mulia yang diberi “karomah” mengetahui hakikat kenabian dengan mengalaminya langsung.

Kebijaksanaan dan penglihatan para wali Allah ini melampaui zamannya. Sayangnya, pengetahuan mereka seringkali susah dimengerti orang biasa, sebab pengalaman spiritual mereka di luar alam akal tidak bisa divalidasi orang lain yang tidak pernah merasakannya, termasuk saya yang dulu sering sekali nyinyir mendengar kisah para wali atau karamah para kiai.

Alam akal saya tidak bisa menerima realitas kemanusiaan yang memungkinkan seseorang mengetahui hal-hal di luar indera dan logika.

Bagaimana mungkin ada kiai yang bahkan tahu maksud kedatangan seseorang sekalipun dia belum menyampaikan hajatnya? Saya yang ngomong jelas gak pake kode saja masih gagal dipahami doi.

Bagaimana mungkin ada wali yang bisa membaca masa depan seseorang sekalipun belum pernah berbagi cerita? Saya yang sudah terlanjur nyaman saja nyatanya masih gagal membaca maksud percakapan doi.

Pasti hanya kebetulan saja. Tidak mungkin ada hal-hal ajaib seperti itu. Bahkan diam-diam saya suka menertawakan orang yang gemar ziarah kubur para guru dan merasa mendapat sesuatu.

“Lah, memangnya makam bisa bicara?” pikir saya yang menilai kata-kata sebagai sumber pengetahuan utama.

Lalu sebuah pertemuan tanpa kata hadir sebagai salah satu episode pendidikan terbaik dalam hidup saya, sekaligus membuka tabir hati saya terkait peristiwa kenabian.

Bertemu sang guru

Saat itu saya yang sedang mengikuti program intensif selama enam bulan di salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur berkesempatan mengunjungi salah satu Kiai pimpinan pondok. Dalam silaturahmi tersebut, Kiai tidak berkata sepatah kata pun disebabkan kondisi kesehatan beliau selama beberapa tahun belakangan. Tetapi bukan berarti tidak ada komunikasi energi dari beliau.

Kami memang hanya mendengar cerita perjuangan beliau dari Bu Nyai, tetapi semangat Pak Yai terasa menular hanya dengan kehadiran beliau. Saya yang selama ini suka nyinyir terhadap relasi kiai-santri, entah bagaimana bisa begitu diam dan khusyuk mendengarkan. Bahkan tidak hanya satu dua kali meneteskan air mata meski Bu Nyai bertutur santai tanpa dramatisasi.

Lima bulan sebelumnya, sepanjang pendidikan di program inisiasi Kiai tersebut, saya yang sombong ini jujur sering meremehkan materi perkuliahan. Hati saya begitu bebal menerima ilmu yang sekiranya bertentangan dengan akal. Hari-hari saya penuh dengan penolakan. Ketika tema menarik, metode pembahasannya kurang canggih. Ketika pembahasan bagus, referensinya kurang otoritatif. Ketika sumber kredibel, perspektifnya terlalu normatif.

Namun, semua bangunan keangkuhan itu runtuh seketika di hadapan Kiai. Yang bahkan tanpa sepatah kata pun, mampu membungkam arogansi, menampar kesombongan, dan melempar kesadaran diri saya hingga titik nadir.

Tentu saja akal saya menolak pengalaman batin ini. Bagaimana mungkin saya yang bahkan dicap liberal sejak pertama menginjakkan kaki di tempat itu, sempat “mendebat” jajaran guru tertinggi, sering bermasalah dengan adab dan tradisi pondok, bisa begitu saja ditundukkan oleh seseorang yang bahkan tidak melakukan apapun?

Pada titik itulah saya sadar. Hanyalah ruhul mudarris, ruh seorang guru, yang bisa mendidik melampaui kata dan akal. Yang bahkan dalam diamnya, ilmu memancar begitu hangat tanpa membutakan sekitar. Yang dalam doanya, hati-hati keras penuh kesombongan digerus lembut dalam kesahajaan. Yang melalui teladannya, semangat kebaikan terus hidup sekalipun sang guru telah pergi meninggalkan.

Ruh semacam itu, tidak lahir dari setumpuk buku-buku pendidikan guru. Ruh semacam itu, tidak bisa dibangun hanya bermodalkan tumpukan batu terbaik yang meninggikan bangunan pondok. Ruh semacam itu, tidak bisa dibeli dari puluhan juta biaya pendidikan santri.

Ruhul Mudarris saya yakin dibangun di atas sajadah yang tidak lepas dari doa-doa untuk umat. Ruhul mudarris dilatih dalam penderitaan melawan kezaliman pada kemanusiaan. Ruhul mudarris ditumbuhkan dengan keikhlasan doa dan air mata perjuangan, bukan sekadar tawa lelah dalam kepura-puraan.

Sebagai anak nakal produk pendidikan sekuler anti kemapanan yang tidak pernah merasakan punya guru tempat berlabuh dengan sungguh, saya sangat bersyukur bisa merasakan ruh sang guru. Bukan tidak mungkin, berkat kemuliaan para guru lah saya bisa sedikit berdamai dengan kebodohan diri hari ini.

Akal saya begitu bebal, tetapi ruh para Guru melunturkannya. Hati saya begitu keras, tetapi doa-doa mereka melembutkannya. Keikhlasan mereka mengantarkan jiwa saya agar pantas menerima kehadiran makna. Meski sampai sekarang belum juga kunjung dipantaskan oleh-Nya.

Saya paham orang-orang mungkin tidak akan percaya bagaimana peristiwa sederhana seperti itu begitu berarti. Tetapi saya juga tidak bermaksud memaksakan pengetahuan tersebut untuk divalidasi orang lain. Sebab ada ilmu yang hanya bisa dicapai dengan dzauq, pengalaman dan perkembangan batin.

Meskipun sungguh terlambat, saya bersyukur diperkenankan Allah untuk bisa mencicipi sedikit pengamalan spiritual tersebut saat bertemu sang guru. Pertemuan pertama sekaligus terakhir sebab beliau telah menuntaskan tugasnya di bumi pada akhir bulan ini, menyisakan duka mendalam pada kami yang bahkan ragu merasa pantas menyebut diri sebagai murid.

Sekarang saya paham kenapa teman-teman yang berkesempatan mondok atau ber-“guru” sejak dini bisa setakzim itu pada guru mereka, bisa seberbinar itu menceritakan guru mereka, sekaligus bisa sepatah hati itu kehilangan guru mereka.

Kepergian seorang guru dengan ruhul mudarris adalah musibah seluruh alam. Kehilangan umat. Kebangkrutan peradaban. Para guru pergi dengan tersenyum manis. Lalu kita dalam kebingungan dan kekacauan; hanya bisa menangis.

12 Rabiul Awwal selain tercatat sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad, sang maha guru peradaban Islam, adalah juga merupakan hari kepergian beliau shalallahu alaihi wassalam dari alam sementara ini. Itulah kenapa dalam banyak perayaan Maulid, perasaan kompleks selalu hadir pada setiap muslim. Yaitu kesyukuran atas hadirnya sang pelita, sekaligus kesedihan mendalam atas kepergian sang maha guru.

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam.

BACA JUGA Emosi atas Karikatur Nabi Muhammad Bukan Bikin Kamu Berhak Penggal Kepala Orang Dong dan artikel Esty Dyah lainnya.

Exit mobile version