Yang Terjadi Jika VOC Dikalahkan Kerajaan Mataram di Batavia

Para panglima perang milik Kerajaan Mataram terbilang sering membuat kesalahan-kesalahan besar soal koordinasi maupun kalkulasi kekuatan pihak VOC. 

MOJOK.COApa yang bakal terjadi andai Mataram berhasil membersihkan Batavia dari VOC pada 1628-1629? Bisakah Jawa merdeka lebih cepat?

saya sebenarnya ragu bahwa itu akan benar-benar akan menihilkan kans VOC dan Belanda sebagai kekuatan hegemonik di Jawa serta Nusantara.

Hampir genap tepat sembilan windu lalu. Istana Merdeka masih menyandang nama lawas sekaligus versi kolonialnya: Paleis te Koningsplein. Istana Lapangan Raja.

Demikian nama berbahasa Belanda tadi jika diterjemahkan harfiah ke bahasa Indonesia. Penamaan tadi merujuk kepada keberadaan Koningsplein, lapangan sangat jembar yang dihadap oleh si istana hasil pembangunan 1873-1879 itu.

Namun, sedari Hindia Belanda masih tegak berjaya pun, orang-orang Indonesia sudah sering menyebut Koningsplein sebagai Lapangan Gambir. Alhasil, Paleis te Koningsplein jadi ikut terseret punya penyebutan versi lokal: Istana Gambir.

Dualisme penamaan

Kala itu, kota Jakarta bisa dibilang masih mengalami dualisme penamaan. Sekalipun penamaan Jakarta telah sangat populer di kalangan Indonesia sejak 1942 atau awal masa pendudukan Jepang.

Namun, di kalangan orang Belanda yang sejak akhir 1945 mencoba menegakkan kembali imperium kolonialnya di Asia Tenggara, juga bagi banyak negara sedunia, Jakarta masih lazim disebut memakai nama pemberian JP Coen sejak 1619, yakni Batavia.

Dualisme penamaan semacam tadi, yang sekaligus mencerminkan pertarungan gagasan antara kekuatan kolonial di satu sisi versus resistensi lokal dan pergerakan nasional di sisi lainnya, boleh dibilang diakhiri oleh apa yang terjadi pada 27 Desember 1949.

Jakarta pada akhirnya menyisihkan Batavia. Namun, baik Koningsplein dan Paleis te Koningsplein, maupun Lapangan Gambir dan Istana Gambir, semuanya harus sama-sama minggir dan memberi jalan untuk penamaan yang sepenuhnya baru dan dipandang lebih mencerminkan zaman baru Indonesia Merdeka.

Koningsplein alias Lapangan Gambir mesti menyerahkan tempat mereka di jagat pertoponiman kepada Medan Merdeka. Paleis te Koningsplein alias Istana Gambir harus rela mengalah kepada toponim baru: Istana Merdeka.

Peristiwa pada 27 Desember 1949 yang lantas memantapkan keberadaan toponim Jakarta, Medan Merdeka, juga Istana Merdeka, ialah penandatangan hasil Perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) sekaligus penyerahan kedaulatan atas ex Koloni Hindia Belanda dari pihak Belanda kepada pihak Republik Indonesia Serikat.

Seremoni penyerahan kedaulatan pada 72 tahun silam itu diselenggarakan di Den Haag, Belanda, maupun di Jakarta, Indonesia. Nah, Paleis te Koningsplein alias Istana Gambir menjadi lokasi seremoni di Jakarta.

Pemulihan karut marut luka

Menariknya lagi, untuk momen seremoni penyerahan kedaulatan di Jakarta, pihak Indonesia diwakili oleh Raja Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Ini menjadikan Sultan boleh dibilang memperbaiki tumpukan masalah maupun memulihkan karut marut luka yang diwarisi dari beratus tahun sebelumnya dari sejumlah leluhurnya.

Ingat bahwa Sultan Hamengkubuwana IX adalah bagian dari Dinasti Pemanahan alias Dinasti Mataram Islam yang memang punya catatan sangat panjang sarat suka-duka dalam berinteraksi dengan Belanda sejak awal 1600-an.

Dua warisan utama problem maupun luka dari leluhur yang berkesempatan dipulihkan oleh Sultan Hamengkubuwana IX pada 27 Desember 1949 ialah apa yang sebelumnya terjadi pada 1749 dan 1628-1629.

Tentang 1749, yang dimaksud di sini ialah blunder Susuhuhan Pakubuwana II yang sakit keras dan menjelang sakaratul mautnya, tapi kepikiran nasib putra mahkotanya yang ditakutkannya tak bisa awet mempertahankan warisan tahta karena bakal kalah melawan pihak pemberontak, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Alhasil, Susuhunan Pakubuwana II malah menitipkan tahta dan kedaulatan negara Mataram kepada Johan Andries Baron von Hohendroff, seorang pejabat VOC. Harapannya VOC bakal membantu putra mahkotanya naik tahta dan lanjut membantu putranya mengalahkan para pangeran pemberontak. Cuma ya bayarannya mahal sekali: Mataram resmi menjadi vasal VOC.     

Tentang 1628-1629, yang dimaksud di sini tidak lain ya dua kali ekspedisi militer terhadap Batavia oleh Mataram semasa kepemimpinan Susuhunan Hanyakrakusuma alias Sultan Agung. Yang mana rangkaian ekspedisi militer pada dua tahun berturut-turut itu gagal total.

Para panglima terbilang membuat kesalahan-kesalahan besar soal koordinasi maupun kalkulasi kekuatan pihak VOC. Pengepungan yang dilakukan tidaklah serentak karena masing-masing adipati atau tumenggung yang menjadi panglima agaknya mengincar jadi pahlawan utama perebut Batavia. Tentu supaya lantas menjadi yang paling beroleh ganjaran besar dari Sultan Agung.

Hasilnya ya VOC berhasil mematahkan pengepungan maupun serangan bala tentara Mataram yang rupanya memang bukanlah suatu unit tempur nan bersatu padu.

Sampai-sampai upaya Mataram menciptakan timbunan logistik di jalur menuju Batavia pun berhasil digagalkan dengan serangan pre-emptif VOC ke gudang-gudang maupun lahan-lahan pertanian yang dikembangkan.

Ini mencegah Mataram dapat membawa penyerbuan dan pengepungan terhadap Batavia sebagai peperangan dan ekspedisi berkesinambungan, sebagaimana yang mereka praktikan ketika menaklukkan Madura serta Surabaya.

Kegagalan ekspedisi militer Mataram terhadap Batavia pada 1628-1629 jika dipikir-pikir sangat mahal ongkosnya. Ini memberi kesempatan VOC semakin memantapkan kekuatannya di Jawa dan terus merongrong Mataram sampai akhirnya Mataram mereka bikin jadi vasal mereka.

Kegagalan ekspedisi militer 1628-1629 juga menyulut ketidakpuasan dan bibit-bibit perlawanan di wilayah Pasundan dan Pasisiran. Wilayah tersebut menanggung banyak korban karena menjadi pengirim kontingen awal penyumbang tenaga ekspedisi militer.

Belum lagi Sultan Agung yang doyan memberi hukuman keras lagi sadis untuk para panglima sepasukannya yang gagal dalam misi tempur.

Cuma menunda

Andai ekspedisi militer terhadap Batavia pada 1628-1629 berhasil pun, saya sebenarnya ragu bahwa itu akan benar-benar akan menihilkan kans VOC dan Belanda sebagai kekuatan hegemonik di Jawa serta Nusantara. Pesimisme ini muncul dalam diri saya melihat kualitas kepemimpinan negara Mataram selepas masa Sultan Agung.

Susuhunan Amangkurat I selaku putra Sultan Agung, lalu Susuhunan Amangkurat II dan Susuhunan Pakubuwana I selaku cucu-cucu Sultan Agung, kemudian Susuhunan Amangkurat III selaku buyut Sultan Agung, semuanya tadi memiliki karakter kepemimpinan yang jauh di bawah Sultan Agung.

Degradasi kualitas kepemimpinan pemilik tahta Mataram ya ujungnya bisa kita lihat pada Susuhunan Pakubuwana II yang selain bisa membuat keputusan “menitipkan kedaulatan negara” kepada VOC telah pula membuat banyak blunder lain lagi semasa bertahtanya.

Sebut saja soal ragu-ragu dan menarik diri dari aliansi Jawa-Tionghoa yang melawan VOC pada Geger Pacinan 1740-1743, sampai kepada terlalu murah menyewakan lahan sepanjang Pesisir Utara Jawa kepada pihak VOC karena tergesa membuat keputusan dan kurang meminta pertimbangan para pejabat maupun para pangeran senior.

Kalaupun Mataram berhasil mengalahkan dan mendepak VOC dari Batavia pada 1628-1629, itu rasanya hanya akan menunda selama beberapa tahun sebelum VOC kembali meraih dominasi atas Jawa dan Nusantara.

Ya, VOC memang akan perlu menyingkir sebentar dari Jawa seperti ke Maluku atau salah satu bandar di Sumatera, atau malah bisa beroleh pangkalan di wilayah Blambangan alias Ujung Timur Jawa yang belum berhasil dikendalikan sepenuhnya oleh Mataram.

Namun, tidak butuh waktu lama, VOC dengan keunggulan teknologinya bakal menemukan momen kembali merangsek bikin kisruh Jawa.

Tadi saya sudah menunjukkan problem kronis kualitas kepemimpinan Mataram. Ingat juga bahwa alasan asli Mataram memerangi VOC dan menyerbu Batavia bukanlah dilambari motif patriotisme mengusir penjajah, tapi demi mewujudkan obsesi menjadi kekuatan penguasa atas seisi Pulau Jawa.

Artinya, andai bisa berhasil dengan ekspedisi militer ke Batavia 1628-1629, Mataram bakal lanjut berupaya menaklukkan Banten.

Tumburan kekuatan Mataram versus Banten akan potensial menyedot sumber daya dua negara besar di Jawa pada abad XVII itu. Hal demikian cepat atau lambat bakal memberi jalan VOC atau kekuatan Kolonial lainnya untuk masuk bermain-main hingga memancangkan kaki di Jawa. 

BACA JUGA Menghitung Kekayaan V0C, Perusahaan Terkaya di Dunia Sepanjang Masa dan ESAI lainnya.

Exit mobile version