Waisak dan Buddha itu Makanan Apa? - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Waisak dan Buddha itu Makanan Apa?

Moddie Alvianto W. oleh Moddie Alvianto W.
29 Mei 2018
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK – Di antara beberapa agama yang diakui pemerintah, agama Buddha adalah salah satu agama paling asing karena jumlah pengikutnya yang sedikit. Meski begitu bukan berarti mereka tidak berhak mendapatkan penghormatan dari kita semua…. Cie, yang lagi Waisak, selamat yha~

Saat saya baru menginjak sekolah dasar, mendengar kata Buddha adalah sesuatu yang asing. Apa itu Buddha? Sebuah planet, makanan, atau agama?

Sampai suatu ketika, saya memperoleh pelajaran PPKN (kalo sekarang mungkin bernama Kewarganegaraan). Di dalam pelajaran itu, disebutkan bahwa Indonesia memiliki lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha (Konghucu belum dikenal karena baru diresmikan saat Gus Dur jadi presiden Indonesia tahun 2001).

Guru tak banyak menjelaskan apa itu Buddha, bagaimana ritualnya, atau pakaian yang dikenakannya apa saja. Yang jelas, guru hanya menjelaskan bahwa penganut Buddha beribadah ke vihara. Sudah itu cukup. Mentok sampai situ saja.

Di sisi lain, dari luar sekolah, memori masa kecil tentang Buddha hanya diperkuat dengan sebuah film yang selalu diputar sore hari. Film Sun Go Kong. Di film tersebut ada pria botak bernama Tom Sam Chong yang berperan sebagai penganut Buddha. Ada dua adegan yang selalu yang saya ingat pada diri Tom Sam Chong.

Baca Juga:

Presiden Timor Leste Dukung NU-Muhammadiyah Raih Nobel Perdamaian

Najib Azca: Kenapa PBNU & PKB Berseberangan

Muhaimin Iskandar, Lokomotif Pemilu 2024: Potensi Impresi Ciamik Media Sosial Cak Imin

Pertama, ia selalu meletakkan kedua tangannya tepat di dada (bukan bersedekap ya) sembari berkata, “Amitaba” dan seraya menundukkan kepala ketika bertemu dengan orang lain. Kedua, ia selalu berkata kepada murid-muridnya pergi ke arah Barat. Entah ke mana yang ia maksud.

Bayangan saya tentang Buddha lekat dengan fisik dan tingkah laku Tom Sam Chong. Tak lebih dari itu. Sampai suatu ketika kakak sepupu saya menikah dengan seorang wanita beragama Buddha.

Melihat sepupu saya menikah dengan seorang penganut Buddha, saya baru menyadari bahwa ternyata penganut Buddha ada yang tidak botak ya? Saya kira baik perempuan atau laki-laki pun harus botak. Dan dari kakak sepupu saya itu pula akhirnya saya mengenal sedikit lebih jauh tentang Buddha.

Menurutnya, ada banyak yang tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia tentang Buddha. Seperti misalnya, kalau ditelisik lebih jauh ada banyak aliran dalam Buddha. Ada Theravada, Mahayana, Buddhayana, dan masih banyak lainnya. Dan itu punya tata cara dalam beribadah yang beragam.

Barangkali kalau mau dibandingkan dengan di Islam, bentuknya sedikit mirip macam ada NU, Muhammadiyah, LDII, dan masih banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan satu per satu.

Saya pernah bertanya tentang gimana sih rasanya jadi kaum minoritas di Indonesia. Apakah dia tertekan? Apakah dia merasa tidak aman? Mengapa saya menyebutnya minoritas? Karena data BPS terakhir, jumlah penganut Buddha hanya 1% dari jumlah keseluruhan masyarakat Indonesia. Sedikit sekali.

Dengan jumlah penganut sekecil itu di Indonesia, saya pikir dia bakal tertekan dan merasa tidak aman. Ternyata anggapan saya salah. Dia justru tidak pernah merasa menjadi kaum minoritas. Selalu aman dan terlindungi berada di lingkungannya. Selain itu, di tempat di mana dia tinggal yaitu Tangerang, umat Buddha termasuk yang keberadaannya paling tinggi di Indonesia.

Saya kagum. Berarti memang tanah Indonesia adalah tanah yang menjunjung tinggi keberagaman. Tapi, ada perasaan unik, kalo tak mau dibilang aneh, ketika dirinya diketahui merupakan seorang penganut Buddha oleh orang-orang di sekitarnya. Pertanyaan yang sama seperti ketika saya SD dan mendengar apa itu agama Buddha untuk kali pertama.

Yang bertanya itu mungkin merasa heran hingga menumpahkan kalimat seperti ini,

“Kok bisa ya ada orang Buddha di sini?”

“Kamu penganut Buddha? Wah, gimana sih itu agamanya?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu seperti pertanyaan default yang berseliweran ketika tahu kalau kakak sepupu saya ini penganut Buddha. Seolah-olah menjadi penganut Buddha itu menjadi orang yang punya pengalaman paling berbeda sehingga perlu dikorek-korek, bagaimana sih rasanya? Apa saja sih yang dilakukan? Gimana ya ritus ibadahnya? Apa bener harus sepasrah seperti Tom Sam Chong kalau lagi kena musibah? Dan lain-lain.

Saya pernah bertanya kepadanya soal itu dan jawabannya, kira-kira seperti ini. “Tentu saya bisa jelaskan. Cuman tak mungkin yha dalam forum ini. Lain kali sadja~. Tak baik di mata masyarakat.” Hm, jangan-jangan sepupunya SBY ini yang jawab.

Intinya, sepenangkapan saya dari jawabannya, mereka tidak begitu nyaman ditanya-tanya begitu. Sudah deh, mari kita hormati saja dan jangan anggap bahwa mereka adalah astronot yang baru pulang dari Asgard, sehingga perlu ditanya-tanya bagaimana rasanya.

Saya pernah bertanya pula, apakah dia makan daging, karena kalau kalian melihat film Sun Go Kong, si Tom Sam Chong tak pernah makan daging. Hal yang membuat saya berkesimpulan bahwa semua penganut Buddha adalah seorang vegetarian semuanya.

Jawabannya, ya sepupu saya tetap makan daging. Makan kambing, makan sapi, makan ayam. Sebab, seperti yang telah saya sebutkan di atas, ada banyak aliran Buddha yang menganut tata cara berbeda.

Nah, bagi penganut Buddha, waisak adalah perayaan hari besar. Mungkin seperti lebaran besar (iduladha). Seperti musim haji di Islam mungkin bagi mereka. Kalau di Indonesia atau sekitaran Asia Tenggara, pusatnya ya ada di Borobudur.

Kalau Anda berkenan atau sempat datang ke Borobudur ketika Waisak, Anda akan menemukan situasi banyak penganut Buddha yang berbondong-bondong ke sana dari berbagai negara. Tidak hanya dari Asia Tenggara, tapi juga dari India atau Nepal juga. Mereka semua menggunakan seperti baju ihram warna cokelat semu kuning, lalu mengitari Candi Borobudur sebanyak tiga kali searah jarum jam. Ritual yang kemudian saya tahu, namanya pradaksina.

Ketika saya tanya kakak sepupu saya bagaimana rasanya melakukan perayaan Waisak di Borobudur?

Jawabannya, sederhana. Capek tapi magis. Dibilang capek karena jalannya jauh tapi saya kira wajar karena itu dia lakukan saat masih kecil mungil. Cuman perasaan magis itu masih lekat hingga saat ini.

Bunyi lirih yang dilantunkan secara berjemaah hingga pelepasan seribu lampion ke langit adalah suatu bentuk perayaan magis yang tak mungkin dilupakan seumur hidup. Baginya, saat itu, ia seperti sangat dekat sekali dengan pencipta-Nya.

Hari ini, perayaan Waisak 2562, yang kalo dikonversi ke tahun Masehi adalah tahun 2018. Dengan mengusung tema “Bertindak, Berucap, Berpikir Baik Memperkokoh Keutuhan Bangsa”, kakak sepupu saya berharap bahwa kebaikan selalu hadir dari, oleh, dan untuk masyarakat Indonesia.

Mengurangi keburukan dan menyebarkan Dharma adalah hal yang selalu digaungkan dan wajib dilaksanakan tidak hanya penganut Buddha semata, melainkan juga masyarakat Indonesia.

Meningkatkan kesadaran untuk terus melakukan kebaikan itu sangat penting sebab seringkali kita tidak sadar terkadang kita menyebarkan keburukan. Dan lagi, kesadaran untuk memperkokoh keutuhan bangsa sangat laik dilaksanakan, bukan kericuhan seperti yang ada di Lombok beberapa saat lalu.

Dan kalo boleh berkata, Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta (Semoga Semua Makhluk Berbahagia) karena Bahagia kotanya, Bahagia warganya. Eh. Bahagia Indonesia, Bahagia bangsa Indonesia.

Selamat Hari Raya Waisak 2562 untuk kakak sepupu saya, sekaligus penganut Buddha lain yang juga merupakan saudara saya.

Tags: 2562borobudurBuddhabudhaDharmaLDIIMuhammadiyahnuSabbe Satta Bhavantu SukhitattasbyWaisakwaisak 2018
Moddie Alvianto W.

Moddie Alvianto W.

Analis di RKI. Tinggal di Yogyakarta.

Artikel Terkait

nobel perdamaian mojok.co

Presiden Timor Leste Dukung NU-Muhammadiyah Raih Nobel Perdamaian

20 Juli 2022
Najib Azca: Kenapa PBNU & PKB Berseberangan

Najib Azca: Kenapa PBNU & PKB Berseberangan

11 Juli 2022
Muhaimin Iskandar, Lokomotif Pemilu 2024: Potensi Impresi Ciamik Media Sosial Cak Imin MOJOK.CO

Muhaimin Iskandar, Lokomotif Pemilu 2024: Potensi Impresi Ciamik Media Sosial Cak Imin

1 Juli 2022
haedar nashir mojok.co

Tak Perlu Gaduh, Muhammadiyah Minta Proses Hukum Khilafatul Muslimin

23 Juni 2022
Idhul Adha

Muhammadiyah Tetapkan 9 Juli Idul Adha, Minta  Pemerintah Antisipasi PMK 

22 Juni 2022
erick thohir mojok.co

Izin Muhammadiyah Ziarah ke Makam, Erick Thohir Ingin Lanjutkan Pemikiran Buya Syafii Maarif

22 Juni 2022
Pos Selanjutnya

Fabinho dan Naby Keita: Liverpool Mengatasi Kelemahan

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak MOJOK.CO

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak

8 Agustus 2022

Waisak dan Buddha itu Makanan Apa?

29 Mei 2018
pola pengasuhan anak mojok.co

Psikolog UGM Jelaskan Tipe Pola Asuh yang Bisa Berdampak pada Hasil Akademik Anak

5 Agustus 2022
Asrama mahasiswa Sumatra Selatan, Pondok Mesudji dalam sengketa di pengadilan. Mahasiswa menilai ada campur tangan mafia tanah.

Mahasiswa Sumsel di Asrama Pondok Mesudji Jogja Terancam Pergi karena Mafia Tanah

11 Agustus 2022
Lampu merah terlama di Jogja. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Menghitung Lampu Merah Terlama di Jogja, Apakah Simpang Empat Pingit Tetap Juara?

9 Agustus 2022
Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Perguruan Tinggi Favorit MOJOK.CO

Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Masuk Perguruan Tinggi Favorit

5 Agustus 2022
Sri Sultan Mampu Redam Konflik Pemaksaan Jilbab Secara Taktis, Bukti Jogja (Mungkin) Masih Istimewa MOJOK.CO

Sri Sultan Mampu Redam Konflik Pemaksaan Jilbab Secara Taktis, Bukti Jogja (Mungkin) Masih Istimewa

9 Agustus 2022

Terbaru

Ibu Ruswo: Pembakar Api Revolusi Dari Dapur Umum

7 Fakta Ibu Ruswo, Kurir Rahasia yang Memasok Rokok untuk Para Pejuang

14 Agustus 2022
sim c mojok.co

Susahnya Ujian Sim C: Ini Tipsnya Biar Lulus Menurut Polisi, Ahli, dan Orang yang Gagal Berkali-kali

14 Agustus 2022
Sukarni: Soekarno-Hatta, Rengasdengklok, & Lahirnya Sebuah Republik

Sukarni: Soekarno-Hatta, Rengasdengklok, & Lahirnya Sebuah Republik

14 Agustus 2022
pangkat polisi mojok.co

Memahami Kasus Brigadir J, Ini Golongan Pangkat Polisi yang Perlu Diketahui

14 Agustus 2022
Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie MOJOK.CO

Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie

14 Agustus 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In