[MOJOK.CO] “Diminta mengusir jin sampai ditegur karena salah baca zikir.”
Saya ikut sedih ketika mendengar kabar ustadz Abdul Somad gagal memberikan pengajian di Hongkong. Ada perasaan senasib sepenanggungan. Ketahuilah, jangankan ustadz-ustadz terkenal itu, ustadz-ustadz kampung di negeri ini juga pernah mengalami hal-hal yang menyedihkan walau tak sampai membuat sultan negeri tetangga turun tangan ikut berkomentar.
Setiap ustadz pasti mempunyai pengalaman dakwahnya sendiri. Berikut ini pengalaman saya sebagai ustadz kampung di pelosok Surabaya—walaupun saya sadar status “ustadz” tidak layak disematkan kepada saya, Tapi, mau bagaimana lagi, di negeri kita ini mengajarkan alif ba’ ta’ saja sudah diakui sebagai ustadz.
***
Selepas mondok, saya melanjutkan kuliah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat di Jakarta. Entah apa yang ada di pikiran saya waktu itu, kata “Filsafat” pada nama fakultas yang terkesan horor itu membuat saya merasa wajib punya rambut gondrong agar tampak horror juga, padahal jurusan yang saya pilih bukan Jurusan Filsafat, tapi jurusan yang sangat surgawi: Tafsir Hadis. Jurusan yang ngustadz banget kan.
Setiap liburan semester, layaknya mahasiswa yang nggak kere-kere amat, saya pulang kampung di ujung Surabaya yang masih ndeso. Walaupun sejak kecil jarang di kampung karena nyantri di pondok, semua tetangga mengenal saya dengan baik. Maka, ketika mereka melihat saya pulang dan ujug-ujug sudah besar plus berpenampilan sangar karena berambut gondrong, panggilan ke saya pun berwarna-warni. Ada yang tetap setia memanggil dengan sebutan cak, ada yang manggil gus, banyak juga yang datang bertamu untuk memberikan undangan, dan di kertas undangan tertera nama saya yang dikasih embel-embel gelar ustadz. Wuiiih….
Risiko jadi ustadz ya harus siap jadi imam salat di masjid, ngisi ceramah acara aqiqahan, memberikan khotbah nikah dan khotbah Jumat, mimpin doa selametan, tahlilan, dan lain sebagainya.
Melakukan aktivitas seperti itu menyenangkan karena saya haqqul yaqin ini adalah amal saleh yang mempunyai nilai pahala tersendiri, tentu saja jika dilakukan dengan ikhlas. Apalagi ketika selesai melakukan aktivitas keustadzan ini, sering saya dapat salam tempel dari shohibul hajat.
Saya yang sejak awal sama sekali nggak kepikiran dapat begituan karena memang ikhlas, mau tidak mau harus lebih ikhlas lagi. Masak udah ditempelin amplop kok ikhlasnya cuma sedikit, belum lagi diberi berkatan yang beda dari yang lain.
Jangan dikira kalau jadi ustadz kampung, lantas semua orang akan senang denganmu. Saya pernah dengar desas-desus bahwa seorang tetangga kurang senang dengan saya, entah apa alasannya.
Mungkin karena kualat, suatu saat tetangga itu terdesak butuh bantuan saya. Dia punya anak remaja yang entah kenapa setahun sekali setiap bulan suro selalu kesurupan selama berhari-hari. Sudah diobati oleh banyak kiai, walau sembuh saat di-suwuk, tapi tetap saja bulan Suro tahun berikutnya akan kesurupan lagi.
Ndilalah, tetangga saya ini malam-malam ketuk pintu memohon saya datang ke rumahnya untuk nyuwuk anaknya yang lagi kumat. Padahal saya, jangankan sama tuyul, genderuwo, kuntilanak dan jamaah jin lainnya, mendengar suara citcit bayi tikus yang baru dilahirkan saja sudah bergidik bahkan lari terbirit-birit sambil memegang sarung erat-erat supaya nggak melorot.
Untungnya, rasa gengsi sebagai “ustadz gondrong” lebih besar dibanding rasa takut sama genderuwo. Kewibawaan seorang ustadz akan jatuh kalau nggak bisa komat-kamit urusan mistis begini.
Ketika masuk ke rumah tetangga, si remaja yang sedang kesurupan itu melihat saya dengan cekikak-cekikik khas kuntilanak seolah menghina saya. Alhamdulillah, kuntilanak ini nggak hebat-hebat banget. Saya bacain Ayat Kursi, dia sudah meronta-ronta layaknya acara ruqyah di tivi, dan dengan sedikit drama, si jin akhirnya keluar.
Sejak saat itu saya sadar, dipercaya sebagai ustadz berarti juga rawan dipercaya sebagai orang sakti.
Saya mulai dikenal hingga di kampung-kampung sekitar. Undangan khotbah Jumat, memimpin tahlil, ceramah untuk acara sunatan massal banyak berdatangan. Terlebih kalau bulan Ramadhan, kalender dinding di rumah penuh corat-coret schedule buka bersama dan ceramah setelah Tarawih.
Jadi, penjelasan Ustadz Abdul Shomad yang menolak datang di acara Presiden Jokowi beberapa waktu lalu karena acara terlalu padat dan baru bisa diundang 2019 nanti adalah hal wajar di dunia perustadzan. Lah, saya yang terpaksa dipercaya sebagai ustadz kampung saja undangan khotbah salat Idulfitri dan Iduladha tahun depan sudah terjadwal kok. Hehehe.
Soal memberikan khotbah Iduladha, saya pernah mengalami hal menyedihkan.
Beberapa tahun lalu saya diminta untuk menjadi khatib di Bali. Setelah tiket pesawat dan hotel siap, satu hari sebelum Iduladha saya terbang ke Bali. Seorang pemuda utusan pengurus masjid menjemput saya di bandara dan langsung mengantar ke hotel. Sebelum istirahat, pemuda itu menyampaikan bahwa besok pukul lima pagi selepas subuhan ia sendiri yang akan menjemput dan mengantar saya ke lokasi salat Iduladha.
Esoknya, saya berkeringat karena deg-degan. Si pemuda tak juga muncul di hotel. Saya coba telepon berkali-kali ke nomer yang diberikan kemarin, tapi tidak aktif. Sempat terpikirkan untuk naik taksi berangkat sendiri ke masjid, tapi saya tidak tahu lokasinya.
Ketika jam dinding sudah menunjukkan angka tujuh, saya sadar kedatangan saya ke Bali untuk memberikan khotbah salat Id telah berubah menjadi numpang tidur di hotel. Pukul 10, ketika saya check out, masih belum tampak satu pun pengurus masjid.
Akhirnya saya naik taksi sendiri menuju bandara untuk balik ke Surabaya. Dalam perjalanan, hape berdering, siapa lagi jika bukan dari pengurus masjid. Dia menanyakan posisi saya. Bergegas beberapa pengurus masjid mengejar saya di bandara untuk bertemu dan menjelaskan duduk perkaranya.
Ternyata si pemuda yang bertugas menjemput saya ketiduran! Ya, namanya ustadz, tentu harus memaafkan perkara beginian. Walaupun batal memberikan khotbah, bahkan batal salat Iduladha, pengurus masjid tetap menempelkan amplop di tangan. Refleks saya tolak, lha wong di Bali saya cuma tidur kok diamplopin.
Menjadi ustadz berarti harus mengerti pemahaman masyarakat yang akan dihadapinya. Jika ceramah di acara ibu-ibu Muslimat NU, tentu seorang ustadz harus memberikan bumbu-bumbu rumah tangga dalam ceramahnya. Begitu juga jika yang dihadapi adalah acara pengajian bapak-bapak (emang ada ya pengajian khusus bapak-bapak?), tema poligami adalah bumbu yang tepat untuk diceritakan.
Mengisi khotbah Jumat di kawasan dekat kampus, seyogianya seorang ustadz jangan memberikan khotbah yang bersumber dari berita hoax, misalnya meminta jamaah untuk siap berjihad karena jutaan pekerja China didatangkan secara ilegal dengan sengaja. Ketahuilah, tema-tema seperti itu menjijikkan buat kalangan akademisi.
Ada banyak cerita mahasiswa yang curhat di status Facebook gara-gara khatib salat Jumat yang mereka dapati tidak bisa memilah dan memilih berita hoax. Apakah ustadz itu lupa bahwa dalam memberikan khotbah Jumat, materi harus bersumber dari Al-Quran, hadis, dan penjelasan para ulama?
Ini penting karena selepas jumatan, sering ustadz akan dikerumuni anak-anak SD yang rebutan minta tanda tangan khatib layaknya fans bertemu artis. Dan di buku anak-anak itu ada kolom nama khatib, tema khotbah, ringkasan khotbah yang harus mereka isi, dan ditandatangani si ustadz yang menjadi khatib. Bayangkan jika mereka dengan lugunya menulis tentang isu-isu hoax.
Untuk menghindari gesekan yang bikin sesak dada, pada hal tertentu seorang ustadz harus mengikuti pemahaman keagamaan masyarakat. Sebab itu, ketika misalnya saya menghadiri suatu masjid untuk memberikan khotbah Jumat, saya harus tahu betul jenis pemahaman basis jamaah masjid itu. Muhammadiyahkah? NU-kah?Paling tidak dari situ saya bisa menentukan pengucapan salawat pada muqoddimah khotbah menggunakan lafadz “sayyidina” atau tidak, juga ketika merapal zikir selepas salat, dibaca jahr (keras) ala warga NU atau sirri (sendiri-sendiri tanpa suara) ala Muhammadiyah.
Terkait membedakan suatu masjid lebih cenderung berwarna Muhammadiyyah atau NU, saya mempunyai trik tersendiri.
Selepas salat tahiyyatul masjid, saya akan memperhatikan benda-benda di sekitar mimbar. Jika mimbar penuh ukir-ukiran keren, saya menduga warna masjid ini adalah NU, karena kalau Muhammadiyah kebanyakan mimbarnya sederhana seperti podium kepresidenan di Istana Negara.
Saya juga mencari tasbih. Jika di sekitar tempat pengimaman atau di mimbar ada tasbih, saya menduga ini masjid orang NU karena sependek yang saya tahu, teman-teman saya dari Muhammadiyah nggak mau wiridan menggunakan biji-bijian tasbih. Kalaupun ada warga Muhammadiyyah yang doyan menggunakan tasbih, mungkin ia dari Muhammadiyah garis lurus.
Di sekitar mimbar, saya juga lirak-lirik mencari tongkat. Kalau ada tongkat, lagi-lagi saya yakin ini masjidnya wong NU karena kalau di Muhammadiyah, tidak ada ritual penyerahan tongkat dari seorang bilal kepada khatib yang akan naik mimbar.
Yang repot, selain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah, ada juga masjid yang warna pemahaman jamaahnya unik, saya menyebutnya Nahdlatul Muhammadiyah. Ciri-ciri masjid ini misalnya doyan mengadakan tahlil dan yasinan, pengajiannya juga sering mengundang kiai-kiai NU garis lucu, tapi ketika bulan Ramadhan tiba, salat Tarawihnya menggunakan formasi delapan rakaat.
Suatu hari saya menjadi khatib di suatu masjid yang saya tidak tahu lebih condong berwarna Muhammadiyah atau NU, namun setelah saya perhatikan ciri-ciri di sekitar mimbar, saya yakin ini masjid NU.
Tapi, keyakinan itu nyaris runtuh ketika saya sudah di atas mimbar. Tidak ada azan kedua, azan-nya hanya satu kali seperti azan-nya Muhammadiyah. Selepas salat, layaknya kebiasaan warga NU, dengan keras saya membaca dzikir jahr karena saya yakin masjid ini bercorak NU.
Tiba-tiba mikrofon mati. Tetap husnudzon bahwa mikrofon rusak dan coba saya gerak-gerakkan kecil untuk memperbaiki, saya terus membaca zikir dengan jahr. Tiba-tiba, ada sebuah tangan menyentuh pundak saya memberi isyarat, sekejap saya hentikan zikir yang saya pimpin untuk menoleh ke belakang. Takmir masjid yang duduk tepat di belakang saya berbisik,
“Ustadz, ini masjid Muhammadiyah. Mohon dzikirnya dibaca sirri!”